Membentengi Pusaka Panji: Urgensi Pengusulan HKI Wayang Topeng Jatiduwur sebagai Ekspresi Budaya Tradisi (EBT) Tahun 2025

Di sebuah desa kecil bernama Jatiduwur, di jantung Kabupaten Jombang, Jawa Timur, sebuah pusaka budaya yang agung masih bernapas. Ia adalah Wayang Topeng Jatiduwur, sebuah bentuk teater ritual yang tidak hanya langka tetapi juga sarat dengan kearifan, spiritualitas, dan sejarah panjang peradaban agraris di Jawa. Berbeda dari Wayang Topeng Malang atau Cirebon, gaya Jatiduwur memiliki pakem (standar) dan karakterisasi topeng yang khas, mengakar kuat pada siklus cerita Panji yang melegenda.

Para maestro sepuh, dengan napas yang tersengal oleh usia, masih setia menarikan kisah Panji Asmoro Bangun dan Sekartaji, diiringi gending-gending kuno yang magis. Namun, kesetiaan mereka berpacu dengan realitas zaman: regenerasi yang nyaris putus, panggung yang semakin sepi, dan apresiasi generasi muda yang teralihkan. Wayang Topeng Jatiduwur, sang mahakarya, berada dalam kondisi rentan.

Di tengah situasi genting inilah, sebuah wacana krusial mengemuka: pengusulan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) untuk Kesenian Wayang Topeng Jatiduwur sebagai Ekspresi Budaya Tradisi (EBT) pada tahun 2025.

Langkah ini bukan sekadar upaya administratif untuk mendapatkan selembar sertifikat. Ini adalah sebuah ikhtiar kolektif untuk membangun benteng hukum, mengkristalkan identitas, dan memberdayakan komunitas penjaganya. Artikel ini akan membedah secara komprehensif manfaat HKI bagi pelestarian, langkah-langkah detail pengusulannya, dampak krusialnya bagi seniman daerah, serta strategi untuk mengatasi tantangan terbesar: potensi konflik dan saling klaim di antara para seniman itu sendiri.


Memahami Jiwa Wayang Topeng Jatiduwur

Untuk tahu apa yang kita lindungi, kita harus paham apa itu Wayang Topeng Jatiduwur. Ini bukan sekadar tarian topeng. Ini adalah teater-tari-ritual. Keunikannya terletak pada:

  1. Fungsi Ritual: Lahir sebagai bagian dari ritual bersih desa (sedekah bumi), ia memiliki fungsi spiritual yang kuat untuk memohon keselamatan, kesuburan, dan menolak bala. Setiap pementasan, terutama yang menggunakan topeng-topeng pusaka, adalah sebuah doa.
  2. Siklus Cerita Panji: Lakon utamanya berpusat pada Cerita Panji, sebuah epos asli Nusantara yang menceritakan pengembaraan cinta Raden Panji Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji. Ini adalah representasi lokal dari epos besar tersebut.
  3. Karakteristik Topeng: Topeng-topeng Jatiduwur memiliki gaya pahat (sungging) yang khas, seringkali terlihat lebih “primitif” atau arkais, menunjukkan usianya yang tua. Ekspresinya kuat dan magis, bukan sekadar representasi karakter.
  4. Lokus dan Fons et Origo: Ia adalah milik komunal masyarakat Desa Jatiduwur, Kecamatan Kesamben, Jombang. Di sinilah fons et origo (sumber dan asal) dari gaya khas ini berada dan dijaga turun-temurun oleh sanggar-sanggar atau trah (garis keturunan) seniman tertentu.

Kondisinya saat ini sangat memprihatinkan. Maestro seperti almarhum Mbah Tasmin telah tiada, dan pewaris ilmunya berjuang keras mencari penerus. Inilah mengapa “benteng” HKI menjadi sangat mendesak.


Manfaat Pengusulan HKI bagi Pelestarian

Pengusulan HKI dalam konteks ini adalah pengajuan Kekayaan Intelektual Komunal (KIK), bukan Hak Cipta perorangan. Ini adalah pengakuan negara atas kepemilikan kolektif suatu komunitas. Manfaatnya bagi pelestarian sangat fundamental dan berlapis:

1. Perisai Hukum dan Pengakuan Identitas

Ini adalah manfaat paling dasar. Dengan dicatatkannya di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Wayang Topeng Jatiduwur secara de jure diakui sebagai milik komunal masyarakat Jombang, khususnya Desa Jatiduwur.

  • Mencegah Apropriasi Budaya: Melindungi dari klaim daerah lain atau bahkan negara lain.
  • Melawan Eksploitasi Komersial: Mencegah pihak luar (korporasi, agensi, dll) menggunakan elemen-elemen inti (desain topeng, alur cerita, gending) untuk kepentingan komersial tanpa izin dan tanpa memberikan benefit sharing (pembagian manfaat) kepada komunitas.
  • Menjaga Otentisitas: Menjadi rujukan pakem yang terdata. Jika ada yang mementaskan dengan distorsi berlebihan, komunitas punya dasar untuk menyatakan bahwa itu “bukan” Wayang Topeng Jatiduwur yang otentik.

2. Katalisator Inventarisasi dan Revitalisasi

Proses pengusulan HKI “memaksa” dilakukannya sebuah pekerjaan pelestarian yang paling penting: inventarisasi dan dokumentasi.

  • Penyusunan “Kitab Pakem”: Untuk mengajukan HKI, Pemkab dan komunitas harus menyusun deskripsi komprehensif. Mereka harus mendokumentasikan sejarahnya, filosofi setiap topeng, notasi gendingnya, ragam gerak tarinya, dan alur lakon Panji versi Jatiduwur.
  • Data Maestro dan Pewarisan: Proses ini akan memetakan siapa saja maestro yang tersisa, siapa saja muridnya, dan bagaimana sistem pewarisan ilmunya. Data ini vital untuk program revitalisasi.
  • Menjadi “Arsip Hidup”: Dokumen HKI ini akan menjadi arsip abadi yang bisa dipelajari generasi mendatang, sekalipun (kita berharap tidak) para maestronya telah tiada.

3. Menumbuhkan Kebanggaan dan Regenerasi

Status HKI adalah stempel pengakuan dari negara. Ini mengangkat marwah Wayang Topeng Jatiduwur dari “kesenian desa kuno” menjadi “Aset Budaya Nasional yang Dilindungi Hukum”.

  • Membangun Pride Lokal: Anak-anak muda di Jatiduwur akan lebih bangga. “Ternyata kesenian mbah buyut saya diakui negara.” Kebanggaan ini adalah pupuk pertama untuk menumbuhkan minat regenerasi.
  • Alasan Kuat untuk Muatan Lokal: Memberikan dasar hukum yang kuat bagi Pemkab Jombang untuk memasukkan Wayang Topeng Jatiduwur ke dalam kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah sekitar Kesamben.

4. Pintu Gerbang Ekonomi Kreatif yang Berkelanjutan

HKI bukan untuk mematikan kreativitas, tapi untuk mengaturnya. HKI KIK memberikan komunitas kekuatan tawar (bargaining power).

  • Skema Lisensi: Pemkab (sebagai Wali Data) bersama paguyuban seniman dapat menyusun skema lisensi. Contoh: jika ada developer game ingin membuat karakter dari Topeng Panji Jatiduwur, mereka harus membayar lisensi, dan uangnya masuk ke kas komunitas untuk pembinaan.
  • Pengembangan Pariwisata Budaya: Wisatawan yang datang bukan hanya menonton, tetapi berkontribusi pada dana pelestarian yang terkelola dengan jelas.

Langkah-Langkah Pengusulan HKI

Pengusulan HKI EBT pada tahun 2025 memerlukan kerja sistematis yang melibatkan banyak pihak. Ini adalah peta jalan yang harus ditempuh:

Fase 1: Inisiasi, Konsolidasi, dan Pembentukan Tim

  1. Inisiator (Pemerintah Daerah): Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Jombang harus menjadi motor penggerak utama.
  2. Konsolidasi Komunitas: Mengumpulkan semua pemangku kepentingan di Jatiduwur dan sekitarnya: para maestro sepuh, pimpinan sanggar, dalang, penabuh gamelan, perajin topeng, dan tokoh adat. Ini krusial untuk mencegah konflik (lihat Bagian 5).
  3. Pembentukan Tim Ahli/Pokja: Membentuk tim yang terdiri dari:
    • Perwakilan Pemkab (Disdikbud, Bagian Hukum).
    • Perwakilan Komunitas (Maestro, Ketua Sanggar).
    • Akademisi (Pakar sejarah, antropologi, atau seni pertunjukan dari universitas terdekat).
    • Dokumentator (Videografer, fotografer).

Fase 2: Inventarisasi dan Kajian Lapangan (Jantung Proses)

Tim Ahli turun langsung, berdialog dengan para maestro, dan melakukan:

  1. Kajian Historis & Filosofis: Wawancara mendalam tentang sejarah lisan (kapan dimulai, siapa pendirinya), dan makna filosofis di balik setiap topeng dan ritual.
  2. Dokumentasi Unsur-Unsur:
    • Topeng: Memotret setiap topeng, mendata namanya (Panji, Sekartaji, Gunungsari, Bapang, dll), dan deskripsi karakternya.
    • Tarian: Merekam video ragam gerak tari untuk setiap karakter.
    • Musik: Merekam audio dan (jika mungkin) menuliskan notasi gending-gending khas yang mengiringi.
    • Lakon: Menuliskan sinopsis pakem dari lakon Panji yang biasa dibawakan.

Fase 3: Penyusunan Naskah Deskripsi EBT

Semua hasil Fase 2 dirangkum dalam sebuah dokumen komprehensif yang sistematis. Dokumen ini harus “menceritakan” apa itu Wayang Topeng Jatiduwur secara utuh kepada orang yang belum pernah melihatnya.

Fase 4: Pengajuan Administratif ke DJKI

  1. Pengisian Formulir: Pemkab Jombang (biasanya Bupati atas nama Disdikbud) mengisi formulir permohonan “Pencatatan Inventarisasi Kekayaan Intelektual Komunal (KIK)” secara online melalui sistem DJKI Kemenkumham.
  2. Penunjukan Wali Data: Pemkab Jombang secara resmi bertindak sebagai Wali Data. Wali Data adalah entitas yang mewakili kepentingan hukum komunitas Jatiduwur.
  3. Pengunggahan Dokumen: Melampirkan Naskah Deskripsi EBT, foto, video, hasil kajian, dan surat pernyataan dukungan dari komunitas/sanggar.

Fase 5: Verifikasi dan Publikasi

  1. Pemeriksaan Substantif: Tim Ahli DJKI akan meninjau dokumen, memastikan keunikan dan kelengkapan data.
  2. Masa Pengumuman: Permohonan akan dipublikasikan di Berita Resmi KIK selama beberapa bulan. Tujuannya adalah memberi kesempatan jika ada pihak lain yang merasa keberatan.

Fase 6: Penerbitan Surat Pencatatan

Jika lolos verifikasi dan tidak ada keberatan, DJKI akan menerbitkan Surat Pencatatan Inventarisasi Kekayaan Intelektual Komunal. Wayang Topeng Jatiduwur resmi tercatat sebagai EBT milik masyarakat komunal Jombang.


Dampaknya Terhadap Seniman Daerah

Persetujuan HKI EBT akan membawa dampak signifikan, yang bisa menjadi “dua sisi mata uang” jika tidak dikelola dengan baik.

Dampak Positif (Pemberdayaan)

  1. Peningkatan Rekognisi dan Status Sosial: Seniman Wayang Topeng Jatiduwur bukan lagi “sekadar” seniman desa. Mereka adalah Maestro Penjaga EBT Nasional. Status ini meningkatkan harga diri dan posisi tawar mereka secara sosial.
  2. Kerangka Hukum untuk Kesejahteraan: Ini adalah dampak ekonomi yang paling diharapkan.
    • Standarisasi Tarif: Dengan adanya pengakuan resmi, Pemkab dan paguyuban seniman bisa mulai mendiskusikan standar tarif yang layak untuk pementasan, lokakarya, atau narasumber.
    • Mekanisme Benefit Sharing: Jika ada lisensi komersial (misal, motif topeng dipakai brand fashion), HKI memberikan dasar hukum untuk menuntut pembagian keuntungan. Keuntungan ini wajib dikelola secara transparan dan dikembalikan untuk pembinaan sanggar dan kesejahteraan seniman.
  3. Prioritas dalam Program Pemerintah: Seniman dan sanggar Wayang Topeng Jatiduwur yang terdata akan menjadi prioritas utama untuk:
    • Menerima dana hibah kebudayaan (seperti Dana Indonesiana).
    • Diikutsertakan dalam festival-festival nasional dan internasional.
    • Fasilitasi alat (gamelan, kostum) dan program regenerasi (pelatihan).

Potensi Tantangan (yang Harus Dimitigasi)

  1. Birokratisasi Seni: Ada kekhawatiran bahwa HKI akan “membekukan” seni. Seniman mungkin merasa terkekang oleh pakem yang sudah didokumentasikan, takut berkreasi. Padahal, HKI EBT melindungi pakem dasar, bukan melarang inovasi.
  2. Kesenjangan Kesejahteraan: Jika tidak dikelola, hanya “elite seniman” (yang dekat dengan Pemkab atau yang vokal) yang akan menikmati manfaat. Seniman di sanggar-sanggar kecil atau di pinggiran bisa jadi terlewat.
  3. Ekspektasi yang Berlebihan: Seniman mungkin berharap HKI adalah “mesin uang” instan. Padahal, HKI adalah “alat pancing”, bukan “ikannya”. Diperlukan kerja keras lanjutan di bidang promosi, manajemen, dan penciptaan paket-paket ekonomi kreatif.

Menangani Kasus Saling Klaim Antar Seniman

Ini adalah isu paling sensitif dalam pengusulan HKI Komunal. Di hampir semua EBT, selalu ada “trah” (garis keturunan), “gaya” (aliran), atau “sanggar” yang berbeda, yang masing-masing merasa paling otentik. Bagaimana cara menanganinya?

1. Pahami Akar Masalah Klaim

Klaim antar seniman biasanya muncul karena:

  • Klaim Trah/Sejarah: “Kakek saya yang memulai,” atau “Sanggar saya yang menyimpan topeng pusaka asli.”
  • Klaim Gaya (Pakem): “Gaya menari saya yang paling benar sesuai pakem, gaya dia sudah inovasi.”
  • Kecemburuan Ekonomi/Sosial: Takut jika HKI terbit, hanya satu sanggar yang akan “diuntungkan”, diundang pents, atau menerima bantuan.

2. Solusi Proaktif (Tahap Pencegahan, Paling Penting)

Pencegahan adalah kunci. Ini harus dilakukan sebelum dan selama proses pengusulan HKI (Fase 1 dan 2).

  • Musyawarah Mufakat yang Inklusif:
    • Jangan Ada yang Tertinggal: Pemkab (sebagai fasilitator) wajib mengundang semua pimpinan sanggar, maestro sepuh, dan perwakilan trah yang ada di Jatiduwur dan sekitarnya.
    • Dengarkan Semua Versi: Biarkan semua pihak menceritakan versi sejarah dan pakem mereka. Tim Ahli (akademisi) bertugas merangkum ini secara netral.
  • Dokumentasi Partisipatif dan Jujur:
    • Akui Keragaman Internal: Jika memang ada 2 atau 3 variasi gaya (misal, gaya Sanggar A dan Sanggar B) di Jatiduwur, maka dokumen HKI harus menyebutkan itu. “Kesenian Wayang Topeng Jatiduwur memiliki keragaman gaya internal (varian), namun bersatu dalam pakem utama…”
    • HKI EBT Melindungi “Pohon”, Bukan “Dahan”: Tekankan kepada seniman bahwa yang didaftarkan adalah “Wayang Topeng Jatiduwur” sebagai sebuah sistem pengetahuan komunal. Ini melindungi “pohon” besarnya. Setiap sanggar adalah “dahan” yang sah dari pohon itu. HKI ini bukan Hak Cipta personal milik satu maestro atau satu sanggar.

3. Solusi Reaktif (Jika Konflik Terlanjur Muncul)

  • Peran Pemkab sebagai Mediator Netral:
    • Pemkab (sebagai Wali Data) tidak boleh memihak. Tugasnya adalah menjadi mediator.
    • Bentuk “Paguyuban Bersama” atau “Dewan Maestro” yang beranggotakan perwakilan dari semua sanggar/trah. Segala konflik harus diselesaikan di forum ini terlebih dahulu secara adat/kekeluargaan.
  • Fokus pada Keadilan Benefit Sharing:
    • Saling klaim seringkali berujung pada “rebutan rezeki”.
    • Solusinya: Buat Peraturan Bupati (Perbup) atau SK yang mengatur mekanisme pembagian manfaat yang adil dan transparan.
    • Contoh: “Setiap pendapatan lisensi komersial akan masuk ke ‘Kas Dana Abadi Pelestarian’, yang kemudian didistribusikan secara proporsional ke sanggar-sanggar yang aktif melakukan pembinaan dan pementasan, berdasarkan proposal kegiatan yang diajukan.”
  • Panggung Bersama, bukan Panggung Tunggal:
    • Dalam program/festival, Pemkab harus secara adil memberikan panggung bergantian kepada semua sanggar yang ada. Jangan hanya “itu-itu saja”. Ini akan meredam kecemburuan sosial.

Kesimpulan: Sebuah Ikhtiar Menyelamatkan Identitas

Pengusulan HKI Kesenian Wayang Topeng Jatiduwur pada tahun 2025 adalah sebuah langkah peradaban. Ia bukan sekadar birokrasi, melainkan sebuah ikhtiar mendesak untuk menyelamatkan salah satu identitas budaya Jombang yang paling otentik.

Manfaatnya jelas: perlindungan hukum, katalisator revitalisasi, dan pintu masuk kesejahteraan ekonomi yang berkeadilan. Namun, langkah ini penuh tantangan. Dampaknya bagi seniman hanya akan positif jika dikelola dengan partisipatif dan adil.

Kunci sukses terbesar terletak pada kemampuan meredam ego sektoral. Kasus saling klaim hanya bisa diselesaikan jika semua seniman menyadari bahwa mereka berada di kapal yang sama. HKI adalah kapal penyelamat itu. Jika mereka sibuk berebut siapa yang jadi kapten, kapal itu tidak akan pernah berlayar, dan pusaka agung Wayang Topeng Jatiduwur akan tenggelam ditelan zaman.


Tinggalkan Balasan