Pendahuluan: Sebuah Ikon Batik dari Tanah Santri
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang semakin didominasi oleh teknologi dan globalisasi, ada sosok yang tetap teguh mempertahankan akar budaya Indonesia. Ia adalah Karsam, SPd, MPd, PhD, yang dikenal luas sebagai “Doktor Batik” pertama di Indonesia. Lahir di Tuban, Jawa Timur, Karsam kini menjadi ikon pelestarian batik dari Jombang, sebuah kabupaten yang dikenal sebagai “Kota Santri” dengan kekayaan spiritual dan budaya yang mendalam. Bukan sekadar seniman, Karsam adalah akademisi, peneliti, dan pendidik yang telah mengabdikan hidupnya untuk membangkitkan kembali seni batik melalui pendekatan ilmiah dan inovatif.
Artikel ini akan menelusuri perjalanan hidup Karsam, dari masa kecil yang penuh gejolak hingga pencapaiannya sebagai dekan fakultas dan pelopor batik berbahan alami. Melalui artikel ini, kita akan menggali bagaimana seorang anak desa yang pernah bermimpi menjadi tentara bertransformasi menjadi pelindung warisan UNESCO. Kisahnya bukan hanya tentang kain bermotif indah, melainkan tentang ketekunan, inovasi, dan cinta tak terbatas pada budaya bangsa. Melalui Karsam, batik Jombang bukan lagi sekadar kain, tapi simbol identitas, ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan.
Masa Kecil: Dari Gambar Wayang ke Dunia Seni Rupa
Karsam lahir pada tahun 1968 di Tuban, sebuah wilayah pantai utara Jawa Timur yang kaya akan tradisi maritim dan kesenian rakyat. Sejak kecil, bakat seni sudah melekat dalam dirinya. Orang tuanya, almarhum ayahnya yang bekerja sebagai nelayan dan ibunya Rusminah yang pandai bercerita, menjadi inspirasi awal. Karsam mengenal wayang dari dongeng-dongeng ibunya, khususnya wayang Werkudara—tokoh pewayang yang gagah dan penuh petualangan. “Saya suka menggambar wayang itu sejak kelas lima SD,” kenang Karsam dalam sebuah wawancara. Gambar-gambar sederhana itu menjadi pintu masuknya ke dunia seni rupa, di mana ia mulai bereksperimen dengan pensil dan kertas bekas.
Namun, kehidupan tak selalu mulus. Tahun 1980 menjadi titik balik tragis bagi keluarga Karsam. Dari kehidupan yang berkecukupan—dengan harta warisan dari usaha orang tua—mereka tiba-tiba jatuh miskin. Kesalahan manajemen keuangan, ditambah ketidakmampuan orang tua yang tak berpendidikan tinggi, membuat harta lenyap seketika. Karsam, yang saat itu masih anak-anak, harus pindah ke rumah kakeknya di Tuban. Bersama kakak, adik, dan Lik (adik kakek), ia belajar bertahan hidup di tengah keterbatasan. “Kami harus bekerja keras, tapi justru dari situ saya belajar kedisiplinan,” ujarnya.
Pindah ke kakek membawa perubahan positif. Mbah-nya, seorang pensiunan tentara, mengajarkan nilai-nilai militer: disiplin, ketabahan, dan kerja sama. Karsam sempat terinspirasi ingin menjadi tentara, mengikuti jejak mbah-nya. Namun, bakat seninya tak bisa ditekan. Di sekitar tahun 1986, ia mulai mendalami seni rupa lebih serius, meski harus menyeimbangkannya dengan pekerjaan sampingan untuk membantu keluarga. Pengalaman ini membentuk karakternya: sederhana, rendah hati, dan pekerja keras. Tubuh kurus dengan kumis tebal di atas bibir—ciri khas yang membuatnya mudah dikenali—menjadi simbol ketangguhannya, seperti palu kecil yang ia gunakan untuk membentuk kayu jati dalam proses pembuatan cap batik.
Bakat seni semakin terasah saat ia masuk sekolah menengah. Karsam sering menghabiskan waktu di lantai rumah, memegang palu di tangan kanan dan pisau patar di tangan kiri, membentuk pola kayu untuk cap batik. Peluh mengucur, tapi senyum tak pernah pudar. “Seni bukan soal kemewahan, tapi ketekunan,” katanya. Dari sini, benih cinta pada batik mulai tumbuh, meski saat itu ia belum tahu bahwa itu akan menjadi panggilan hidupnya.
Pendidikan dan Transformasi: Menuju Gelar Doktor Batik
Pendidikan formal Karsam dimulai dengan gelar Sarjana Pendidikan (SPd) di bidang seni rupa. Ia melanjutkan ke magister (MPd) sebelum akhirnya mengejar doktor di University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Gelar PhD-nya pada 2005 menjadikannya “Doktor Batik” pertama di Indonesia—sebuah pencapaian honoris causa yang diakui secara nasional. Disertasinya fokus pada pewarnaan batik alami, di mana ia gagal berkali-kali sebelum menemukan formula sempurna dari tanaman lokal seperti kunyit, secang, mahoni, dan Indigofera.
Proses ini penuh tantangan. Karsam harus menyeimbangkan kuliah dengan tanggung jawab keluarga. “Saya sering belajar malam hari, sambil memikirkan motif batik Jombang,” ceritanya. Dari Malaysia, ia membawa pulang pengetahuan tentang standarisasi batik, yang kemudian menjadi dasar penelitiannya. Kembali ke Indonesia, ia bergabung dengan STIKOM Surabaya sebagai dosen, mengajar di Program Studi D-IV Multimedia dan S1 Desain Komunikasi Visual. Kini, sebagai Dekan Fakultas Desain dan Industri Kreatif di Universitas Dinamika (Undika), ia membimbing generasi muda untuk mengintegrasikan teknologi dengan tradisi.
Pendidikannya tak berhenti di gelar. Karsam terus belajar dari alam dan masyarakat. Ia sering mengunjungi sentra batik di Jombang, seperti Desa Ploso, untuk mendokumentasikan motif tradisional. “Batik adalah bahasa visual budaya kita,” tegasnya. Gelar doktornya bukan akhir, tapi awal dari misi pelestarian.
Karir Akademik dan Inovasi: Batik Ploso Lore Brantas
Sebagai akademisi, Karsam adalah jembatan antara teori dan praktik. Di Undika, ia memimpin kurikulum yang menekankan desain berkelanjutan, di mana mahasiswa belajar membuat batik digital sekaligus tradisional. Pada 2019, ia memimpin proyek pemberdayaan UKM batik Jombang melalui motif berbasis kearifan lokal, yang diterbitkan dalam jurnal Sinergitas PkM & CSR. Proyek ini membangun brand image batik Jombang, meningkatkan penjualan hingga 30% di kalangan UMKM lokal.
Inovasinya paling menonjol dalam pewarnaan alami. Berbeda dengan batik sintetis yang merusak lingkungan, Karsam mengembangkan formula dari baking soda sebagai fiksasi remasol, memungkinkan kombinasi warna tanpa pudar. Publikasinya tahun 2022 di Journal of Civil Engineering, Planning and Design membuktikan efektivitas metode ini. Batiknya, “Ploso Lore Brantas”, terinspirasi dari Sungai Brantas yang mengalir di Jombang—simbol kehidupan dan perjuangan. Motifnya mencakup daun Ploso, daun Jombang, dan bentuk bawang, mencerminkan identitas agraris dan santri.
Pada 2022, motif ini dipatenkan, dan pernah dipesan dari Belgia saat Susi Pudjiastuti menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan. Harga per kain (2 meter) mencapai Rp2-5 juta, karena campuran pewarna alami yang rumit. “Air limbahnya aman dibuang ke sungai,” jelas Karsam, menekankan aspek ekologi. Kunjungan Bupati Jombang Warsubi pada Mei 2025 semakin mengukuhkan posisinya. Warsubi memuji karya itu sebagai “produk unggulan daerah” dan mendorongnya menjadi oleh-oleh khas Jombang, dengan dukungan lintas sektor untuk pasar nasional dan internasional.
Kontribusi Sosial: Keyna Galeri dan Pengabdian Masyarakat
Lebih dari akademisi, Karsam adalah filantropis budaya. Di rumahnya di Desa Bawangan, Kecamatan Ploso, ia mendirikan Keyna Galeri—sebuah balai latihan batik gratis untuk siapa saja, terutama anak-anak. Sejak 2010, ia membimbing tiga pengrajin lokal, meski mereka masih menggunakan pewarna sintetis. “Saya ajari mereka pelan-pelan, agar tak kehilangan warisan,” katanya.
Pada Hari Batik Nasional 2 Oktober 2023, Karsam berbagi ilmu di YouTube Undika, menekankan batik sebagai “masterpiece cinta dan inovasi”. Galeri ini menjadi pusat diseminasi, seperti acara di Museum Mpu Tantular pada Desember 2024, dihadiri 75 peserta dari kalangan seniman hingga pedagang. Ia juga berkolaborasi dengan mahasiswa PMM UMM pada 2020, mengajak mereka mengunjungi sentra batik Jombang untuk belajar kearifan lokal.
Kontribusinya tak terbatas di Jombang. Pada 2020, ia terlibat dalam pelestarian batik Gedog Tuban selama pandemi COVID-19, menggunakan IT 4.0 untuk pemasaran online. Publikasi di Journal of Advanced Research in Law and Economics menunjukkan bagaimana standarisasi batik meningkatkan daya saing UMKM. Bahkan, dokumenter “Perjalanan Sang Doktor Batik: Karsam” (2024) oleh mahasiswa PFTV Undika memenangkan juara 1 tingkat nasional, mengangkat kisahnya sebagai inspirasi.
Penelitian dan Publikasi: Warisan Ilmiah untuk Generasi Mendatang
Karsam telah menghasilkan puluhan publikasi, terindeks di Google Scholar dengan sitasi signifikan. Beberapa karya utama:
2019: “Batik dari Masa Keraton Hingga Revolusi Industri 4.0″** (Revka Prima Media). Buku ini melacak evolusi batik dari era kerajaan ke era digital, menekankan adaptasi motif tradisional.
2019: “Pemberdayaan UKM Batik Melalui Pengembangan Desain Motif Berbasis Kearifan Lokal”**. Upaya membangun brand batik Jombang melalui motif santri dan agraris.
2020: “Batik Standardization as Batik Artisan Empowerment Model For Marketing Process”** (European Journal of Business and Management). Model standarisasi untuk memberdayakan pengrajin.
2021: “Deferensiasi Batik Melalui Desain Kontemporer Berbasis Icon Lokal”**. Menggabungkan ikon Jombang seperti masjid dan sawah ke desain modern.
2022: “Preservation, Standardization and Information Technology 4.0 of Traditional Gedog Tuban Batik”**. Strategi bertahan di masa pandemi.
2024: “Kajian Ciri dan Motif Batik Jombangan: Studi Kasus Jombang Kota Santri”** (Panggung Jurnal Seni Budaya). Analisis mendalam motif batik sebagai cerminan identitas religius Jombang.
Penelitiannya holistik: dari teknik pewarnaan hingga manajemen mutu. Pada 2020, ia mengembangkan teknologi pengering batik dan digital marketing untuk UKM, diterbitkan dalam prosiding konferensi nasional. “Penelitian batik harus bermanfaat bagi rakyat,” tegasnya.
Dampak dan Tantangan: Menuju Batik Berkelanjutan
Dampak Karsam terasa luas. Batik Jombang kini menjadi ikon ekonomi kreatif, dengan UMKM yang terempower naik kelas. Kunjungan bupati 2025 membuka peluang kolaborasi pemerintah, termasuk pelatihan Pokmas di Balai Desa Bawangan. Secara lingkungan, metodenya mengurangi polusi dari pewarna kimia, selaras dengan SDGs UNESCO.
Tantangan tetap ada: kurangnya minat generasi muda dan kompetisi global. Karsam mengatasinya dengan galeri gratis dan kurikulum inovatif. “Batik harus hidup, bukan museum mati,” katanya. Dokumenter 2024 membuktikan daya tariknya bagi milenial.
Kesimpulan: Warisan Abadi Sang Doktor Batik
Karsam bukan hanya doktor batik; ia adalah jantung denyut budaya Indonesia. Dari Tuban ke Jombang, dari wayang ke motif Ploso, perjalanannya mengajarkan bahwa pelestarian dimulai dari hati. Di usia 57 tahun (2025), ia terus bekerja: memukul palu kecil, mencampur pewarna alami, dan membimbing anak didik. Seperti Sungai Brantas yang tak pernah kering, semangat Karsam mengalir, menyuburkan tanah budaya Nusantara.