Di tengah keberagaman budaya Asia Tenggara, Kabupaten Jombang di Jawa Timur, Indonesia, dan Negara Brunei Darussalam menawarkan narasi menarik tentang bagaimana seni tradisional menjadi jembatan antarwilayah. Jombang, yang dikenal sebagai “Kota Santri” karena peran sentralnya dalam pendidikan Islam melalui pesantren-pesantren besar seperti Tebuireng, telah melahirkan berbagai kesenian yang sarat nilai religius. Sementara itu, Brunei Darussalam, sebuah kesultanan kecil di Pulau Borneo yang kaya akan minyak bumi, mempertahankan identitas budaya Melayu-Islam yang kuat, di mana seni kerajinan tangan menjadi manifestasi dari prinsip Melayu Islam Beraja. Hubungan antara kedua wilayah ini tidak hanya bersifat historis, tetapi juga kontemporer, terlihat dari kunjungan Persatuan Persahabatan Brunei Darussalam-Indonesia (BRUDIFA) ke Jombang pada Februari 2025, yang memperkuat ikatan persaudaraan.
Secara historis, kedua wilayah terikat oleh penyebaran Islam di Nusantara sejak abad ke-15, ketika kesultanan-kesultanan Melayu seperti Brunei memengaruhi wilayah timur Indonesia, termasuk Jawa Timur. Islam tidak hanya menjadi agama mayoritas—lebih dari 90% penduduk Jombang dan 100% warga Brunei beragama Islam—tetapi juga membentuk estetika seni. Kesenian Jombang, seperti Wayang Topeng Jatiduwur dan Tari Remo, sering kali mengandung pesan moral Islami, sementara kerajinan Brunei seperti tenunan dan ukiran kayu mencerminkan motif kaligrafi dan geometris yang sesuai syariah. Kesamaan budaya ini meliputi elemen Melayu-Jawa yang sinkretis, di mana nilai religiusitas menjadi perekat utama.
Artikel ini akan mengeksplorasi hubungan kesenian kedua wilayah, mulai dari gambaran masing-masing tradisi seni, kesamaan budaya, hingga pengaruh nilai religiusitas. Pembahasan ini bertujuan untuk menggali potensi kolaborasi masa depan, di mana seni bukan hanya warisan, tetapi juga alat diplomasi budaya. Melalui lensa ini, kita melihat bagaimana Islam, sebagai benang merah, menghubungkan dua wilayah yang terpisah geografis tetapi dekat secara spiritual.
Gambaran Kesenian Tradisional Jombang
Kabupaten Jombang, dengan luas 1.119 km² dan populasi lebih dari 1,2 juta jiwa, adalah melting pot budaya Jawa Timur yang kental dengan aroma pesantren. Keseniannya lahir dari perpaduan tradisi Jawa kuno dan pengaruh Islam, sering kali ditampilkan dalam acara keagamaan seperti haul kiai atau peringatan Isra Mi’raj. Salah satu ikon utama adalah Besutan, sebuah pertunjukan teater rakyat yang berasal dari ritual penyembuhan tradisional. Besutan, yang kini berevolusi menjadi bentuk ludruk, melibatkan aktor yang memerankan tokoh-tokoh mistis untuk mengusir roh jahat, mencerminkan kepercayaan animisme yang diadaptasi dengan doa-doa Islam. Pertunjukan ini biasanya diiringi gamelan sederhana dan dialog berbahasa Jawa campur Arab, menekankan nilai tawakal dan ikhlas.
Selanjutnya, Ludruk Jombang menjadi representasi modern dari Besutan. Ludruk, yang populer sejak era 1950-an, adalah komedi satir yang mengkritik isu sosial kontemporer, seperti korupsi atau degradasi moral, dengan sentuhan humor Islami. Troupe ludruk seperti Troupe Surya Kencana sering tampil di desa-desa, menggabungkan elemen tari, nyanyian, dan dialog improvisasi. Menurut penelitian lokal, ludruk ini lestari karena perannya dalam pendidikan masyarakat, di mana pesan-pesan akhlak mulia disampaikan secara ringan.
Kesenian lain yang ikonik adalah Jaran Kepang Dor, varian lokal dari Kuda Lumping yang telah ada sejak abad ke-19. Kuda-kuda dari anyaman bambu ini “dihidupkan” melalui ritual semedi, di mana penari memasuki trance untuk menari dengan gerakan akrobatik. Daftar sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Jawa Timur, Jaran Dor tidak hanya hiburan, tetapi juga ungkapan syukur panen, sering diakhiri dengan shalawat Nabi. Gerakannya yang dinamis, diiringi gendang dan suling, melambangkan perjuangan spiritual melawan nafsu duniawi.
Wayang Topeng Jatiduwur dari Desa Jatiduwur, Kecamatan Kesamben, adalah permainan wayang dengan boneka topeng kayu yang menceritakan epos Panji dari era Majapahit. Topeng-topeng ini diukir dengan detail halus, menggambarkan karakter seperti Raden Inu Kertapati, dan pertunjukan berlangsung semalaman dengan dalang yang menyisipkan kisah-kisah nabi. Sementara itu, Tari Remo, meski lebih luas di Jawa Timur, memiliki akar kuat di Jombang sebagai tarian penyambutan tamu yang religius. Pada awal abad ke-20, Tari Remo menceritakan perjuangan pangeran dalam pertempuran, dengan gerakan yang simbolisasi jihad akbar (perjuangan batin).
Sandur Manduro, pertunjukan boneka tangan, melengkapi daftar ini dengan cerita rakyat yang mendidik anak-anak tentang etika Islam. Secara keseluruhan, kesenian Jombang bersifat komunal, sering didanai oleh warga pesantren, dan berfungsi sebagai media dakwah. Di era digital, upaya pelestarian seperti festival budaya Jombang 2023 menunjukkan adaptasi, di mana pertunjukan ini direkam untuk generasi muda. Total, kesenian ini mencerminkan identitas Jombang sebagai pusat keilmuan Islam yang artistik.
Gambaran Kesenian Tradisional Brunei Darussalam
Brunei Darussalam, dengan luas 5.765 km² dan populasi sekitar 450.000 jiwa, adalah negara monarki absolut di bawah Sultan Hassanal Bolkiah, di mana prinsip Melayu Islam Beraja menjadi fondasi negara. Keseniannya didominasi kerajinan tangan (handicrafts) yang halus, mencerminkan kemakmuran dan kepatuhan syariah. Pusat pelatihan seperti Brunei Arts and Handicrafts Training Centre (BAHTC), didirikan pada 1975, memastikan kelestarian tradisi ini.
Salah satu yang paling menonjol adalah Tenunan atau kain tenun, di mana wanita Melayu menggunakan alat tradisional untuk menghasilkan kain songket dengan motif emas-perak yang rumit. Motif seperti bunga rampai atau burung enggang melambangkan harmoni alam, sering dipakai dalam upacara pernikahan atau Hari Raya. Tenunan ini, warisan dari abad ke-16, menggabungkan teknik Asia Tenggara dengan pengaruh Islam, menghindari penggambaran makhluk hidup untuk menghormati tauhid.
Silverwork atau perak adalah seni logam yang berkembang sejak era kesultanan awal. Pengrajin di Kampong Ayer, pemukiman air bersejarah sejak abad ke-16, menciptakan perhiasan, kotak betel, dan hiasan masjid dengan ukiran kaligrafi ayat Al-Qur’an. Teknik filigree dan repoussé menghasilkan karya yang indah, sering diekspor sebagai suvenir diplomasi. Sementara itu, Kris Making, pembuatan keris Melayu, adalah seni bersenjata yang sakral. Keris, dengan bilah bergelombang, melambangkan kekuatan spiritual dan sering dihiasi ukiran doa, digunakan dalam ritual pembersihan rumah.
Anyaman atau plaiting dari rotan dan pandan menghasilkan keranjang, tikar, dan topi songkok—topi salat pria yang ikonik. Songkok Brunei, dengan bentuk bulat dan warna hitam, adalah simbol identitas Melayu-Islam, diproduksi secara massal untuk ekspor ke Malaysia dan Indonesia. Ukiran kayu (wood carving) pada pintu masjid atau perabot rumah tangga menampilkan motif geometris dan flora, menghindari figuratif untuk sesuai fatwa syariah. Brassware dan bronze tooling melengkapi, dengan vas dan lampu yang dihiasi kaligrafi.
Kesenian Brunei bersifat utilitarian sekaligus estetis, sering ditampilkan di festival seperti Brunei International Arts Festival. Di Kampong Ayer, komunitas ini menjadi living museum, di mana turis belajar membuat anyaman sambil mendengar cerita rakyat Islami. Pelestarian didukung pemerintah melalui subsidi, memastikan seni ini tetap relevan di era globalisasi.
Kesamaan Budaya Kedua Wilayah
Meskipun Jombang berbasis budaya Jawa dan Brunei Melayu murni, kesamaan budaya keduanya mencolok, terutama dalam konteks Islam Nusantara. Keduanya bagian dari Asia Tenggara tropis, anggota ASEAN, dan berbagi sejarah penyebaran Islam melalui jalur perdagangan. Mayoritas Muslim menciptakan fondasi bersama: di Jombang, 98% penduduk Islam; di Brunei, 100%. Ini tercermin dalam seni yang menghindari syirik, seperti motif non-figuratif di ukiran Brunei mirip dengan topeng Wayang Jombang yang simbolis.
Kesamaan pertama adalah pengaruh Melayu-Jawa sinkretis. Brunei, sebagai pusat kesultanan Melayu abad ke-15, memengaruhi Jawa Timur melalui migrasi dan perdagangan. Elemen seperti gamelan Jombang mirip dengan ensembel musik Melayu Brunei (gabus), keduanya diiringi pertunjukan ritual. Tari Remo Jombang, dengan gerakan dinamis, serupa dengan zapin Brunei—tarian sosial yang menggabungkan langkah-langkah Arab dan Melayu, sering ditarikan di acara keagamaan.
Kedua, fungsi sosial seni sebagai dakwah. Di Jombang, Ludruk dan Besutan mendidik moral Islami; di Brunei, cerita rakyat melalui wayang kulit (walaupun jarang) atau lagu-lagu qasidah menyampaikan kisah nabi. Keduanya menggunakan seni untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah, seperti dalam haul atau Hari Asyura.
Ketiga, motif estetika Islami. Ukiran geometris di silverwork Brunei mirip dengan anyaman rotan Jaran Dor, keduanya terinspirasi alam sebagai ciptaan Allah. Bahasa juga serumpun: istilah Jawa seperti “rembug” (diskusi) mirip “rembugan” Melayu Brunei, memudahkan pertukaran budaya.
Keempat, adaptasi terhadap modernitas. Festival budaya Jombang 2023 dan BAHTC Brunei menunjukkan kolaborasi, di mana generasi muda diajari melalui workshop. Kunjungan BRUDIFA ke Jombang membahas pertukaran seni, seperti pameran tenunan Brunei di pesantren Tebuireng. Secara keseluruhan, kesamaan ini menjadikan kedua wilayah sebagai mitra potensial dalam pelestarian warisan UNESCO, memperkaya identitas Nusantara.
Pengaruh Nilai Religiusitas terhadap Hubungan Kedua Wilayah
Nilai religiusitas Islam menjadi katalisator utama hubungan kesenian Jombang dan Brunei, membentuk estetika, fungsi, dan dinamika interaksi. Islam, yang masuk ke Jombang melalui wali songo abad ke-16 dan ke Brunei pada abad ke-15, mengadaptasi seni lokal menjadi alat dakwah tanpa menghilangkan akar budaya. Di Jombang, pesantren seperti Tebuireng mengintegrasikan seni ke kurikulum, di mana Tari Remo digunakan untuk mengajarkan jihad fi sabilillah (perjuangan di jalan Allah), sementara di Brunei, seni tenunan menjadi simbol kesabaran (sabr) seperti dalam Al-Qur’an surah Al-Asr.
Pengaruh pertama adalah pembatasan estetika syariah. Keduanya menghindari penggambaran makhluk hidup secara realistis; Wayang Topeng Jombang menggunakan simbolisme, mirip ukiran kayu Brunei yang geometris untuk menghindari syirik. Ini menciptakan kesamaan dalam “seni halal”, di mana motif bunga dan kaligrafi mendominasi, memperkuat hubungan melalui pemahaman bersama tentang aniconism Islam.
Kedua, fungsi ritual dan sosial. Nilai ukhuwah mendorong pertukaran: penyerahan Mushaf Sultan Brunei ke Tambakberas Jombang pada Juni 2025 menjadi simbol penghormatan terhadap tradisi pesantren, di mana seni wayang digunakan untuk membaca tafsir. Di Brunei, seni kris melambangkan iman, serupa Jaran Dor yang trance-nya diakhiri zikir, keduanya menekankan tawhid.
Ketiga, adaptasi global. Globalisasi menantang, tapi religiusitas menjadi benteng: di Jombang, ludruk satir mengkritik sekularisme; di Brunei, BAHTC mengajarkan seni sebagai ibadah. Ini memengaruhi hubungan bilateral, seperti MoU budaya Indonesia-Brunei 2024 yang fokus pada seni Islami. Akhirnya, nilai ini memperkaya diplomasi, di mana seni menjadi bahasa universal untuk perdamaian.
Hubungan Kontemporer
Kunjungan BRUDIFA ke Jombang pada 2025 membuka pintu kolaborasi seni, seperti workshop tenunan dengan pengrajin Jombang dan pertunjukan ludruk di Bandar Seri Begawan. Ini memperkuat ikatan historis, dengan potensi festival bersama.
Kesimpulan
Hubungan kesenian Jombang dan Brunei adalah cerminan harmoni Islam dengan budaya lokal, di mana kesamaan dan religiusitas menjadi jembatan abadi. Melalui pelestarian bersama, kedua wilayah dapat mewariskan warisan ini kepada generasi mendatang, memperkuat persaudaraan Nusantara.

