Kelompok Kuda Lumping Putro Anom Budoyo: Menjaga Tradisi di Jombang

Di tengah gempuran modernitas yang kian masif, ada sekelompok seniman dari Dusun Bangunrejo, Desa Gondek, Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang, yang tetap teguh menjaga warisan budaya leluhur. Mereka adalah Kelompok Kuda Lumping Putro Anom Budoyo, sebuah kelompok seni tradisional yang dipimpin oleh Adjis Maulana. Dengan konsistensi dan dedikasi, kelompok ini telah menjadi salah satu pilar penting dalam pelestarian seni Kuda Lumping, atau yang dikenal juga sebagai Jaranan, di Jombang.

Tak hanya Adjis, anaknya yang bernama Dani turut ambil bagian sebagai penabuh kendang, menunjukkan bahwa tradisi ini tak sekadar bertahan, tetapi juga diwariskan kepada generasi muda. Dani kerap tampil di berbagai pentas kesenian daerah, termasuk acara rutin Warung Pojok Kebon Rojo yang digagas oleh Bupati Jombang, Abah Warsubi. Artikel ini akan mengupas perjalanan kelompok ini, peran mereka dalam budaya lokal, serta tantangan dan harapan untuk masa depan seni tradisional.

Kuda Lumping: Warisan Budaya Jawa yang Hidup

Kuda Lumping adalah seni pertunjukan tradisional Jawa yang memukau, menggabungkan tarian, musik, dan elemen spiritual dalam satu kesatuan harmonis. Dalam pertunjukan ini, para penari “menunggangi” kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu atau bahan sederhana lainnya, bergerak lincah mengikuti irama gamelan yang menggema. Alat musik seperti kendang, gong, dan saron menjadi pengiring setia, menciptakan suasana yang penuh energi dan magis. Tak jarang, pertunjukan Kuda Lumping juga melibatkan trance atau kesurupan, di mana penari seolah dirasuki roh gaib, menambah kesan mistis yang kuat. Fenomena ini bukan sekadar atraksi, melainkan cerminan dari keterkaitan budaya Jawa dengan dunia spiritual.

Sejarah Kuda Lumping sendiri masih menjadi misteri yang menarik. Beberapa ahli budaya percaya bahwa seni ini berakar dari ritual untuk mengusir roh jahat atau menyambut musim panen, sementara yang lain mengaitkannya dengan latihan perang pasukan kavaleri pada masa kerajaan Jawa. Apa pun asal-usulnya, Kuda Lumping telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa, terutama di pedesaan. Pertunjukan ini sering digelar dalam acara adat, seperti pernikahan, khitanan, atau perayaan hari besar keagamaan. Di Jombang, seni ini terus hidup berkat kelompok-kelompok seperti Putro Anom Budoyo, yang tak hanya melestarikan, tetapi juga menghidupkan tradisi ini di tengah tantangan zaman.

Putro Anom Budoyo: Pilar Seni Tradisional Jombang

Berbasis di Dusun Bangunrejo, Kelompok Kuda Lumping Putro Anom Budoyo telah menjadi simbol ketahanan budaya di Kabupaten Jombang. Dipimpin oleh Adjis Maulana, kelompok ini bukan sekadar kumpulan seniman, tetapi juga komunitas yang memiliki misi mulia: menjaga agar Kuda Lumping tetap relevan dan dicintai. Mereka telah tampil di berbagai acara, mulai dari perayaan lokal di desa hingga panggung kabupaten yang lebih besar. Setiap penampilan mereka adalah bukti nyata dari keterampilan, kerja sama, dan semangat untuk mempertahankan identitas budaya Jawa.

Apa yang membedakan Putro Anom Budoyo dari kelompok lain adalah pendekatan mereka dalam menyeimbangkan tradisi dan inovasi. Mereka tetap setia pada elemen inti Kuda Lumping—tarian, musik gamelan, dan nuansa mistis—sambil menambahkan sentuhan modern yang membuat pertunjukan lebih menarik bagi generasi muda. Misalnya, mereka kadang memadukan instrumen tradisional dengan alat musik kontemporer, menciptakan harmoni yang segar namun tak kehilangan akar budaya. Kostum penari pun tak luput dari perhatian; desainnya diperbarui dengan warna-warna cerah dan motif yang lebih dinamis, menarik perhatian tanpa mengorbankan esensi tradisional. Inovasi ini adalah kunci untuk menjaga Kuda Lumping tetap hidup di era yang didominasi budaya pop global.

Adjis Maulana: Jiwa di Balik Putro Anom Budoyo

Adjis Maulana adalah sosok sentral dalam perjalanan Putro Anom Budoyo. Lahir dan besar di Dusun Bangunrejo, ia tumbuh di tengah kekayaan budaya Jawa yang kental. Ketertarikannya pada Kuda Lumping bermula sejak usia muda, ketika ia sering menyaksikan pertunjukan di desanya. Dengan tekad kuat, Adjis belajar dari para tetua dan seniman lokal, mengasah keterampilan hingga akhirnya mendirikan kelompoknya sendiri. Di bawah kepemimpinannya, Putro Anom Budoyo tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang, menjadi salah satu kelompok Kuda Lumping yang disegani di Jombang.

Bagi Adjis, Kuda Lumping bukan sekadar seni pertunjukan, tetapi warisan yang harus dijaga dan diwariskan. Ia tak hanya menjadi pemimpin, tetapi juga pendidik yang berdedikasi. Ia kerap melatih anak-anak muda di desanya, termasuk anaknya sendiri, Dani, untuk memahami dan mencintai seni ini. “Kuda Lumping adalah bagian dari jati diri kita sebagai orang Jawa. Kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi?” katanya suatu kali. Semangatnya menular, menginspirasi banyak anggota kelompok untuk terus berkarya meski dihadapkan pada berbagai kendala. Dengan tangan dinginnya, Adjis telah membawa Putro Anom Budoyo ke panggung yang lebih luas, termasuk acara resmi yang didukung pemerintah daerah.

Dani: Generasi Penerus yang Berbakat

Dani, anak Adjis Maulana, adalah bukti bahwa tradisi Kuda Lumping memiliki masa depan cerah di tangan generasi muda. Sejak kecil, Dani telah akrab dengan dunia seni tradisional, sering kali menemani ayahnya berlatih atau tampil. Ketertarikannya pada musik membawanya untuk mempelajari kendang, instrumen yang menjadi jantung irama dalam pertunjukan Kuda Lumping. Dengan latihan yang tekun, Dani kini menjadi salah satu penabuh kendang terbaik di kelompoknya, memberikan ritme yang kuat dan dinamis pada setiap penampilan.

Dani tak hanya aktif di Putro Anom Budoyo, tetapi juga sering tampil di pentas kesenian daerah tingkat Kabupaten Jombang. Salah satu panggung favoritnya adalah Warung Pojok Kebon Rojo, acara bulanan yang menjadi ajang promosi budaya lokal. Di sini, ia berkesempatan menunjukkan bakatnya di depan masyarakat luas, termasuk pejabat daerah dan wisatawan. Keikutsertaannya adalah simbol harapan bahwa generasi muda masih peduli pada seni tradisional, sekaligus bukti bahwa Putro Anom Budoyo terus mendapatkan pengakuan di komunitas yang lebih besar. Bagi Dani, bermain kendang bukan sekadar hobi, tetapi cara untuk menghormati warisan ayahnya dan leluhurnya.

Warung Pojok Kebon Rojo: Jendela Budaya Jombang

Warung Pojok Kebon Rojo adalah inisiatif budaya yang digelar rutin setiap bulan oleh Bupati Jombang, Abah Warsubi. Berlokasi di Taman Kebon Rojo, acara ini menjadi panggung bagi berbagai kelompok seni, pedagang kuliner, dan pengrajin lokal untuk memamerkan karya mereka. Dengan suasana yang meriah dan santai, Warung Pojok Kebon Rojo tak hanya menghibur, tetapi juga memperkuat ikatan masyarakat dengan budaya daerah. Bagi kelompok seperti Putro Anom Budoyo, acara ini adalah kesempatan emas untuk tampil dan menjangkau audiens yang lebih luas.

Setiap kali tampil di Warung Pojok Kebon Rojo, Putro Anom Budoyo selalu berhasil mencuri perhatian. Tarian energik, irama gamelan yang memukau, dan aura mistis Kuda Lumping membuat penonton terpikat. Acara ini juga menjadi sarana untuk memperkenalkan seni tradisional kepada anak-anak dan remaja, yang mungkin lebih terbiasa dengan hiburan modern. Dukungan dari pemerintah daerah melalui acara ini sangat berarti, memberikan ruang bagi seniman lokal untuk terus berkarya dan mendapatkan apresiasi yang layak. Bagi Adjis dan Dani, Warung Pojok Kebon Rojo adalah panggung kebanggaan sekaligus motivasi untuk terus melestarikan Kuda Lumping.

Dusun Bangunrejo: Latar Belakang Budaya yang Kaya

Dusun Bangunrejo, tempat kelahiran Putro Anom Budoyo, adalah dusun kecil di Desa Gondek, Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang. Meski sederhana, dusun ini memiliki kekayaan budaya yang patut diperhitungkan. Mojowarno sendiri dikenal sebagai wilayah dengan keragaman agama yang unik; selain mayoritas Muslim, terdapat pula komunitas Kristen yang signifikan, lengkap dengan gereja bersejarah yang dibangun pada tahun 1881. Keragaman ini menciptakan lanskap budaya yang kaya, di mana tradisi seperti Kuda Lumping hidup berdampingan dengan ekspresi seni lainnya.

Di Bangunrejo, Kuda Lumping bukanlah hal asing. Pertunjukan ini sering digelar untuk memeriahkan acara adat atau sekadar hiburan warga. Masyarakat setempat memandang seni ini sebagai bagian dari identitas mereka, sesuatu yang merekatkan komunitas di tengah perubahan zaman. Keberadaan Putro Anom Budoyo di dusun ini memperkuat ikatan tersebut, menjadikan Bangunrejo salah satu pusat kecil pelestarian budaya di Jombang. Di sini, tradisi bukan sekadar kenangan, tetapi bagian dari kehidupan yang terus dihidupkan oleh warganya.

Tantangan dalam Menjaga Tradisi

Melestarikan seni tradisional seperti Kuda Lumping bukanlah tugas yang mudah. Salah satu tantangan terbesar adalah menurunnya minat generasi muda. Di era digital, hiburan seperti musik pop, film, dan media sosial lebih mendominasi perhatian anak-anak dan remaja. Kuda Lumping, dengan segala kekayaannya, sering dianggap kuno dan kurang relevan. Hal ini menciptakan kesenjangan yang sulit diatasi, terutama jika tidak ada upaya aktif untuk memperkenalkan seni ini kepada generasi baru.

Selain itu, aspek finansial juga menjadi kendala. Pertunjukan Kuda Lumping tidak selalu menghasilkan pendapatan yang cukup untuk menghidupi para senimannya. Banyak anggota Putro Anom Budoyo yang harus bekerja sampingan, seperti bertani atau berdagang, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tanpa dukungan yang memadai dari pemerintah atau sponsor, kelompok seperti ini sering kali berjuang sendirian. Namun, semangat mereka tak pernah padam; cinta pada budaya dan kebanggaan akan tradisi menjadi bahan bakar yang membuat mereka terus bertahan.

Upaya Pelestarian: Inovasi dan Kolaborasi

Untuk mengatasi tantangan tersebut, Putro Anom Budoyo tak tinggal diam. Mereka aktif mengadakan pelatihan dan lokakarya di sekolah-sekolah atau komunitas lokal, mengajak anak-anak muda untuk belajar tentang Kuda Lumping. “Kami ingin mereka tahu bahwa ini adalah bagian dari diri mereka,” ujar Adjis Maulana. Selain itu, mereka juga memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan pertunjukan mereka, membagikan video dan foto yang menarik perhatian audiens digital. Langkah ini terbukti efektif dalam menjangkau generasi yang lebih luas.

Kolaborasi dengan seniman lain juga menjadi strategi mereka. Pernah suatu kali, mereka bekerja sama dengan musisi modern untuk menciptakan pertunjukan yang memadukan Kuda Lumping dengan elemen kontemporer, menghasilkan sesuatu yang segar namun tetap autentik. Inovasi semacam ini adalah bukti bahwa tradisi bisa beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan jati dirinya. Dukungan dari acara seperti Warung Pojok Kebon Rojo juga membantu mereka mendapatkan panggung dan pengakuan, memperkuat posisi mereka dalam ekosistem budaya Jombang.

Harapan untuk Masa Depan

Melihat perjalanan Putro Anom Budoyo, ada harapan besar bahwa Kuda Lumping akan terus hidup di Jombang. Dengan adanya generasi penerus seperti Dani, serta dedikasi dari Adjis Maulana dan anggota kelompok lainnya, seni ini memiliki fondasi yang kuat untuk bertahan. Namun, keberlangsungan tradisi ini tak bisa hanya bergantung pada satu kelompok. Diperlukan dukungan kolektif dari masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta untuk memastikan bahwa seni tradisional tidak tenggelam di tengah arus modernisasi.

Pemerintah daerah, misalnya, bisa meningkatkan pendanaan atau mengadakan lebih banyak acara budaya seperti Warung Pojok Kebon Rojo. Sekolah-sekolah juga bisa memasukkan seni tradisional ke dalam kurikulum, memberikan anak-anak kesempatan untuk mengenal dan mencintai warisan mereka. Sementara itu, masyarakat bisa berperan dengan menghadiri pertunjukan, memberikan donasi, atau sekadar menyebarkan informasi tentang kelompok seperti Putro Anom Budoyo. Dengan kerja sama semua pihak, Kuda Lumping tak hanya akan bertahan, tetapi juga berkembang menjadi kebanggaan bersama.

Penutup: Warisan yang Terus Menari

Kelompok Kuda Lumping Putro Anom Budoyo adalah cerminan dari semangat pelestarian budaya di tengah tantangan zaman. Di bawah kepemimpinan Adjis Maulana, dan dengan kontribusi generasi muda seperti Dani, kelompok ini telah menunjukkan bahwa tradisi bukanlah sesuatu yang statis, melainkan warisan hidup yang bisa terus diperbarui. Dari Dusun Bangunrejo hingga panggung Warung Pojok Kebon Rojo, mereka membawa Kuda Lumping menari melintasi waktu, menghibur, dan menginspirasi.

Seni tradisional seperti Kuda Lumping adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan. Melalui tangan-tangan seperti Adjis dan Dani, jembatan itu tetap kokoh, siap dilalui oleh generasi mendatang. Di Jombang, di mana budaya dan modernitas berdampingan, Putro Anom Budoyo adalah pengingat bahwa warisan leluhur adalah harta yang tak ternilai—harta yang layak diperjuangkan, dijaga, dan dirayakan.

Tinggalkan Balasan