Fenomena Larangan Musik Patrol dengan Sound Horeg di Kabupaten Jombang: Antara Tradisi dan Ketenangan Masyarakat

Bulan Ramadan di Indonesia bukan sekadar periode ibadah spiritual bagi umat Islam, tetapi juga panggung bagi berbagai tradisi budaya yang kaya dan beragam. Di Jawa Timur, salah satu tradisi yang menonjol adalah musik patrol, sebuah kesenian lokal yang digunakan untuk membangunkan warga saat waktu sahur tiba.

Tradisi ini biasanya melibatkan anak-anak dan remaja yang berkeliling kampung dengan alat musik sederhana seperti kentongan, drum bekas, atau benda-benda rongsokan lainnya, menciptakan irama yang khas untuk mengingatkan warga agar bersiap menyantap sahur. Di Kabupaten Jombang, yang dikenal sebagai “Kota Santri” karena banyaknya pesantren dan komunitas keagamaan, musik patrol menjadi bagian dari dinamika sosial yang memperkaya suasana Ramadan.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tradisi ini mengalami transformasi dengan masuknya teknologi modern, khususnya penggunaan sound horeg—sound system berukuran besar yang menghasilkan suara sangat keras. Awalnya, penggunaan sound horeg ini dianggap sebagai inovasi yang menambah semarak suasana sahur, dengan iringan musik dangdut atau remix yang digemari anak muda. Namun, lambat laun, kebisingan yang ditimbulkan mulai memicu keluhan dari masyarakat.

Akibatnya, larangan penggunaan sound horeg untuk musik patrol mulai diterapkan di berbagai wilayah di Jawa Timur, termasuk Kabupaten Jombang. Artikel ini akan membahas secara mendalam fenomena larangan tersebut di Kabupaten Jombang, mencakup latar belakang tradisi, alasan larangan, dampaknya terhadap masyarakat, serta refleksi kritis tentang bagaimana tradisi ini dapat bertahan di tengah perkembangan zaman.

Meskipun informasi spesifik tentang kebijakan di Jombang terbatas, kita dapat merujuk pada kebijakan serupa di kabupaten tetangga seperti Malang dan Pasuruan, yang memiliki konteks budaya dan sosial yang mirip. Dengan pendekatan ini, esai ini akan menganalisis implikasi larangan tersebut, mengeksplorasi pro dan kontra, serta menawarkan perspektif tentang bagaimana masyarakat Jombang dapat menyeimbangkan antara pelestarian tradisi dan kebutuhan akan ketenangan.

Musik Patrol: Warisan Budaya Jawa Timur

Musik patrol memiliki akar yang dalam di masyarakat Jawa Timur, terutama di daerah pedesaan. Tradisi ini biasanya dilakukan pada dini hari menjelang waktu sahur, ketika kelompok anak-anak dan remaja berkeliling kampung sambil memainkan alat musik sederhana. Kentongan dari bambu, drum yang dibuat dari jerigen bekas, potongan besi, atau bahkan ember plastik menjadi alat musik utama yang menghasilkan irama ritmis. Teriakan “Sahur… Sahur…” sering mengiringi irama tersebut, menjadi pengingat yang khas bagi warga untuk bangun dan menyiapkan hidangan sahur.

Di Kabupaten Jombang, tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai “alarm” praktis, tetapi juga sebagai wujud kebersamaan komunitas. Anak-anak dan remaja yang terlibat merasa bangga menjadi bagian dari kegiatan ini, sementara warga yang terbangun biasanya menyambutnya dengan senyuman, menganggapnya sebagai bagian dari warisan budaya Ramadan yang telah turun-temurun. Jombang, dengan identitasnya sebagai pusat keagamaan, menjadikan musik patrol sebagai ekspresi kegembiraan dalam menjalani ibadah puasa, sekaligus memperkuat ikatan sosial di antara warga.

Namun, seiring waktu, tradisi ini mulai bergeser dengan masuknya pengaruh modernitas. Salah satu perubahan yang paling mencolok adalah penggunaan sound horeg, sebuah sound system besar yang mampu menghasilkan suara keras hingga menjangkau jarak yang jauh. Sound horeg ini sering kali dipadukan dengan musik populer seperti dangdut atau lagu-lagu remix, menggantikan irama sederhana dari kentongan dan drum bekas.

Bagi sebagian anak muda, inovasi ini dianggap sebagai cara untuk membuat musik patrol lebih relevan dengan zaman dan menarik perhatian generasi baru. Namun, perubahan ini juga membawa konsekuensi yang tidak diinginkan, terutama terkait kebisingan yang mengganggu ketenangan warga.

Larangan Sound Horeg: Latar Belakang dan Alasan

Pada tahun-tahun terakhir, Pemerintah Kabupaten Jombang, bekerja sama dengan kepolisian setempat, mulai memberlakukan larangan penggunaan sound horeg dalam musik patrol untuk membangunkan sahur. Kebijakan ini muncul sebagai respons terhadap meningkatnya keluhan dari warga yang merasa terganggu oleh suara bising yang dihasilkan sound system tersebut.

Meskipun informasi resmi tentang larangan di Jombang belum banyak terdokumentasi, kita dapat melihat pola serupa di wilayah tetangga seperti Kabupaten Malang dan Pasuruan, yang memberikan gambaran tentang alasan di balik kebijakan ini.

Di Kabupaten Malang, misalnya, Polres Malang melarang penggunaan sound horeg dalam kegiatan Sahur on the Road (SOTR) selama Ramadan. Kapolres Malang menjelaskan bahwa suara keras dari sound system tersebut mengganggu waktu istirahat warga, terutama lansia dan anak-anak, serta mengurangi kekhusyukan ibadah.

Selain itu, kegiatan SOTR yang sering melibatkan konvoi kendaraan dan sound horeg juga dikaitkan dengan aksi balap liar, yang membahayakan keamanan. Di Kabupaten Pasuruan, Pemerintah Kabupaten melarang penggunaan sound horeg untuk membangunkan sahur dengan alasan serupa: menjaga ketenteraman dan ketertiban umum. Wakil Bupati Pasuruan menyoroti dampak kebisingan terhadap kelompok rentan seperti lansia dan balita, serta potensi konflik antar kampung akibat persaingan kelompok patrol.

Dengan mempertimbangkan kedekatan geografis dan budaya antara Jombang, Malang, dan Pasuruan, dapat diasumsikan bahwa larangan di Jombang memiliki dasar yang sama. Jombang, sebagai daerah dengan populasi padat dan komunitas yang heterogen, memiliki kepentingan besar untuk menjaga ketenangan selama Ramadan.

Suara bising dari sound horeg tidak hanya mengganggu istirahat warga, tetapi juga bertentangan dengan semangat Ramadan yang menekankan ketenangan dan introspeksi. Selain itu, potensi konflik sosial—misalnya persaingan antar kelompok patrol yang ingin menunjukkan sound system terbaik—juga menjadi pertimbangan penting bagi pihak berwenang.

Kebijakan ini biasanya ditegakkan melalui patroli polisi dan sosialisasi kepada masyarakat sebelum Ramadan dimulai. Kelompok patrol yang kedapatan menggunakan sound horeg dapat dikenai sanksi, mulai dari teguran hingga penyitaan alat. Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menciptakan lingkungan yang kondusif selama bulan suci, meskipun tidak lepas dari tantangan dalam implementasinya.

Sholawat Seribu Rebana dan Musik Patrol di Hari Lahir UNHASY Tebuireng ke-49
Sholawat Seribu Rebana dan Musik Patrol di Hari Lahir UNHASY Tebuireng ke-49

Dampak Larangan terhadap Masyarakat dan Tradisi

Larangan penggunaan sound horeg dalam musik patrol membawa dampak yang signifikan terhadap masyarakat Jombang, baik dari sisi positif maupun negatif. Berikut adalah analisis mendalam tentang implikasi kebijakan ini:

Dampak Positif

  1. Meningkatkan Ketenangan dan Kekhusyukan
    Dengan absennya sound horeg, warga Jombang dapat menikmati suasana Ramadan yang lebih tenang. Kebisingan yang sebelumnya mengganggu waktu istirahat atau ibadah malam seperti tarawih dan tadarus dapat diminimalisir. Hal ini sangat bermanfaat bagi kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, atau mereka yang sedang sakit, yang membutuhkan ketenangan untuk menjalani puasa dengan nyaman.
  2. Mencegah Konflik Sosial
    Penggunaan sound horeg sering kali memicu persaingan tidak sehat antar kelompok patrol. Di beberapa kasus, persaingan ini berujung pada konflik verbal atau bahkan fisik, terutama di daerah padat penduduk. Larangan ini membantu mengurangi potensi gesekan sosial, menjaga harmoni antar warga yang menjadi nilai utama dalam budaya Jawa.
  3. Melestarikan Esensi Tradisi
    Dengan kembali ke alat musik sederhana seperti kentongan dan drum bekas, musik patrol di Jombang dapat mempertahankan karakter aslinya sebagai kesenian rakyat. Ini adalah kesempatan untuk mengenalkan kembali tradisi autentik kepada generasi muda, sekaligus melindungi warisan budaya dari pengaruh modernitas yang berlebihan.

Dampak Negatif

  1. Kekecewaan Generasi Muda
    Bagi anak muda yang melihat sound horeg sebagai bentuk ekspresi kreatif, larangan ini dapat menimbulkan rasa kecewa. Mereka yang telah menginvestasikan waktu, tenaga, dan dana untuk membangun sound system mungkin merasa dibatasi dalam mengekspresikan diri. Hal ini bisa memicu resistensi atau pelanggaran aturan secara sembunyi-sembunyi.
  2. Berkurangnya Semarak Suasana
    Sound horeg, meskipun bising, sering dianggap sebagai elemen yang menghidupkan suasana sahur. Tanpa suara keras dan musik energetik, sebagian warga—terutama generasi muda—mungkin merasa bahwa Ramadan kehilangan elemen kegembiraan yang biasanya mereka nantikan.
  3. Tantangan Penegakan Aturan
    Mengawasi pelaksanaan larangan ini bukan tugas yang mudah, terutama di wilayah luas seperti Jombang. Diperlukan koordinasi yang kuat antara pemerintah, kepolisian, dan tokoh masyarakat untuk memastikan kepatuhan. Tanpa pengawasan yang konsisten, larangan ini berisiko hanya menjadi formalitas tanpa dampak nyata.

Perspektif Kritis: Menyeimbangkan Tradisi dan Modernitas

Larangan penggunaan sound horeg dalam musik patrol membuka diskusi yang lebih luas tentang bagaimana sebuah tradisi dapat bertahan di tengah perkembangan zaman. Di satu sisi, musik patrol adalah warisan budaya yang mencerminkan identitas lokal Jawa Timur. Alat musik sederhana dan irama yang khas adalah elemen yang membedakannya dari tradisi lain, sehingga pelestariannya menjadi penting. Namun, di sisi lain, budaya tidaklah statis—ia terus berkembang seiring waktu. Penggunaan sound horeg dapat dilihat sebagai bentuk adaptasi tradisi terhadap teknologi modern, sebuah proses alami dalam evolusi budaya.

Namun, ketika inovasi tersebut mulai mengganggu tujuan awal tradisi—yaitu membangunkan sahur dengan cara yang ramah dan harmonis—maka intervensi seperti larangan menjadi relevan. Kebisingan sound horeg, meskipun menarik bagi sebagian kalangan, jelas bertentangan dengan nilai ketenangan yang menjadi inti Ramadan. Oleh karena itu, larangan ini dapat dilihat sebagai upaya untuk mengembalikan musik patrol ke esensinya, sekaligus melindungi kesejahteraan masyarakat.

Meski begitu, pendekatan yang terlalu kaku juga tidak ideal. Pemerintah dan masyarakat Jombang dapat mempertimbangkan solusi tengah, seperti mengizinkan penggunaan sound system dengan volume terbatas atau menentukan zona khusus untuk kegiatan patrol yang tidak mengganggu pemukiman padat. Pendekatan ini memungkinkan anak muda tetap mengekspresikan kreativitas mereka tanpa mengorbankan kenyamanan warga lain.

Edukasi juga memainkan peran kunci. Generasi muda perlu diberi pemahaman bahwa musik patrol bukan ajang pamer teknologi, melainkan sarana untuk mendukung ibadah komunal. Dengan melibatkan tokoh agama, budayawan, dan komunitas lokal dalam sosialisasi, pesan ini dapat tersampaikan dengan lebih efektif, menciptakan kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga tradisi secara bertanggung jawab.

Solusi dan Harapan ke Depan

Untuk memastikan tradisi musik patrol tetap hidup di Kabupaten Jombang tanpa menimbulkan polemik, beberapa langkah dapat diambil:

  1. Regulasi yang Fleksibel
    Pemerintah dapat menetapkan aturan yang tidak hanya melarang, tetapi juga memberikan alternatif. Misalnya, mengizinkan penggunaan speaker kecil dengan batas desibel tertentu, atau menentukan waktu dan rute patrol yang tidak mengganggu warga.
  2. Festival Musik Patrol
    Mengadakan festival musik patrol tahunan dengan alat tradisional dapat menjadi cara untuk melestarikan tradisi sekaligus menarik minat generasi muda. Acara ini bisa menjadi wadah kreativitas tanpa mengganggu ketenangan Ramadan.
  3. Dialog Antar Pihak
    Melibatkan kelompok patrol, warga, dan pihak berwenang dalam diskusi terbuka dapat menghasilkan solusi yang diterima semua pihak. Dialog ini juga memperkuat rasa memiliki terhadap tradisi lokal.

Dengan langkah-langkah ini, Jombang dapat menjadi contoh bagaimana sebuah daerah menjaga warisan budaya sambil menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman. Tradisi musik patrol tidak harus mati karena larangan sound horeg; sebaliknya, ia bisa berevolusi menjadi bentuk yang lebih inklusif dan harmonis.

Kesimpulan

Larangan penggunaan sound horeg dalam musik patrol untuk membangunkan sahur pada bulan Ramadhan di Kabupaten Jombang adalah kebijakan yang lahir dari kebutuhan untuk menjaga ketenangan dan keharmonisan masyarakat selama Ramadan. Tradisi musik patrol, yang telah menjadi bagian dari identitas budaya Jawa Timur, mengalami tantangan dengan masuknya teknologi modern yang justru mengurangi esensi awalnya. Dengan merujuk pada kebijakan serupa di Malang dan Pasuruan, larangan ini dapat dipahami sebagai upaya melindungi kenyamanan warga sekaligus mencegah potensi gangguan keamanan.

Meskipun membawa dampak positif seperti ketenangan dan pelestarian tradisi, larangan ini juga menimbulkan tantangan, terutama dalam hal penerimaan oleh anak muda dan penegakan hukum. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang bijaksana—menggabungkan regulasi, edukasi, dan dialog—agar tradisi ini tetap relevan tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, Kabupaten Jombang dapat menciptakan suasana Ramadan yang damai, penuh makna, dan tetap meriah dalam bingkai budaya yang autentik. Tradisi dan modernitas, pada akhirnya, tidak harus saling bertentangan, melainkan dapat berjalan beriringan demi kebaikan bersama.

Tinggalkan Balasan