Di tengah hiruk-pikuk modernisasi yang menyapu seluruh penjuru Indonesia, kesenian tradisional tetap menjadi napas segar bagi identitas budaya bangsa. Salah satu permata tersembunyi dari Jawa Timur adalah Pencak Dor, sebuah cabang unik dari pencak silat yang lebih menekankan pada aspek seni pertunjukan daripada pertarungan fisik semata. Berasal dari Kabupaten Jombang, Pencak Dor bukan sekadar olahraga bela diri, melainkan sebuah simfoni gerak tubuh yang selaras dengan alunan musik tradisional, mencerminkan harmoni antara kekuatan, keindahan, dan spiritualitas masyarakat Jawa.
Nama “Pencak Dor” sendiri sarat makna filosofis. “Pencak” merujuk pada gerakan-gerakan lincah dan terstruktur dalam silat, sementara “Dor” berasal dari “jidor” atau “jedhor”, sebuah alat musik tradisional berupa bedug kecil yang menghasilkan suara ritmis seperti dentuman kendang. Sehingga, Pencak Dor bisa diartikan sebagai “seni pencak yang diiringi musik jidor dan kendang”. Pertunjukan ini menggabungkan elemen bela diri, tarian akrobatik, dan musik gamelan sederhana, menciptakan pengalaman visual dan auditif yang memukau. Di Jombang, kesenian ini bukan hanya hiburan, tapi juga sarana dakwah, pelestarian nilai-nilai luhur, dan pengikat komunitas.
Menurut penelusuran lapangan, Pencak Dor masih marak di tiga kecamatan utama: Bareng, Ngoro, dan Mojowarno. Eksistensinya bergantung pada seberapa sering ditanggap (diundang) untuk acara hajatan, peringatan Hari Kemerdekaan (Agustusan), atau hari besar keagamaan seperti Rejeb-an (bulan Rajab), Maulud Nabi Muhammad SAW, dan Ruah (Sya’ban). Di era digital saat ini, di mana generasi muda lebih akrab dengan e-sports daripada jurus silat, Pencak Dor menghadapi tantangan pelestarian. Namun, justru di sinilah letak keajaibannya: kesenian ini terus hidup melalui perguruan-perguruan sporadis yang turun-temurun. Artikel ini akan mengupas sejarah, karakteristik, perkembangan, serta upaya pelestarian Pencak Dor di Jombang, dengan harapan menjadi panggilan bagi generasi muda untuk mewariskan api tradisi ini.
Sejarah Asal-Usul Pencak Dor di Jombang
Pencak Dor bukanlah ciptaan semalam; ia adalah hasil evolusi panjang dari tradisi bela diri pesantren yang berakar kuat di Jawa Timur. Secara umum, asal-usulnya dapat ditelusuri ke Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri, di mana KH Muhammad Abdullah Maksum Jauhari—dikenal sebagai Gus Maksum—mencetuskan konsep ini pada sekitar 1960-an. Gus Maksum, putra Kiai Jauhari dari Pesantren Kanigoro, melihat maraknya perkelahian antar-remaja di era pasca-kemerdekaan sebagai ancaman bagi harmoni sosial. Untuk menyalurkan energi pemuda secara positif, ia menginisiasi latih tanding silat antar-santri, yang kemudian berkembang menjadi pertunjukan publik berirama musik jidor.
Di Jombang, Pencak Dor mulai menyebar pada akhir 1960-an, dipengaruhi oleh jaringan pesantren Nahdlatul Ulama (NU) yang kuat di wilayah ini. Jombang, sebagai “kota santri” dengan ratusan pesantren seperti Tebuireng dan Jambangan, menjadi tanah subur bagi adaptasi kesenian ini. Awalnya, Pencak Dor diadopsi sebagai bagian dari latihan fisik santri, mirip dengan tradisi di Lirboyo. Namun, karena sifatnya yang spektakulernya, ia segera bertransformasi menjadi hiburan rakyat.
Salah satu tonggak sejarah di Jombang adalah pengaruh Mbah Hasyim Asy’ari, pendiri NU, yang menekankan nilai silaturahmi dalam silat. Di bawah bimbingannya, Pencak Dor tidak hanya melatih tubuh, tapi juga jiwa. Pada 1971, pengaruh dari Ponorogo—dengan tradisi Gelut Sabung atau tarung bebas—masuk ke Jombang melalui Kiai Mukrim di Ponpes Al-Bukhori Sampung, memperkaya elemen akrobatiknya. Hingga kini, Pencak Dor di Jombang tetap mempertahankan esensi pesantren: “Di atas ring lawan, di bawah ring kawan”, sebuah filosofi yang menekankan sportivitas dan persaudaraan.
Perkembangan awal bersifat sporadis. Kelompok-kelompok kecil di desa-desa terpencil mulai membentuk perguruan, mengajarkan jurus secara turun-temurun. Tidak ada organisasi formal; semuanya bergantung pada guru (patih) yang mewariskan ilmu kepada murid. Di era Orde Baru, Pencak Dor sempat terpinggirkan oleh pembinaan IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia), tapi justru bertahan sebagai kesenian lokal yang autentik. Kini, dengan dukungan pemerintah daerah, ia diakui sebagai warisan budaya takbenda Jawa Timur.
Karakteristik dan Elemen Seni Pencak Dor
Apa yang membuat Pencak Dor begitu istimewa? Jawabannya terletak pada perpaduan sempurna antara gerakan jurus, musik pengiring, dan konteks pertunjukan. Sebagai seni pertunjukan, Pencak Dor menampilkan simulasi pertarungan yang terstruktur, di mana para pesilat (pendekar) memperagakan jurus-jurus dengan irama yang selaras dengan dentuman jidor dan kendang.
Gerakan Jurus dan Teknik
Gerakan utama Pencak Dor terinspirasi dari alam dan hewan, mirip dengan pencak silat tradisional. Jurus dasar mencakup:
- Jurus Tangan Kosong: Simulasi tarung bebas dengan pukulan cepat, tendangan rendah, dan kuncian. Contohnya, “Jurus Harimau” yang gesit dan agresif, atau “Jurus Elang” yang fokus pada serangan tajam dari atas. Gerakan ini tidak hanya fisik, tapi juga estetis, dengan pose dramatis yang menyerupai tarian.
-
Elemen Akrobatik: Lompatan tinggi, putaran udara, dan jatuh ala gulat sabung dari Ponorogo. Pendekar sering menampilkan “kembangan” atau variasi bebas, di mana mereka berimprovisasi untuk memukau penonton.
-
Kuda-Kuda dan Elakan: Posisi dasar untuk keseimbangan, seperti kuda-kuda horse stance, diikuti teknik menghindar yang lincah. Semua gerakan ini dirancang untuk bertahan hidup, tapi dalam pertunjukan, ditekankan keindahannya.
Durasi satu ronde biasanya 5-10 menit, dengan tiga ronde per pertandingan. Tidak ada pemenang absolut; penilaian berdasarkan keindahan, ketepatan irama, dan sportivitas.
Musik Pengiring: Jidor dan Kendang
Irama adalah jiwa Pencak Dor. Musik dimulai dengan sholawat Badar yang dilantunkan para pemusik, diiringi jidor—bedug kecil berbentuk seperti gendang yang dipukul bergantian kanan-kiri, menghasilkan suara “dor-dor” ritmis. Kendang besar menambah kedalaman, sementara elemen gamelan seperti saron, gong, dan demung memberikan nuansa Jawa klasik.
Irama musik menentukan tempo: cepat untuk serangan, lambat untuk pertahanan. Ini menciptakan harmoni, di mana gerakan pendekar “menari” mengikuti dentuman. Tanpa musik, Pencak Dor hanyalah silat biasa; dengan musik, ia menjadi opera bela diri.
Kostum dan Properti
Pendekar mengenakan sarung motif parang atau kawung, kain ikat pinggang (tasik), dan ikat kepala (blangkon) berwarna cerah. Properti seperti keris atau cambuk kayu kadang digunakan untuk demonstrasi, tapi inti tetap tangan kosong. Panggung berbentuk ring bambu setinggi 1-2 meter, dikelilingi penonton yang duduk melingkar, menciptakan atmosfer komunal.
Perkembangan Pencak Dor di Jombang
Di Jombang, Pencak Dor berkembang secara organik, terkonsentrasi di wilayah selatan yang agraris dan kental nuansa pesantren. Dari penelusuran, kesenian ini paling marak di Kecamatan Bareng, Ngoro, dan Mojowarno—tiga kecamatan yang berbatasan dan saling memengaruhi. Di Bareng, yang dikenal dengan sawah luas dan desa-desa seperti Pakel dan Tebel, Pencak Dor menjadi bagian dari identitas lokal.
Perguruan eksis yang terlacak meliputi:
| Lokasi Perguruan | Kecamatan | Deskripsi Singkat |
|---|---|---|
| Dusun Curahrejo, Desa Pakel | Bareng | Didirikan turun-temurun sejak 1970-an, fokus pada jurus akrobatik. |
| Desa Pulosari | Bareng | Kelompok pemuda santri, sering tampil di hajatan desa. |
| Dusun Dolopo, Desa Tebel | Bareng | Terintegrasi dengan kegiatan masjid, pelatihan anak muda. |
| Desa Jambangan | Mojowarno | Berbasis pesantren, gabungkan dengan sholawat jidor. |
| Desa Catak Gayam | Mojowarno | Sporadis, aktif di peringatan Maulud Nabi. |
| Desa Mojowarno | Mojowarno | Pusat urban, tampil di festival budaya kecamatan. |
Konsentrasi tertinggi di Bareng disebabkan oleh akses mudah ke Kediri dan infrastruktur desa yang mendukung latihan lapangan. Di Ngoro, yang lebih modern dengan industri kecil, Pencak Dor muncul di acara Agustusan atau karnaval desa. Sementara di Mojowarno, dengan populasi Kristen signifikan, ia beradaptasi sebagai hiburan lintas agama.
Perkembangan awal bersifat individual: setiap perguruan mengajarkan sesuai guru masing-masing, tanpa kurikulum standar. Sejak 2000-an, ada kolaborasi melalui Paguyuban Pencak Dor Zainal Abidin, yang menghubungkan Jombang dengan Kediri. Saat ini, ada sekitar 10-15 grup aktif, meski belum semua terlacak. Tantangan utama adalah urbanisasi; banyak pemuda migrasi ke kota, meninggalkan tradisi ini pada generasi tua.
Fungsi Sosial dan Acara Penampilan
Sebagai seni pertunjukan, eksistensi Pencak Dor bergantung pada “tanggapan”—undangan untuk acara komunal. Di Jombang, ia sering menghibur hajatan seperti pernikahan, khitanan, atau selamatan panen, di mana pendekar tampil sebagai pembuka atau puncak acara. Ini mencerminkan nilai gotong royong Jawa: hiburan gratis sebagai balas budi atas dukungan masyarakat.
Pada peringatan Agustusan, Pencak Dor menjadi parade kemerdekaan, menggabungkan jurus dengan elemen nasionalis seperti lagu “Indonesia Raya” versi sholawat. Untuk hari besar keagamaan, seperti Maulud Nabi, ia diintegrasikan dengan zikir dan sholawat, menjadikannya media dakwah. Di Rejeb-an atau Ruah, pertunjukan diadakan di alun-alun desa, menarik ribuan penonton.
Fungsi sosialnya luas: membangun disiplin santri, menyalurkan energi pemuda, dan memperkuat silaturahmi. Di era konflik sosial, Pencak Dor mengajarkan “pencak sebagai langkah silaturahim”, bukan sombong. Bagi perempuan, ada adaptasi ringan sebagai tarian kembangan.
Tantangan dan Upaya Pelestarian
Meski kaya nilai, Pencak Dor menghadapi ancaman: minimnya penerus, pengaruh media sosial, dan kurangnya dana. Di Jombang, hanya 20-30% pemuda yang tertarik, lebih memilih sepak bola atau gaming. Perguruan sporadis juga rawan punah jika patih meninggal tanpa murid layak.
Upaya pelestarian mencakup:
- Festival Budaya: Pemkab Jombang rutin gelar Karnaval Budaya, di mana Pencak Dor tampil bersama ludruk dan reog.
- Integrasi Pendidikan: Beberapa pesantren masukkan Pencak Dor ke kurikulum ekstrakurikuler, bekerja sama dengan IPSI Jatim.
- Digitalisasi: Video pertunjukan diunggah ke YouTube, menarik wisatawan budaya. Paguyuban juga latih online via Zoom.
- Kolaborasi Lintas Daerah: Dengan Kediri dan Ponorogo, adakan turnamen tahunan untuk regenerasi.
Dukungan pemerintah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang krusial; anggaran untuk pelatihan bisa selamatkan 50 grup dalam lima tahun.
Kesimpulan
Pencak Dor dari Jombang adalah lebih dari kesenian; ia adalah cermin jiwa Jawa yang tangguh namun lembut, di mana dentuman jidor menyatu dengan jurus lincah, mengajak kita bernostalgia pada akar budaya. Dari perguruan sporadis di Bareng hingga panggung hajatan di Mojowarno, tradisi ini terus berdenyut, meski dihadapkan badai modern. Mari, generasi milenial, ambil peran: latihlah jurus, iringilah dengan sholawat, dan tanggaplah pertunjukan. Hanya dengan begitu, Pencak Dor takkan pudar, tapi abadi sebagai warisan Nusantara. Seperti irama kendang yang tak pernah putus, semangatnya harus terus mengalir.