Mitos Ruwatan Anak Tunggal

Pada suatu desa terpencil, hiduplah seorang anak tunggal bernama Arga dengan ibunya, Surti, dan ayahnya, Bimo di sebuah pondok kecil. Arga adalah seorang anak yang baik hati, sangat patuh kepada orang tuanya, dan cerdas. Warga desa sangat menghormati keluarga ini meskipun mereka hidup sederhana dan jauh dari kemewahan.

Tidak jauh dari pondok keluarga Arga, berdirilah pohon kawista yang sangat besar dan tua. Kawista ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan merupakan peninggalan nenek moyang desa tersebut. Arwah para pendahulu konon masih menjaga desa dan menjelajahi dunia lewat pohon kawista yang telah menjadi bagian dari alam masyarakat desa selama berabad-abad.

Suatu ketika, desa mereka digoncangkan oleh serangan wabah penyakit yang misterius. Korban jiwa mulai berjatuhan dalam jumlah yang mengkhawatirkan, namun tak ada dari dukung juga dukun yang mampu mengobati. Rasa takut mulai menyebar. Para tetua desa bersidang dan mencoba mencari tahu solusi dari bijak bestari yang mereka percayai.

Melalui pertemuan tersebut, mereka mendapatkan petunjuk bahwa penyakit ini adalah kutukan dari dunia mitos yang datang karena salah satu warga, Arga, sejak lahir tidak pernah diruwat. Menurut keyakinan nenek moyang, anak tunggal harus diruwat agar dunia mitos kesaktian tak melumpuhkan hidup keluarga mereka, karena itu kehidupan keluarga Bimo dan Surti mulai sengsara dan merasakan ketakutan yang mendalam.

Mendengar kabar tersebut, Bimo dan Surti menjadi sangat khawatir, namun tetap berusaha untuk konsisten dalam menjaga keyakinan mereka, dan malam itu juga menyampaikan maksud kepada para tetua desa untuk menyelenggarakan upacara ruwatan sebagai penawar kutukan bagi anak tunggal seperti Arga.

Para tetua desa membantu penuh untuk menyelenggarakan upacara ruwatan tersebut. Semua warga desa bekerja sama mempersiapkan segala kebutuhannya, dari hewan kurban, sajen, hingga doa-doa khusus yang diajarkan oleh dukun.

Sesampainya hari pelaksanaan upacara ruwatan, seluruh warga desa berkumpul di bawah pohon kawista. Arga dan orang tuanya dipandu dukun untuk melakukan prosesi ritus penawar kutukan. Mereka diiringi dengan tarian, musik, doa, dan ucapan syukur kepada Tuhan dan para leluhur yang menjaga desa. Upacara berjalan dengan sakral dan sangat mengesankan.

Setelah upacara ruwatan selesai, wabah penyakit yang melumpuhkan desa tersebut secara perlahan-lahan mereda. Arga dan keluarganya kembali menjalani kehidupan yang tentram dan damai, serta dibebaskan dari kutukan dunia mitos yang susah diterangkan. Semua warga desa bersyukur karena mereka sudah melepaskan kutukan itu dan berharap kehidupan mereka menjadi lebih baik.

Kepercayaan mereka tentang mitos anak tunggal yang harus diruwat untuk meloloskan kutukan mengajarkan mereka kekuatan kehidupan yang penuh misteri. Selain itu, Arga, Surti, dan Bimo juga menjadi bukti bagi sesama warga bahwa saling tolong-menolong dan menjunjung persaudaraan di atas segala-galanya bisa memungkinkan untuk menghadapi berbagai rintangan dan ancaman, bahkan dari dunia mitos.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *