Langit malam di atas Kabupaten Jombang tidak seperti biasanya. Minggu malam, 19 Oktober 2025, yang seharusnya mulai merayap dalam keheningan, justru menjelma menjadi lautan manusia yang berdenyut penuh euforia. Puluhan ribu pasang mata tumpah ruah di sepanjang arteri utama kota, dari GOR Merdeka hingga jantung perekonomian di Jalan Ahmad Yani, Pasar Legi. Udara malam yang sejuk terasa hangat oleh antusiasme dan sorak-sorai. Inilah malam di mana Jombang merayakan identitasnya, malam di mana sejarah, mitologi, dan isu-isu kontemporer berpadu dalam satu panggung kolosal: Ringin Contong Carnival (RCC) 2025.
Tepat pukul 22.00 WIB, dentuman musik pembuka menggema dari titik start di GOR Merdeka. Keputusan untuk menggelar karnaval di larut malam terbukti brilian. Di bawah siraman lampu sorot dan gemerlap lampu jalanan, setiap kostum, setiap gerak tari, setiap ekspresi, tampil dengan aura magis yang tak mungkin tercapai di bawah terik matahari. Ini bukan sekadar pawai; ini adalah teater jalanan, sebuah opera rakyat yang megah.
Ringin Contong Carnival, yang mengambil namanya dari ikon legendaris Jombang, telah menjadi salah satu agenda budaya tahunan yang paling dinanti. “Ringin Contong” sendiri, sebuah pohon beringin yang unik di pusat kota, adalah simbol kehidupan, pengayoman, dan kekhasan Jombang. Karnaval ini adalah perwujudan dari semangat itu, sebuah perayaan atas keragaman yang menyatu di bawah naungan Jombang.
Tahun ini, 10 kelompok peserta dari berbagai institusi pendidikan dan komunitas seni di Jombang bersaing untuk menyajikan penampilan terbaik. Mereka tidak hanya berjalan, mereka bercerita. Rute karnaval yang membentang dari GOR Merdeka, melewati jalan-jalan protokol, dan berakhir di Jalan Ahmad Yani (Pasar Legi), menjadi saksi bisu pertunjukan mahakarya yang berlangsung selama 90 menit penuh. Panggung Kehormatan, yang berdiri megah di sisi selatan Taman ASEAN, menjadi titik fokus di mana para pejabat daerah, tokoh masyarakat, dan dewan juri menyaksikan setiap detail penampilan dengan saksama.
Selama satu setengah jam, dari pukul 22.00 hingga 23.30 WIB, Jombang disuguhi sebuah parade yang memadukan epos kuno, legenda lokal, tarian lintas nusantara, hingga refleksi isu lingkungan. Berikut adalah catatan mendalam dari 10 mahakarya yang disajikan dalam Ringin Contong Carnival 2025.
1. KKM MTs Kabupaten Jombang: Harmoni dalam “Wayang Potehi”
Sebagai pembuka karnaval, Kelompok Kerja Madrasah Tsanawiyah (KKM MTs) Kabupaten Jombang mengambil langkah berani dengan mengangkat tema “Wayang Potehi“. Ini adalah sebuah pernyataan kuat yang langsung menggarisbawahi identitas Jombang sebagai “Kota Toleransi”. Wayang Potehi, seni boneka kain tradisional Tionghoa, telah lama menemukan rumahnya di Jombang, khususnya di Gudo, di mana ia hidup berdampingan dan bahkan menyatu dengan tradisi lokal.
Penampilan mereka bukan sekadar memamerkan boneka-boneka yang indah. Kontingen ini menjelma menjadi sebuah panggung berjalan. Di barisan depan, replika kelenteng mini yang dihias naga dan lampion bergerak anggun. Di belakangnya, para siswa-siswi MTs, yang notabene adalah pelajar dari lembaga pendidikan Islam, tampil memukau dalam kostum-kostum yang terinspirasi dari opera Cina. Mereka memerankan tokoh-tokoh legendaris seperti Sie Jin Kwie atau Sun Go Kong, bergerak dalam koreografi yang menyiratkan dialog budaya.
Apa yang ditampilkan KKM MTs adalah sebuah visualisasi dari akulturasi. Ini adalah pesan bahwa Wayang Potehi di Jombang bukan lagi sekadar seni impor; ia adalah bagian dari warisan budaya Jombang itu sendiri. Ini adalah representasi harmoni, keterbukaan, dan bagaimana perbedaan dapat melebur menjadi sebuah keindahan baru tanpa kehilangan jati diri masing-masing. Penampilan ini menjadi pembuka yang sempurna, menetapkan standar tinggi sekaligus mengingatkan puluhan ribu penonton tentang akar toleransi yang tertanam kuat di tanah Jombang.
2. MKKS SMP Negeri Kabupaten Jombang: “Satrio ing Alogo” dan Api Kesetiaan
Euforia berlanjut saat kontingen nomor dua, Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP Negeri Kabupaten Jombang, memasuki arena. Suasana seketika berubah menjadi lebih dramatis. Mereka mempersembahkan lakon “Satrio ing Alogo” (Ksatria di Medan Laga), sebuah fragmen epik dari Ramayana yang berfokus pada misi Hanoman ke Alengka.
Tema yang diangkat adalah “nyala kesetiaan”. Penampilan ini adalah sebuah opera kolosal. Di tengah formasi, sebuah replika Taman Argasoka di Alengka dihadirkan, lengkap dengan sosok Dewi Sinta yang muram. Kemudian, muncullah sang ksatria sejati, Hanoman. Kostum Hanoman yang ditampilkan begitu detail, dengan gerak-gerik akrobatik yang lincah, mencerminkan kelincahannya sebagai “kera putih”.
Puncak penampilan mereka adalah visualisasi pembakaran Alengka. Tentu saja bukan dengan api sungguhan, melainkan melalui permainan tata cahaya, kostum-kostum berwarna api, dan properti obor LED yang diusung oleh puluhan penari. Mereka berhasil menggambarkan kobaran api yang “bukan dengan marah, melainkan dengan nyala kesetiaan”. Hanoman membakar Alengka bukan karena dendam pribadi, tapi sebagai puncak dari tugas suci dan kesetiaannya kepada Sri Rama. Pesan moral tentang totalitas dalam menjalankan amanah dan kesetiaan yang tak goyah tersampaikan dengan begitu heroik dan megah.
3. KKM MAN (MAN 6, 7, 8, 9 dan 10) Kabupaten Jombang: Ujian Kesucian dalam “Sinta Obong”
Seolah menyambung kisah sebelumnya, Kelompok Kerja Madrasah Aliyah Negeri (KKM MAN) yang terdiri dari MAN 6 hingga MAN 10, menghadirkan babak lain dari epos Ramayana. Namun, kali ini dengan nuansa yang jauh berbeda. Mereka menampilkan “Sinta Obong”, sebuah kisah yang menguji batas-batas kepercayaan dan kesetiaan.
Jika “Satrio ing Alogo” adalah tentang api amarah dan peperangan, “Sinta Obong” adalah tentang api penyucian. Fragmen ini menceritakan momen tragis sekaligus agung setelah Sinta berhasil diselamatkan. Keraguan Rama atas kesucian Sinta setelah sekian lama berada dalam sekapan Rahwana menjadi inti drama.
Para siswa MAN ini berhasil menampilkan teatrikal yang menguras emosi. Sosok Sinta yang anggun namun tegar, berjalan menuju tumpukan kayu bakar (yang divisualisasikan dengan properti artistik), menjadi pusat perhatian. Saat “api” dinyalakan, para penari yang berperan sebagai Dewa Agni menari di sekeliling Sinta, mengangkatnya, menunjukkan bahwa api pun tak sudi menyentuh tubuh yang suci.
Penampilan ini lebih dari sekadar drama; ini adalah sebuah filosofi mendalam. Ini adalah tentang bagaimana kesucian dan kebenaran sejati akan selalu menemukan jalannya, bahkan jika harus melalui ujian yang paling berat sekalipun. Kegagahan Rama dan Laksmana yang mendampingi Sinta juga menjadi simbol perlindungan dan keteguhan hati. KKM MAN 6-10 berhasil membawakan sebuah kisah abadi dengan interpretasi yang khidmat dan menyentuh.
4. KKM MAN (MAN 1, 2, 3, 4 dan 5) Kabupaten Jombang: Tragedi Prasangka dalam “Sri Tanjung”
Masih dari kelompok Madrasah Aliyah Negeri, kali ini gugus depan (MAN 1 hingga MAN 5), mereka beralih dari epos India ke legenda asli Jawa Timur. Mereka mengangkat cerita rakyat “Sri Tanjung”, sebuah kisah yang dipercaya menjadi asal-usul nama Banyuwangi.
Ini adalah kisah klasik tentang cinta, fitnah, dan prasangka. Kontingen ini dengan cerdas membagi formasi mereka menjadi beberapa adegan. Adegan pertama menunjukkan kebahagiaan Raden Sidapaksa dan istrinya, Sri Tanjung. Adegan kedua menampilkan visualisasi fitnah keji yang dilancarkan oleh Raja Sulakrama. Adegan ketiga adalah puncak tragedi: Sidapaksa yang termakan prasangka, membunuh Sri Tanjung di tepi sungai.
Visual terkuat hadir di adegan terakhir. Para penari menggunakan kain-kain panjang berwarna biru dan putih untuk menciptakan ilusi sungai. Saat Sri Tanjung “dibunuh”, ia bersumpah bahwa jika darahnya berbau busuk, ia bersalah, namun jika berbau wangi, ia tak bersalah. Dari “sungai” itu, para penari lain muncul membawa properti bunga-bunga harum, dan aroma wewangian (banyu wangi) seolah disebar ke penonton.
Pesan moralnya sangat relevan: prasangka buruk dan fitnah dapat menghancurkan segalanya. Namun, kebenaran, kesetiaan, dan kesucian pada akhirnya akan terungkap. KKM MAN 1-5 berhasil menyajikan sebuah legenda lokal dengan penceritaan yang kuat dan visual yang puitis.
5. SMK PGRI 1 Jombang: Ode untuk Agraris dalam “Kidung Tetanen”
Mengubah atmosfer dari tragedi menjadi perayaan, SMK PGRI 1 Jombang tampil memukau dengan tema “Kidung Tetanen” (Lagu Pertanian). Ini adalah sebuah ode, sebuah penghormatan tulus, kepada Kabupaten Jombang sebagai wilayah agraris yang subur, lumbung pangan Jawa Timur.
Penampilan mereka adalah pesta visual yang merayakan bumi. Barisan depan dipenuhi oleh siswa-siswi yang membawa replika hasil bumi: padi yang menguning, jagung, tebu, dan buah-buahan. Di tengah, sosok Dewi Sri, dewi kesuburan, tampil anggun dengan kostum megah yang terbuat dari jerami kering dan biji-bijian.
Para penari pria memerankan petani dengan caping dan cangkul, menampilkan koreografi yang dinamis, meniru gerakan menanam, menyiangi, dan memanen. Musik pengiringnya adalah perpaduan gamelan dengan suara-suara alam, seperti gemericik air dan lesung. “Kidung Tetanen” adalah gambaran kehidupan petani yang sederhana namun penuh syukur. Ini adalah refleksi Jombang yang sesungguhnya: tanah yang diberkahi, dan masyarakat yang hidup selaras dengan alam, selalu berserah diri dan bersyukur atas limpahan rahmat Tuhan.
6. FKKS SD Kabupaten Jombang: Semangat Nusantara melalui “Tari Kabasaran”
Sebuah kejutan besar hadir di penampilan keenam. Forum Kelompok Kerja Kepala Sekolah (FKKS) SD Kabupaten Jombang memutuskan untuk keluar dari konteks Jawa Timuran dan menampilkan “Tari Kabasaran” dari Minahasa, Sulawesi Utara.
Ini adalah pilihan yang cerdas dan sarat makna. Di sebuah karnaval yang merayakan identitas Jombang, mereka justru membawa semangat Nusantara. Ratusan siswa SD, dengan energi yang meluap-luap, tampil garang dalam balutan kostum serba merah. Wajah mereka dirias penuh wibawa, tangan mereka menggenggam perisai dan santi (pedang).
Gerakan mereka yang sinkron, hentakan kaki yang mantap, dan teriakan-teriakan perang (yang kini menjadi teriakan penyemangat) benar-benar memanaskan suasana malam. Tari Kabasaran, yang awalnya tarian perang dan kini menjadi tarian penyambutan, ditampilkan dengan semangat yang murni. Penampilan ini seolah menjadi simbol bahwa Jombang adalah rumah bagi semua suku bangsa, sebuah Indonesia mini di mana keragaman budaya dari Sabang sampai Merauke dirayakan bersama. Ini adalah penegasan Bhinneka Tunggal Ika dalam panggung RCC 2025.
7. ITEBIS PGRI Dewantara Jombang: Heroisme “Geger Bumi Wengker”
Semangat kepahlawanan berlanjut di penampilan ketujuh. ITEBIS PGRI Dewantara Jombang membawa energi dari bumi Ponorogo dengan “Tari Geger Bumi Wengker”. Wengker adalah nama kuno untuk Ponorogo, dan tarian ini adalah tentang semangat juang, keteguhan hati, dan cinta tanah air.
Berbeda dengan Tari Kabasaran yang kolektif, tarian ini menonjolkan sosok-sosok ksatria yang gagah berani, mengingatkan kita pada figur warok yang legendaris. Gerakan tarinya tegas, patah-patah, namun penuh tenaga. Para penari menampilkan ekspresi yang kuat, menggambarkan keteguhan hati dalam menghadapi gempuran musuh.
Bagi ITEBIS PGRI Dewantara, ini bukan sekadar tarian. Ini adalah cerminan visi mereka untuk “generasi tangguh dan berdaya saing tinggi”. Mereka seolah ingin berkata bahwa generasi muda Jombang adalah para ksatria masa kini, yang siap bertarung di kancah global (Geger Bumi), namun tetap berpijak kuat pada akar budaya bangsa (Wengker). Ini adalah perpaduan antara heroisme tradisional dan kompetensi modern.
8. MKKS SMA/SMK/PKPLK Negeri/Swasta Jombang: “Prahara Kaligede Tambak Beras”
Inilah salah satu penampilan yang paling ditunggu-tunggu. Kontingen gabungan raksasa dari Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA/SMK/PKPLK Negeri/Swasta se-Jombang mengangkat sebuah legenda yang sangat lokal dan bersejarah: “Prahara Kaligede Tambak Beras”.
Ini adalah kisah dari era awal Majapahit, yang berlokasi tepat di wilayah Jombang modern. Pertarungan antara Adipati Tuban, Ronggolawe, melawan panglima kerajaan, Kebo Anabrang. Kontingen ini mengubah jalanan GOR Merdeka hingga Taman ASEAN menjadi Sungai Brantas (Kaligede) kuno.
Formasi mereka terbagi dua. Satu sisi adalah pasukan Tuban pimpinan Ronggolawe, digambarkan sebagai sosok ksatria yang gagah, pemberani, namun mungkin sedikit impulsif. Di sisi lain, pasukan Majapahit pimpinan Kebo Anabrang, yang setia pada perintah raja. Pertarungan kolosal di atas “sungai” menjadi puncak penampilan.
Pesan dari lakon ini begitu dalam: sebuah tragedi tentang kesetiaan, kesalahpahaman, dan politik kerajaan. Gugurnya Ronggolawe di Tambak Beras (sebuah nama yang sangat familiar bagi warga Jombang) adalah pengingat sejarah. Penampilan ini berhasil menghubungkan masa lalu Jombang yang heroik dengan masa kini, mengingatkan bahwa di tanah yang mereka pijak, pernah terjadi peristiwa besar yang turut membentuk sejarah Majapahit.
9. MTs Negeri 16 Jombang: “Fashion Daur Ulang Sampah Organik”
Setelah serangkaian kisah epik dan legenda, MTs Negeri 16 Jombang membawa penonton kembali ke realitas abad ke-21. Mereka hadir dengan sebuah pesan yang lantang dan mendesak: kepedulian lingkungan. Namun, mereka menyampaikannya dengan cara yang sangat kreatif melalui “Fashion Daur Ulang Sampah Organik”.
Ini adalah antitesis dari karnaval pada umumnya yang penuh kemewahan. Para siswa-siswi ini berjalan di catwalk jalanan dengan gaun-gaun yang terbuat dari bahan-bahan yang tak terduga: kulit jagung (klobot) yang dirangkai menjadi gaun pesta, daun-daun kering yang ditenun menjadi rompi yang eksotis, kulit buah, hingga pelepah pisang yang diolah menjadi aksesoris kepala yang megah.
Penampilan mereka membuktikan dua hal. Pertama, sampah organik di tangan yang kreatif bisa menjadi mahakarya bernilai seni tinggi. Kedua, generasi muda Jombang (Gen Z) tidak apatis. Mereka peduli pada isu nyata seperti krisis sampah. MTsN 16 Jombang menggunakan panggung RCC 2025 tidak hanya untuk hiburan, tetapi untuk edukasi dan advokasi. Mereka adalah agen perubahan yang sesungguhnya, membuktikan bahwa kepedulian lingkungan bisa tampil fashionable.
10. Pecut Samandiman Jombang: “Tari Ksatria Gagah Pecut Samandiman”
Sebagai penutup karnaval yang spektakuler ini, tampil komunitas Pecut Samandiman Jombang. Suasana langsung tegang sekaligus magis. Bunyi “CETAR! CETAR! CETAR!” dari puluhan pecut yang diletuskan ke udara membelah keheningan malam, mengirimkan getaran yang bisa dirasakan hingga ke dada.
“Tari Ksatria Gagah Pecut Samandiman” adalah sebuah tarian yang terinspirasi dari semangat para pejuang. Pecut Samandiman, yang identik dengan pusaka Batoro Katong dari Ponorogo, di tangan komunitas Jombang ini menjadi simbol kekuatan, keberanian, dan disiplin.
Para penari, yang didominasi pria-pria tegap, bergerak dengan gagah. Mereka bukan hanya memainkan pecut, tapi menari bersamanya. Ada filosofi di balik setiap letusan: letusan ke bawah adalah simbol menaklukkan hawa nafsu, letusan ke samping untuk menyingkirkan rintangan, dan letusan ke atas sebagai penghormatan kepada Yang Maha Kuasa.
Penampilan ini adalah penutup yang sempurna. Suaranya yang menggelegar, gerakannya yang bertenaga, dan energinya yang meluap-luap memberikan kesan akhir yang tak terlupakan. Mereka seolah “membersihkan” jalanan dari sisa-sisa energi, menutup perhelatan agung ini dengan sebuah pernyataan kekuatan dan semangat ksatria yang akan selalu ada di Jombang.
Penutup: Refleksi 90 Menit yang Menakjubkan
Pukul 23.30 WIB, kontingen terakhir melintasi garis finis di Jalan Ahmad Yani. Musik perlahan mereda, namun euforia masih tertinggal di udara. Ringin Contong Carnival 2025 telah sukses melampaui ekspektasi. Selama 90 menit, Jombang telah membuktikan dirinya sebagai kuali peleburan budaya yang dinamis.
Dari akulturasi Tionghoa-Jawa (Wayang Potehi), epos Ramayana (Satrio ing Alogo & Sinta Obong), legenda lokal (Sri Tanjung & Prahara Kaligede), semangat agraris (Kidung Tetanen), kekayaan Nusantara (Tari Kabasaran), heroisme regional (Geger Bumi Wengker), isu global (Fashion Daur Ulang), hingga simbol kekuatan (Pecut Samandiman), RCC 2025 adalah sebuah paket lengkap.
Ini adalah cerminan Jombang yang sesungguhnya: sebuah kabupaten yang religius namun terbuka, yang menjunjung tinggi tradisi namun tak ragu berinovasi, yang menghargai sejarah lokalnya sekaligus merangkul keragaman nasional. RCC 2025 bukan hanya sebuah karnaval; ini adalah peneguhan identitas, sebuah pesta rakyat yang cerdas, megah, dan penuh makna. Jombang telah menetapkan standar baru, dan publik kini pastinya sudah tak sabar menanti kejutan apa lagi yang akan dihadirkan di Ringin Contong Carnival 2026.