Di tengah gemerlap seni bela diri modern yang didominasi oleh MMA atau taekwondo, Pencak Silat Dor dari Jombang tetap berdiri tegak sebagai permata warisan budaya Jawa Timur. Bukan sekadar teknik bertarung, Pencak Dor adalah seni pertunjukan yang memadukan gerakan lincah, irama musik jidor dan kendang, serta nilai spiritual Nahdlatul Ulama (NU). Nama “Dor” sendiri berasal dari dentuman jidor, alat musik tradisional yang menjadi pengiring utama, menciptakan simfoni gerak yang memukau. Berbeda dengan pencak silat lain yang lebih menekankan kompetisi, Pencak Dor difokuskan untuk tontonan, di mana atraksi jurus-jurusnya bervariasi tergantung asal guru, menjadikannya kanvas ekspresi budaya yang hidup.
Artikel ini mengupas keunikan gerakan Pencak Dor, mulai dari variasi aliran lama dan baru, pengaruh organisasi modern seperti Pagar Nusa, hingga analisis organisasi perguruan yang hampir semuanya berada di bawah payung tersebut—kecuali yang di Desa Mojowarno. Asal pendekar yang beragam menyebabkan jurus-jurusnya kaya variasi, mencerminkan filosofi “di atas ring lawan, di bawah ring kawan”. Pembahasan ini akan menyoroti temuan lapangan tentang dua aliran pokok: aliran lama digawangi Bapak Wiyoto dan aliran baru oleh Bapak Wardoyo. Di Ponorogo, kedua aliran ini tumbuh berdampingan, sementara di Jombang, perguruan di Desa Jambangan (Mojowarno) juga termasuk aliran lama meski ada perbedaan jurus. Perguruan di Curahrejo, Pulosari, dan Dolopo (Tebel) masuk aliran baru, dengan kesamaan karena Bapak Wardoyo sebagai guru utama. Perguruan Mojowarno yang berdiri baru tiga tahun menjadi identitas berbeda, sementara Bapak Wiyoto, berusia 60-an, telah menggeluti sejak remaja di Desa Tebel, berguru pada Haji Umar saat Bareng bernama Nasrul Ilah.
Melalui lensa ini, kita melihat bagaimana Pencak Dor bukan hanya warisan, tapi juga adaptasi dinamis terhadap zaman. Mari kita telusuri lebih dalam, agar keunikan gerakannya tak pudar di era digital.
Latar Belakang Sejarah Pencak Dor di Jombang
Pencak Dor lahir dari rahim pesantren NU di Jawa Timur, khususnya Jombang yang dikenal sebagai “kota santri”. Akar sejarahnya dapat ditelusuri ke 1960-an, ketika KH Abdulloh Maksum Jauhari (Gus Maksum) di Pesantren Lirboyo, Kediri, menginisiasi latihan silat untuk menyalurkan energi santri. Di Jombang, pengaruh ini menyebar melalui jaringan pesantren seperti Tebuireng, di mana silat menjadi bagian dakwah. Nama Pencak Dor muncul karena penekanannya pada “dor” atau irama musik, membedakannya dari silat bela diri murni.
Temuan lapangan menunjukkan, hampir semua perguruan Pencak Dor berada di bawah Pagar Nusa, organisasi pencak silat NU yang berdiri pada 1985 di Tebuireng, Jombang. Pagar Nusa, singkatan dari “Pagar NU dan Bangsa”, mewadahi ratusan perguruan NU untuk menyatukan keberagaman aliran, mencegah klaim superioritas. Kecuali perguruan di Desa Mojowarno, yang berdiri baru tiga tahun lalu dan masih mandiri, seluruhnya terafiliasi Pagar Nusa. Hal ini memungkinkan standardisasi dasar, tapi tetap mempertahankan variasi lokal.
Asal pendekar yang tidak dari satu perguruan tunggal menyebabkan jurus-jurus bervariatif. Seorang pendekar dari Tebel mungkin berguru lintas desa, membawa elemen Ponorogo seperti gulat sabung. Di Ponorogo, pusat aliran, kedua varian—lama dan baru—tumbuh sporadis. Bapak Wiyoto, tokoh aliran lama, mulai belajar sejak remaja di bawah Haji Umar, ketika Kecamatan Bareng masih bernama Nasrul Ilah. Kini berusia 60-an, ia telah mewariskan ilmu selama puluhan tahun di Desa Tebel. Sementara Bapak Wardoyo memimpin aliran baru, yang lebih adaptif dengan elemen kontemporer.
Perbedaan aliran ini bukan hitam-putih, melainkan gradasi untuk kemudahan klasifikasi. Aliran lama menjaga esensi tradisional, sementara baru mengintegrasikan inovasi. Perguruan di Jambangan, Mojowarno, meski aliran lama seperti Wiyoto, punya jurus berbeda—mungkin pengaruh pesantren setempat. Aliran baru di Curahrejo (Pakel, Bareng), Pulosari (Bareng), dan Dolopo (Tebel, Bareng) punya kesamaan karena Wardoyo sebagai guru bersama, menciptakan koherensi dalam variasi.
Karakteristik Umum Gerakan Pencak Dor
Sebagai varian pencak silat untuk tontonan, gerakan Pencak Dor menonjolkan estetika daripada destruksi. Jurus-jurusnya selaras dengan irama jidor (bedug kecil) dan kendang, menciptakan narasi visual seperti tarian perang. Durasi pertunjukan 5-10 menit per ronde, dengan tiga ronde, dinilai berdasarkan keindahan, sinkronisasi musik, dan sportivitas—bukan KO.
Gerakan dasar terinspirasi alam:
- Jurus Tangan Kosong: Pukulan lincah ala “Harimau” (gesit, rendah), atau “Elang” (serangan atas). Elakan dengan kuda-kuda horse stance, diikuti kuncian lembut.
- Atraksi Akrobatik: Lompatan, putaran udara, dan jatuh ala gulat—elemen unik dari Ponorogo. Ini membedakan dari silat kompetitif seperti di IPSI.
- Kembangan: Improvisasi bebas, di mana pendekar “bercerita” melalui gerak, seperti menghindar sambil bernyanyi sholawat.
Keunikan terletak pada sinkronisasi: dentuman “dor-dor” jidor menandai serangan cepat, sementara kendang lambat untuk pertahanan. Kostum sarung parang, tasik, dan blangkon menambah dramatisasi. Berbeda dengan aliran seperti Cimande (Jawa Barat) yang fokus kekuatan, Pencak Dor lebih artistik, mirip Silat Bungo Minang untuk peragaan adat.
Variasi jurus muncul karena asal guru: pendekar Tebel bawa elemen spiritual NU, sementara Mojowarno tambah nuansa lintas agama. Ini membuat setiap pertunjukan unik, tergantung “tanggapan” acara seperti Maulud Nabi atau Agustusan.
Perbandingan Aliran Lama dan Aliran Baru
Dua aliran pokok—lama dan baru—menjadi inti keunikan gerakan Pencak Dor. Aliran lama, digawangi Bapak Wiyoto di Tebel dan Jambangan (Mojowarno), menekankan kemurnian tradisi. Jurusnya lebih lambat, filosofis, dengan pose panjang yang melambangkan tawadhu. Misalnya, “Jurus Sujud” diakhiri sujud hormat, terinspirasi dakwah Haji Umar. Perbedaan antar perguruan lama: di Tebel, fokus keseimbangan; di Jambangan, tambah elemen sholawat verbal saat gerak. Ini mencerminkan turun-temurun, di mana Wiyoto berguru sejak era Nasrul Ilah.
Sebaliknya, aliran baru di bawah Bapak Wardoyo—di Curahrejo, Pulosari, Dolopo—lebih dinamis, mengadopsi akrobatik modern tanpa hilang esensi. Jurus “Putaran Badai” lebih cepat, dengan lompatan tinggi, sinkron jidor cepat. Kesamaan antar perguruan ini karena Wardoyo sebagai guru utama, memastikan koherensi. Inovasi seperti integrasi video untuk latihan membuatnya relevan bagi pemuda.
Tabel perbandingan:
| Aspek | Aliran Lama (Wiyoto & Jambangan) | Aliran Baru (Wardoyo: Curahrejo, Pulosari, Dolopo) |
|---|---|---|
| Tempo Gerakan | Lambat, kontemplatif | Cepat, energik |
| Fokus Utama | Spiritual, pose filosofis | Akrobatik, improvisasi |
| Variasi Jurus | Perbedaan lokal (sujud vs. doa) | Kesamaan tinggi, adaptasi modern |
| Pengaruh | Tradisi pesantren lama | Kolaborasi lintas desa |
Di Ponorogo, kedua aliran berdampingan, memperkaya pertunjukan. Perguruan Mojowarno, meski baru tiga tahun, punya identitas hybrid: jurus lama tapi panggung modern, menarik wisatawan.
Analisis Organisasi Modern: Peran Pagar Nusa
Hampir semua perguruan Pencak Dor berada di bawah Pagar Nusa, kecuali Mojowarno yang mandiri. Pagar Nusa, berdiri 1985 di Tebuireng, Jombang, adalah organisasi modern yang menyatukan perguruan NU sporadis menjadi entitas terstruktur. Berbeda dengan perguruan lain seperti PSHT (fokus kebatinan) atau Perisai Diri (hybrid 156 aliran), Pagar Nusa gunakan manajemen modern: struktur PW (Provinsi), PW (Kabupaten), cabang desa, dengan kurikulum standar tapi fleksibel untuk variasi lokal.
Analisis SWOT organisasi: Kekuatan (strength) di jaringan NU luas, mencapai 8,5 juta anggota; kelemahan (weakness) regenerasi pemuda; peluang (opportunity) festival budaya; ancaman (threat) urbanisasi. Pagar Nusa terapkan SWOT ini melalui pelatihan manajemen, seperti di Perguruan NH Perkasya Tebuireng yang gabung YUKASI (Yudo-Karate-Silat). Ini mirip organisasi modern: visi “pagar bangsa”, misi dakwah via silat.
Pengaruhnya pada gerakan: Standardisasi dasar jurus, tapi izinkan variasi aliran. Di aliran lama, Pagar Nusa tambah sertifikasi; di baru, dukung inovasi digital. Perguruan Mojowarno, di luar, lebih bebas tapi kurang dukungan, menekankan keunikan independen.
Keunikan Gerakan Secara Mendalam
Keunikan gerakan Pencak Dor terletak pada variasi yang lahir dari asal guru. Di aliran lama, jurus “Harimau Sujud” gabung serangan harimau dengan sujud, simbol tawadhu—unik dibanding Silat Harimau Minang yang agresif. Di Jambangan, tambah “Jurus Doa”, gerak tangan seperti berzikir sambil elak. Aliran baru, “Elang Putar”, inovasi lompatan 360 derajat dengan kuncian, selaras jidor cepat, menarik generasi Z.
Temuan lapangan: Di Tebel (Wiyoto), gerakan lebih rendah, ala gulat sabung Ponorogo; di Curahrejo (Wardoyo), tinggi dan aerial. Variasi ini karena pendekar lintas perguruan, seperti Wiyoto berguru Haji Umar di era Nasrul Ilah. Atraksi tak selalu sama: hajatan Maulud pakai jurus sholawat, Agustusan tambah nasionalis.
Filosofis, gerakan ajar harmoni: tubuh kuat, jiwa lemah lembut. Berbeda Pencak Organisasi (gerilya anti-kolonial), Dor lebih seni. Keunikan ini peluang wisata budaya Jombang.
Tantangan dan Pelestarian
Tantangan: Urbanisasi kurangi penerus; Pagar Nusa atasi dengan kurikulum sekolah. Mojowarno, mandiri, hadapi dana minim. Pelestarian: Festival tahunan, digitalisasi video jurus. Bapak Wiyoto dan Wardoyo jadi ikon, wariskan ke pemuda.
Upaya: Kolaborasi Pagar Nusa-IPSI, pelatihan manajemen modern. Ini pastikan variasi tetap hidup.
Kesimpulan
Keunikan gerakan Pencak Silat Dor Jombang adalah perpaduan variasi aliran lama-baru, di bawah Pagar Nusa yang modern, menciptakan seni tontonan abadi. Dari jurus Wiyoto yang kontemplatif hingga Wardoyo yang dinamis, ia ajar harmoni budaya. Dengan pelestarian, warisan ini takkan pudar—mari tanggapkan, agar dentuman jidor terus bergema.