Di sebuah desa terencil, berdiri sebuah makam tua yang konon dipercaya sebagai makam sakti yang memberikan berkah bagi warga desa. Di dekat makam itu, hiduplah Nenek Suli, wanita lanjut usia yang dikenal baik oleh penduduk desa karena setiap hari ia menghiasi makam tersebut dengan bunga-bunga yang dikumpulkannya dari sekitar desa.
Kisah ini dimulai padaatu sore, ketika matahari mulai tenggelam dan memancarkan cahayanya yang hangat di langit sore. Nenek Suli, seperti biasa, baru saja selesai mengumpulkan bunga-bunga segar yang ia temui di tepi sungai. Dengan langkah perlahan dan tongkat kayu di tangannya, ia berjalan menuju makam sakti untuk menyelesaikan tugas harianya. Kedatangannya tidak pernah terlambat, seolah bunga-bunga tersebut menjadi hidangan untuk arwah-arwah yang mendiami makam itu.
Tentu saja, aksi Nenek Suli menghiasi makam tersebut sering kali menimbulkan tanya-tanya. Warga desa seringkali bertanya-tanya mengenai alasan nenek itu begitu giat menghias makam tersebut. Memang, tak akan pernah ada jawaban pasti, kecuali jika berbicara dengan Nenek Suli. Sementara itu, mereka merasa cukup untuk mengira-ngira perihal misteri tersebut.
Seperti biasa, pada suatu hari Nenek Suli mampir ke warung kelontong milik Pak Dasno, pemilik warung yang baik hati dan selalu ramah pada setiap pelanggan. Di warung inilah Nenek Suli membeli beberapa helai benang untuk mengikat karangan bunga yang akan ia buat. Pak Dasno tersenyum, dan akhirnya dia pun tidak tahan untuk bertanya pada Nenek Suli.
“Nek, mengapa kau begitu bersemangat menghiasi makam tersebut dengan bunga? Apa ya, yang salah dengan makam itu?” tanya Pak Dasno dengan suara lembutnya.
Nenek Suli menjawab dengan senyuman di wajahnya yang berkerut. “Dasno, aku melakukannya karena alasan pribadi. Setiap kali aku mengumpulkan bunga bagi arwah-arwah di sana, aku merasa seperti sedang berbicara dengan mereka. Aku percaya bahwa jiwa-jiwa di makam itu menerima bunga-bunga ini sebagai ungkapan cinta dari warga desa ini. Dan aku merasa, jika aku tidak menghiasi makam itu, bunga-bunga ini akan mati percuma.”
Dari penjelasan Nenek Suli inilah, sekian waktu kemudian mereka menyebut Nenek Suli sebagai ‘Nenek Pembawa Bunga di Makam’. Nenek Suli tidak pernah terkekang oleh usia tua, malahan ia merasa menjadi bagian dari makam tersebut. Sampai pada suatu hari, Nenek Suli pun akhirnya berpulang pada usia yang sangat tua. Warga desa merasa sangat kehilangan, dan makam itu kini tampak sepi dan kusam.
Hari-hari berikutnya, desa itu sering mengalami kekeringan. Bunga-bunga yang dihiasi dulu oleh Nenek Suli mulai jarang ditemui. Warga pun percaya bahwa kehilangan Nenek Suli telah mengubah keseimbangan di desa itu.
Namun, pada suatu malam, ada seorang gadis muda yang bermimpi tentang Nenek Suli. “Kau harus menggantikan posisiku. Ambilah bunga-bunga yang tumbuh di sekitar desa dan hiasilah makam itu,” pesan arwah Nenek Suli pada gadis tersebut.
Gadis itu terbangun dari tidurnya, ia bergegas mengumpulkan bunga-bunga indah dan menghias makam seperti yang dulu dilakukan Nenek Suli. Sejak itulah, tradisi menghiasi makam dengan bunga terus berlanjut dari generasi ke generasi. Desa itu kembali subur dan menjadi saksi bisu akan kebaikan hati dan kasih sayang Nenek Suli, ‘Nenek Pembawa Bunga di Makam.”