Janger Banyuwangi: Akulturasi Budaya di Ujung Timur Jawa, Sebuah Ekspresi Budaya Tradisional yang Melintasi Zaman

Kesenian Janger dari Kabupaten Banyuwangi merupakan salah satu permata budaya di ujung timur Pulau Jawa. Ia bukan sekadar tontonan, melainkan sebuah teater rakyat hibrida yang memadukan unsur-unsur seni dari berbagai latar belakang, menjadikannya unik dan sarat makna. Terletak di perbatasan geografis dan budaya antara Jawa dan Bali, Banyuwangi melahirkan Janger sebagai cermin akulturasi yang kaya, terutama antara budaya Using (pribumi Banyuwangi), Jawa, dan Bali. Kesenian ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, menegaskan posisinya sebagai identitas kultural yang harus dijaga kelestariannya.


 

Asal-Usul Kesenian Janger Banyuwangi

Sejarah kemunculan Janger Banyuwangi tidak bisa dilepaskan dari konteks persinggungan budaya yang intens di wilayah tersebut, terutama pengaruh kuat dari Bali yang berjarak sangat dekat. Janger Banyuwangi diperkirakan muncul pada abad ke-19 atau awal abad ke-20, dan memiliki nama awal yang berbeda sebelum populer sebagai Janger.

1. Inisiasi dari Mbah Darji

Sumber sejarah menyebutkan bahwa Janger Banyuwangi konon diciptakan oleh seorang penggemar kesenian daerah sekaligus pedagang sapi bernama Mbah Darji dari Dukuh Klembon, Singonegaraan, Banyuwangi. Sebagai seorang pedagang, Mbah Darji sering bepergian ke Bali dan sangat mengagumi kesenian teater rakyat di sana, khususnya Teater Arja (sebuah opera tradisional Bali).

Dari kekaguman dan perkenalannya dengan seniman musik lokal di Banyuwangi, Mbah Darji menggagas ide untuk mengombinasikan seni teater yang sudah ada di Banyuwangi, yaitu Teater Ande-Ande Lumut atau disebut juga Jinggoan (lakon cerita Minakjinggo dari Kerajaan Blambangan), dengan unsur-unsur kesenian Bali, seperti tarian dan iringan gamelan Bali. Hasil pencampuran ini awalnya dikenal sebagai Damarwulan Klembon atau Janger Klembon.

2. Akulturasi Tiga Budaya

Kesenian ini berkembang dari perpaduan tiga unsur utama:

  • Budaya Lokal (Using/Banyuwangi): Terutama tampak dalam penggunaan Bahasa Using dan/atau Bahasa Jawa dialek setempat dalam dialog dan lagu-lagu daerah, serta adegan-adegan komedi (lawak) yang kental dengan ciri khas lokal.
  • Budaya Jawa: Pengaruh teater tradisional Jawa seperti Ketoprak, Ludruk, dan Wayang Orang terlihat dalam struktur lakon, jenis cerita (sering mengangkat kisah-kisah babad dan legenda Jawa seperti Damarwulan dan Minakjinggo), serta penggunaan tingkatan bahasa Jawa (Kromo Inggil/Jawa Tengahan) untuk tokoh-tokoh tertentu.
  • Budaya Bali: Paling kentara dalam tata gerak (tari), busana, dan musik pengiring yang mayoritas mengadopsi gaya Bali, termasuk penggunaan instrumen Gamelan Bali seperti Gong, Ceng-ceng, dan Kendang Bali.

3. Fungsi Awal dan Perkembangan

Pada awalnya, Janger dirancang sebagai hiburan rakyat yang juga menyisipkan unsur edukasi dan informasi melalui lakon-lakon yang dibawakan. Kesenian ini dengan cepat populer dan menyebar, bahkan hingga ke daerah-daerah di luar Banyuwangi seperti Malang pada tahun 1950-an.


 

Perbedaan Janger Banyuwangi dengan Janger Bali

Meskipun Janger Banyuwangi mengadopsi banyak elemen dari Bali, keduanya memiliki perbedaan mendasar yang menegaskan identitas masing-masing. Janger Banyuwangi merupakan seni teatrikal atau drama tari, sementara Janger Bali lebih dikenal sebagai tari pergaulan.

Aspek Pembeda Janger Banyuwangi Janger Bali
Bentuk Pertunjukan Teater Rakyat/Drama Tari yang menampilkan alur cerita lengkap (lakon) dengan dialog dan babak-babak tertentu. Tari Pergaulan/Tari Balih-balihan yang lebih fokus pada koreografi tari dan nyanyian bersahut-sahutan.
Alur Cerita/Lakon Memiliki alur cerita yang panjang dan dramatis, sering mengangkat kisah Minakjinggo vs. Damarwulan, sejarah Kerajaan Blambangan, atau cerita rakyat lokal. Umumnya tidak memiliki lakon yang rumit; jika ada cerita, lebih berfokus pada kehidupan remaja atau kisah ringan.
Bahasa Pengantar Menggunakan Bahasa Using atau Bahasa Jawa (Tengahan/Kromo Inggil) untuk dialog. Mayoritas menggunakan Bahasa Bali.
Unsur Komedi Memiliki adegan Goro-goro atau lawak yang kental dengan budaya Jawa dan Banyuwangi, seringkali menyisipkan pesan sosial atau politik. Unsur lawak ada, namun cenderung lebih terintegrasi dalam tarian, tidak memiliki babak khusus “goro-goro” ala Jawa.
Iringan Musik Menggunakan paduan Gamelan Bali (dominan) dengan unsur alat musik lokal Banyuwangi seperti Angklung Banyuwangi dan kadang Rebana, menciptakan karakter musik hibrida. Murni menggunakan Gamelan Gong Kebyar atau sejenisnya dari Bali, dengan karakteristik melodi dan ritme Bali yang khas.
Busana Busana untuk tokoh-tokoh tertentu (kesatria/raja) mengadopsi gaya Bali yang dimodifikasi, sementara untuk peran rakyat jelata menggunakan pakaian khas Jawa/lokal. Busana dan tata rias cenderung murni mengikuti pakem seni tari Bali.

Intinya, Janger Banyuwangi adalah pertunjukan teater dengan rasa Jawa-Using yang dibungkus dengan gerak dan musik ala Bali.


 

Perkembangan Kesenian Janger Banyuwangi

Perjalanan Janger Banyuwangi dapat dibagi menjadi beberapa fase utama:

1. Fase Awal (Pra-Kemerdekaan hingga 1945)

Fase ini ditandai dengan kemunculan Janger sebagai hiburan rakyat sederhana yang bertumbuh dari akulturasi budaya. Awalnya, fokus utama adalah pada cerita-cerita Damarwulan-Minakjinggo. Kesenian ini juga mulai digunakan sebagai media sosialisasi.

2. Fase Politik (1945–1965)

Pada fase revolusi dan masa Demokrasi Terpimpin, Janger mengalami sentuhan politik yang signifikan.

  • Media Perjuangan: Para pejuang kemerdekaan sering menyamar sebagai seniman Janger untuk mengelabui Belanda, menjadikan Janger sebagai media penyampaian pesan perjuangan dan pemersatu bangsa.
  • Alat Kampanye: Janger juga sempat berfungsi sebagai alat kampanye politik (vote getter) oleh partai-partai pada Pemilu 1955, karena kemampuannya mengumpulkan massa. Lakon dan sisipan lawak digunakan untuk menyuarakan ideologi atau pesan politik.

3. Fase Hiburan dan Inovasi (1970-an hingga Kini)

Setelah gejolak politik mereda, Janger kembali menguatkan fungsinya sebagai media hiburan rakyat.

  • Dominasi Hiburan: Cerita-cerita disajikan lebih ringan, dengan penekanan pada sisi komedi dan romantis, sesuai selera pasar.
  • Inovasi dan Kreasi: Grup-grup Janger yang bertahan mulai melakukan inovasi, baik dalam tata panggung, kostum, maupun alur cerita, tanpa meninggalkan pakem inti. Inovasi ini penting agar Janger tetap relevan bagi generasi muda dan mampu bersaing dengan seni pertunjukan modern (seperti yang dilakukan oleh Grup Janger Madyo Utomo yang terkenal).
  • Pengakuan Budaya: Janger diakui secara resmi sebagai Warisan Budaya Tak Benda, meningkatkan perhatian pemerintah daerah dalam pelestariannya.

 

Hambatan Pengembangan Kesenian Janger

Meskipun Janger Banyuwangi telah menjadi ikon budaya, ia menghadapi berbagai tantangan yang mengancam kelestariannya di era modern:

1. Keterbatasan Regenerasi Seniman

  • Minat Generasi Muda: Generasi muda cenderung lebih tertarik pada hiburan modern (digital, film, musik populer), sehingga minat untuk belajar Janger (menari, memainkan gamelan, menjadi dalang) menurun drastis.
  • Kurangnya Kaderisasi: Banyak grup Janger tua kekurangan program kaderisasi formal, sehingga pengetahuan dan keterampilan hanya diwariskan dalam lingkaran keluarga inti atau orang terdekat.

2. Persaingan dengan Seni Populer

  • Gempuran Media Digital: Seni pertunjukan tradisional sulit bersaing dengan tontonan yang disajikan secara instan dan masif melalui televisi dan media sosial.
  • Pergeseran Selera: Masyarakat, khususnya di perkotaan, memiliki selera hiburan yang berubah, menganggap Janger sebagai seni yang “ketinggalan zaman” atau terlalu panjang durasinya.

3. Kendala Ekonomi dan Profesionalisme

  • Pendapatan Tidak Menentu: Penghasilan para seniman Janger seringkali tidak menentu dan hanya bergantung pada undangan pentas (misalnya saat hajatan atau festival).
  • Keterbatasan Panggung: Frekuensi pementasan di panggung formal atau festival masih terbatas, mengurangi kesempatan seniman untuk tampil dan mendapatkan penghasilan.

4. Tantangan Inovasi

  • Keseimbangan Tradisi dan Modernitas: Sulitnya menemukan titik keseimbangan dalam berinovasi. Inovasi yang berlebihan dapat menghilangkan keaslian dan nilai tradisional Janger, sementara ketiadaan inovasi akan membuatnya sulit bertahan.

 

Usaha Pelestarian Kesenian Janger sebagai Ekspresi Budaya Tradisional

Pelestarian Janger memerlukan kerja sama multi-pihak, melibatkan seniman, pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Upaya yang telah dan dapat dilakukan mencakup:

1. Peran Pemerintah Daerah (Pemkab Banyuwangi)

  • Penetapan Kurikulum Lokal: Mendorong Janger (atau seni tari dan musik Janger) untuk dimasukkan ke dalam kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah, dari tingkat dasar hingga menengah.
  • Dukungan Finansial dan Fasilitasi: Memberikan bantuan dana rutin kepada sanggar dan grup Janger yang aktif, serta memfasilitasi pementasan di acara-acara resmi daerah dan festival (seperti Banyuwangi Festival).
  • Dokumentasi dan Digitalisasi: Mendokumentasikan secara profesional semua aspek Janger (lakon, musik, tari, kostum) dan mempublikasikannya melalui platform digital agar dapat diakses secara luas.

2. Regenerasi dan Edukasi

  • Pendirian Sanggar Formal: Membangun dan mendukung keberadaan sanggar-sanggar Janger sebagai pusat pelatihan dan kaderisasi seniman muda.
  • Lomba dan Festival: Mengadakan lomba atau festival Janger rutin dengan kategori usia yang berbeda untuk memicu semangat kompetisi dan melahirkan bakat-bakat baru.
  • Pelatihan Intensif: Menyelenggarakan workshop atau pelatihan yang melibatkan seniman senior dan akademisi untuk menjaga kemurnian pakem, sekaligus mendorong inovasi yang terukur.

3. Inovasi dan Promosi

  • Penyajian Kontemporer: Mendorong seniman untuk menggarap lakon-lakon baru yang lebih relevan dengan isu-isu kontemporer, namun tetap dalam bingkai estetika Janger.
  • Kolaborasi Lintas Seni: Mengadakan kolaborasi antara Janger dengan musik modern, film, atau seni rupa untuk menarik perhatian audiens yang lebih luas.
  • Pemasaran Digital: Memanfaatkan media sosial dan platform video (YouTube, TikTok) untuk mempromosikan cuplikan pementasan atau konten edukasi tentang Janger kepada masyarakat global.

4. Pemberdayaan Ekonomi Seniman

  • Skema Bisnis Kreatif: Mengembangkan skema bisnis kreatif di sekitar Janger, seperti penjualan merchandise bertema Janger, atau mengintegrasikan Janger dalam paket wisata budaya.
  • Pemberdayaan Masyarakat: Seperti beberapa kelompok yang sudah melakukannya, mengembangkan sistem ekonomi pendukung seperti program bagi hasil sapi ternak (seperti Janger Eko Budoyo) untuk meningkatkan kesejahteraan seniman.

 

Kesimpulan

Janger Banyuwangi adalah sebuah mahakarya akulturasi yang mencerminkan sejarah panjang persinggungan budaya di wilayah Blambangan. Ia telah melalui berbagai fase, dari hiburan rakyat, media perjuangan, alat politik, hingga kembali menjadi ekspresi budaya murni. Keunikannya terletak pada perpaduan yang harmonis antara drama dan bahasa Jawa-Using dengan estetika gerak dan musik Bali.

Agar Janger Banyuwangi dapat terus bertahan melintasi zaman, diperlukan komitmen kolektif. Upaya pelestarian bukan hanya tentang mempertahankan bentuk aslinya, tetapi juga tentang bagaimana membuat Janger tetap hidup, relevan, dan menghasilkan bagi para pelakunya di tengah arus modernisasi. Dengan demikian, Janger akan terus menjadi warisan budaya yang membanggakan, selamanya menjadi cermin identitas Jagat Blambangan di ujung timur Jawa.

Tinggalkan Balasan