Perkembangan teknologi digital dalam dua dekade terakhir telah menandai perubahan radikal dalam cara manusia memahami dirinya dan dunianya. Gawai dan jaringan virtual tidak lagi sekadar alat bantu, tetapi telah menjadi perpanjangan tubuh dan kesadaran manusia. Melalui layar kecil di genggaman tangan, manusia membangun identitas, mengukur eksistensi, dan mencari validasi sosial. Namun, keterhubungan yang semula menjanjikan kemudahan dan efisiensi itu kini melahirkan paradoks baru: semakin terkoneksi manusia, semakin dalam pula keterasingannya.
Fenomena ketergantungan terhadap teknologi digital—terutama ponsel dan media sosial—tidak dapat dilepaskan dari mekanisme psikologis yang bekerja di bawah sadar. Setiap notifikasi, pesan, atau “like” memicu respons dopamin yang serupa dengan efek candu. Kesenangan yang muncul bersifat sesaat, namun meninggalkan kebutuhan berulang untuk diakui dan diperhatikan. Dalam konteks ini, teknologi telah menjadi bentuk baru dari “penguasaan halus” terhadap manusia: ia tidak memerintah secara paksa, melainkan menundukkan melalui kebiasaan yang menyenangkan.
Kecanduan teknologi bukan sekadar persoalan perilaku individual, melainkan gejala kultural dari masyarakat pasca-modern yang menjadikan produktivitas dan keterhubungan sebagai tolok ukur nilai diri. Kesehatan mental dan spiritual mengalami erosi perlahan; tubuh menjadi cangkang yang membawa layar, sementara pikiran hidup di dunia maya. Fenomena ini melahirkan generasi yang kehilangan kemampuan untuk diam, menunggu, dan merasakan waktu secara utuh.
Dalam kerangka tersebut, naskah Ruang Tunggu Terakhir dapat dibaca sebagai alegori atas kondisi manusia kontemporer yang terperangkap dalam ilusi kesembuhan. Ruang tunggu menjadi metafora dari dunia modern—tempat manusia menanti penyelesaian bagi luka yang justru diciptakan oleh dirinya sendiri. Proses menunggu tanpa ponsel dalam naskah bukan sekadar peristiwa dramatik, melainkan eksperimen eksistensial: apa yang tersisa dari manusia ketika ia dipisahkan dari layar?
Dengan demikian, naskah ini tidak hanya mengisahkan sekelompok pasien di klinik misterius, tetapi juga menghadirkan refleksi kritis tentang relasi manusia, teknologi, dan kehilangan makna kemanusiaan. Ia menegaskan bahwa penyembuhan sejati bukanlah pemutusan dari rasa sakit, melainkan keberanian untuk menatap diri di luar cahaya layar.
Download:
Naskah Drama Ruang Tunggu Terakhir Karya Sefandi Aprisa