Di negeri yang katanya menjunjung tinggi pendidikan, sekolah sering kali hanya menjadi cermin retak yang memantulkan kepalsuan: nilai menggantikan nurani, aturan menindas keberanian, dan kepatuhan disulap menjadi ukuran moralitas. Di balik dinding berwarna pastel dan slogan “Cerdas, Disiplin, Berkarakter”, ada ruang-ruang sunyi tempat air mata murid dikubur bersama tugas yang tak pernah dinilai keadilan.
Ketika seorang siswa menangis karena dirundung, sistem menulisnya sebagai “masalah pribadi”. Ketika seorang guru bungkam atas ketidakadilan, ia menyebutnya “profesionalisme”. Dan ketika seorang anak hilang dalam kabar duka, dunia pendidikan buru-buru menambal luka itu dengan surat edaran dan doa bersama—agar reputasi tetap bersih, meski hati para pelaku tetap kotor.
Rapor Basah Berbau Dupa lahir dari kegelisahan itu—dari keinginan untuk bertanya pada ruang kelas yang terlalu diam:
Apakah pengetahuan tanpa empati masih pantas disebut pendidikan?
Apakah nilai bisa menebus nyawa yang dikorbankan demi ketertiban semu?
Dan, berapa banyak siswa yang mati perlahan di antara baris laporan hasil belajar, sebelum sekolah mau mengakui bahwa sistemnya pun bisa bersalah?
Ini bukan sekadar kisah kelulusan, tapi pengadilan sunyi bagi para saksi yang memilih diam. Sebab di balik setiap dupa yang menyala, ada kebenaran yang mencoba hidup kembali—meski lewat asap, bukan lewat suara.
Sinopsis:
Masih ingatkah?
Suara yang dulu kalian abaikan di antara tawa kelas dan gemuruh hujan di atap sekolah itu.
Aku, yang hanya ingin lulus dengan tenang, tanpa harus kalah dalam perang harga diri dan rahasia.
katanya untuk berdamai, tapi yang datang justru kata-kata yang lebih tajam dari pisau.
Kini bau karat itu masih menyimpan sisa langkah mereka…
dan bau dupa yang menandai pengakuan terlambat.
Apakah nilai bisa mengukur dosa?
Apakah diam bisa menunda kebenaran?
Dan ketika hujan berhenti, siapa di antara mereka yang benar-benar pulang dengan hati bersih?
Download:
Naskah Drama Remaja Rapor Basah Berbau Dupa Karya Sefandi Aprisa