Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang semakin didominasi oleh layar gadget dan hirupan digital, ada momen-momen langka yang mampu membangkitkan jiwa kolektif sebuah komunitas. Pada hari Minggu pagi tanggal 24 Agustus 2025, Lapangan Desa Bareng, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, menjadi saksi bisu atas sebuah perayaan yang penuh warna dan makna: Pekan Seni Budaya Kabupaten (Pesbukab) tingkat Sekolah Dasar (SD). Acara ini bukan sekadar panggung hiburan, melainkan ajang kreasi seni dan budaya yang melibatkan ratusan murid-murid SD dari berbagai sekolah di kecamatan tersebut. Dengan tema “Membangun Karakter Melalui Seni Tradisional”, Pesbukab 2025 ini berhasil menyatukan generasi muda dalam sebuah harmoni budaya yang autentik, di mana tawa anak-anak bercampur dengan irama gamelan dan gerak tari yang lincah.
Lapangan Desa Bareng, yang biasanya hanya menjadi arena sepak bola antarwarga atau tempat kumpul basmalah, kala itu berubah menjadi teater terbuka yang megah. Dekorasi panggung dari bambu anyaman dan kain batik motif parang yang dikibar-kibarkan angin sore, menciptakan suasana yang hangat dan nostalgik. Ratusan kursi plastik disusun rapi, sementara penonton—terdiri dari orang tua, guru, pejabat daerah, dan warga setempat—memadati area tersebut sejak pukul 06.00 WIB. Udara yang masih lembab pasca-hujan siang tadi, bercampur aroma sate ayam dan wedang jahe dari pedagang kaki lima, menambah khas Jawa Timur yang kental. Acara ini, yang dimulai pukul 07.00 WIB dan berlangsung hingga siang hari, dihadiri oleh sekitar 1.500 orang.
Pesbukab sendiri merupakan inisiatif tahunan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang, yang bertujuan untuk melestarikan warisan budaya lokal di kalangan anak usia dini. Di tengah tantangan globalisasi yang menggerus identitas tradisional, acara ini menjadi wadah bagi murid-murid SD untuk mengeksplorasi kreativitas mereka melalui seni pertunjukan. “Anak-anak adalah pewaris budaya kita. Melalui Pesbukab, kita bukan hanya mengajarkan gerak dan irama, tapi juga nilai-nilai gotong royong, disiplin, dan kebanggaan akan akar Jawa,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Jombang, Dra. Siti Nurhayati, M.Pd., dalam sambutannya. Acara ini juga didukung oleh berbagai sponsor lokal, seperti koperasi desa dan perusahaan pupuk organik setempat, yang menyediakan hadiah berupa buku cerita budaya dan alat musik tradisional.
Pembukaan acara dimulai dengan parade pembawa baki-baki dari masing-masing sekolah peserta. Murid-murid mengenakan seragam adat Jawa—kebaya encim untuk perempuan dan beskap hitam untuk laki-laki—berbaris rapi sambil membawa replika wayang kulit dan topeng reog. Irama kendang dan saron dari rombongan gamelan sekolah membuka tirai acara, diikuti doa bersama dipimpin oleh kyai setempat. Setelah itu, Bupati Mundhofir naik panggung, disambut sorak-sorai. “Hari ini, kita lihat masa depan Jombang di tangan anak-anak kita. Mari kita dukung mereka agar seni budaya tidak punah, tapi justru berkembang,” katanya, sambil menyerahkan plakat penghargaan kepada perwakilan sekolah.
Acara inti dimulai dengan penampilan pembuka yang ringan namun menghibur: pantomim dari murid-murid SD secara umum. Sekitar 20 anak dari berbagai sekolah, berusia 8-12 tahun, naik ke panggung dengan kostum sederhana berupa topi jerami dan rompi warna-warni. Mereka memerankan kisah sehari-hari desa Bareng, mulai dari petani yang menanam padi hingga pedagang pasar yang tawar-menawar. Tanpa sepatah kata pun, gerak tubuh mereka yang ekspresif—lengkungan tangan menirukan angin bertiup, atau kaki yang menari-nari menghindari genangan air—membuat penonton tertawa terbahak-bahak. Seorang ibu rumah tangga di barisan depan, Bu Siti, berkata, “Lucu sekali! Anak-anak ini seperti aktor sungguhan. Ini mengingatkan saya pada masa kecil saya yang sering main pantomim di halaman rumah.”
Pantomim ini bukan hanya hiburan, tapi juga pelajaran tentang komunikasi non-verbal. Guru pembimbing dari SDN Bareng 1, menjelaskan bahwa latihan selama dua minggu melibatkan improvisasi bebas, di mana anak-anak belajar membaca ekspresi teman. “Mereka awalnya malu, tapi sekarang? Mereka seperti bintang panggung,” ceritanya. Penampilan berlangsung selama 15 menit, diakhiri dengan tepuk tangan meriah dan foto bersama. Ini menjadi pemanasan sempurna untuk penampilan utama yang lebih berat secara budaya.
Selanjutnya, sorotan beralih ke penampilan seni pencak silat dor dari murid-murid SDN Kebondalem 1. Pencak silat dor, sebuah cabang seni bela diri khas Jawa Timur yang menekankan gerak lincah dan filosofi spiritual, ditampilkan oleh 12 murid laki-laki berusia 10-12 tahun. Mereka mengenakan celana hitam panjang dan ikat pinggang merah, dengan golok kayu di tangan kanan. Panggung yang luas memungkinkan mereka bergerak bebas, memulai dengan formasi lingkaran sambil bernyanyi mantra pembuka: “Aku silat, silat aku, bela diri untuk jiwa suci.” Gerak mereka—tendangan tinggi yang presisi, putaran badan yang mengalir seperti air sungai, dan simulasi pertarungan berpasangan—menampilkan kekuatan dan kelembutan sekaligus.
Penonton terpaku, terutama para ayah yang berdiri di pinggir lapangan. “Ini bukan sekadar olahraga, tapi warisan leluhur. Anak-anak kami belajar disiplin dari sini,” kata Pak Slamet, wali murid dari SDN Kebondalem. Latihan mereka dimulai sejak awal semester, di bawah bimbingan pelatih senior desa yang juga mantan atlet nasional. Ada momen klimaks ketika pemimpin rombongan, seorang bocah bernama Rian (11 tahun), melakukan jurus “dor guling” yang sempurna, di mana ia berguling maju sambil menebas udara. Sorak penonton meledak, dan pejabat dinas memberikan applause khusus. Penampilan ini berlangsung 20 menit, diikuti sesi tanya jawab singkat di mana anak-anak menjelaskan makna setiap gerak: tendangan melambangkan keberanian, sementara pukulan melambangkan pengendalian amarah.
Transisi ke penampilan berikutnya membawa nuansa yang lebih feminin dan anggun: tari Bujang Ganong dari murid SDN Banjaragung 2. Tari ini, terinspirasi dari legenda Bujang Ganong si pencuri gagah dari cerita rakyat Aceh yang diadaptasi ke Jawa Timur, ditarikan oleh delapan gadis berusia 9-11 tahun. Kostum mereka mencolok: kain songket merah-emas dengan mahkota tanduk mini, dan aksesoris gelang kaki yang berdering riang. Musik pengiring adalah campuran suling dan kendang, yang dimainkan live oleh murid-murid sekolah lain.
Gerak tari mereka lincah dan penuh ekspresi—lengan melambai seperti sayap burung, pinggul bergoyang menggambarkan kelincahan pencuri, dan tatapan mata yang nakal menangkap esensi karakter Bujang Ganong. Penari utama, Salsabila (10 tahun), memimpin dengan percaya diri, meski di belakang panggung ia mengaku deg-degan. “Saya latihan setiap sore di rumah, sambil bayangin jadi pahlawan,” katanya pasca-penampilan. Penonton, khususnya para perempuan, terpesona. Bu Rini, seorang guru tari di sekolah tersebut, menambahkan, “Tari ini mengajarkan anak-anak tentang keberanian perempuan. Bujang Ganong bukan pria biasa; ia simbol ketangguhan yang tak kenal gender.” Penampilan 18 menit ini diakhiri dengan pose dramatis, di mana para penari membentuk formasi hati, simbol cinta budaya. Hadiah apresiasi berupa buku cerita rakyat diberikan langsung oleh panitia.
Tak kalah memukau, giliran murid SDN Ngrimbi 2 Bareng mempresentasikan tari Saman, tarian tradisional Gayo dari Aceh yang telah meresap ke budaya Jawa Timur melalui migrasi dan festival lintas daerah. Sepuluh murid perempuan, mengenakan baju kurung hitam-putih dengan ikat kepala songket, duduk bersila di panggung. Irama rapat dari tepukan tangan, dentingan gerakan badan, dan nyanyian berirama “La ilaha illallah” membuka penampilan. Gerak mereka sinkron sempurna: tangan bertepuk cepat, bahu bergoyang serempak, dan kaki yang menendang ringan ke udara. Kecepatan yang meningkat secara bertahap menciptakan hipnotis, seolah penonton ikut terbawa arus energi mistis.
Tari Saman ini, yang sering disebut “tarian seribu tangan”, menuntut koordinasi tinggi—satu kesalahan bisa merusak harmoni. Guru pembimbing, Ibu Dewi, menceritakan perjuangan latihan: “Anak-anak ini berlatih tiga jam sehari, bahkan di bawah terik matahari. Hasilnya? Mereka seperti satu tubuh.” Penampilan berlangsung 12 menit, tapi terasa singkat karena intensitasnya. Saat klimaks, seluruh penari berdiri dan membentuk formasi burung garuda, simbol persatuan bangsa. Penonton berdiri ovation, dan seorang kakek di barisan belakang berbisik, “Ini seperti melihat masa lalu Aceh di tanah Jawa.” Acara ini juga menjadi momen edukasi, di mana moderator menjelaskan asal-usul tari Saman sebagai bentuk syukur panen dan ritual penyembuhan.
Puncak emosional acara datang dengan penampilan istimewa dari murid SDN Bareng 3: permainan alat musik gamelan live disertai seni menyanyi lagu campursari. Gamelan, instrumen tradisional Jawa yang terdiri dari saron, bonang, kendang, dan gong, dimainkan oleh 15 murid campuran laki-laki dan perempuan. Mereka duduk melingkar di panggung, dengan kostum batik cokelat yang sederhana namun elegan. Irama pembuka “Ladrang Wilujeng” mengalun lembut, diikuti vokal solo seorang gadis bernama Aisyah (12 tahun) yang menyanyikan lagu campursari “Kembang Petik” karya Didi Kempot. Suaranya yang merdu, bercampur dentingan logam gamelan, menciptakan nuansa melankolis yang menyentuh hati.
Campursari, perpaduan gamelan dengan elemen pop dan keroncong, adalah genre yang populer di Jawa Timur sejak era 1990-an. Anak-anak ini, yang baru belajar gamelan selama enam bulan, menunjukkan bakat luar biasa. “Kami ajarkan mereka bukan hanya memukul, tapi merasakan jiwa musik,” kata pengajar musik sekolah. Penampilan berlangsung 25 menit, termasuk interaksi dengan penonton yang diajak bernyanyi bersama. Saat Aisyah menyanyikan bait “Kowe ndue ati sing ayem…”, air mata menetes di pipi beberapa orang tua. “Ini lagu yang mengingatkan masa muda kami. Anak-anak membuatnya hidup kembali,” ujar Bu Fatimah, seorang penonton. Penampilan ini dianggap istimewa karena jarang ada SD yang mampu memainkan gamelan live sepenuhnya oleh murid.
Menutup rangkaian penampilan tunggal, murid SDN Gelaran 2 menghadirkan duet tari Bujang Ganong dan lagu Santri Pekok. Tari Bujang Ganong kedua ini, ditarikan oleh enam murid (campuran gender), menambahkan variasi dengan elemen lokal Jombang: gerak kuda lumping yang disisipkan di tengah. Kostum mereka lebih berani, dengan tambahan topeng kayu berukir motif burung phoenix. Setelah tari 10 menit, transisi ke lagu Santri Pekok—sebuah lagu qasidah Jawa yang menceritakan kisah santri polos yang jatuh cinta—dinyanyikan oleh tiga murid laki-laki dengan iringan rebab sederhana. Liriknya yang jenaka, “Santri pekok, ndhelik ing ndalem, ngrasakake asmara tanpa wangenan”, disampaikan dengan logat Madura-Jawa yang kental, membuat penonton gelak tawa.
Penampilan ini, yang berlangsung 20 menit, menjadi penyeimbang antara gerak dan vokal. “Kami ingin tunjukkan bahwa budaya santri di Jombang juga punya sisi ringan dan romantis,” jelas wali kelas SDN Gelaran 2. Anak-anak ini latihan di masjid desa, menggabungkan tari dengan pengajian, sehingga penampilan terasa autentik dan bermakna.
Sepanjang acara, elemen interaktif tak terelakkan. Ada sesi workshop singkat di sela-sela penampilan, di mana anak penonton diajari dasar pantomim atau memukul kendang. Panitia juga menyediakan stan makanan tradisional seperti pecel tumpang dan getuk lindri, yang laris manis. Tak lupa, dokumentasi foto dan video oleh relawan sekolah diunggah live ke media sosial desa, menjangkau ribuan warga Jombang yang tak bisa hadir.
Pesbukab 2025 ini bukan tanpa tantangan. Cuaca yang mendung sepanjang sore sempat mengkhawatirkan, tapi untungnya hanya gerimis ringan. Beberapa murid mengalami grogi awal, tapi dukungan orang tua dan guru membuat mereka bangkit. Secara keseluruhan, acara ini berhasil mencapai tujuannya: membangun karakter melalui seni. Data dari panitia menunjukkan partisipasi 150 murid dari enam SD, dengan 80% di antaranya mengaku lebih percaya diri pasca-acara.
Di penghujung malam, pukul 20.30 WIB, acara ditutup dengan penyerahan piala dan piagam. SDN Bareng 3 meraih juara umum berkat penampilan gamelan-campursari, sementara SDN Kebondalem 1 juara I pencak silat. Bupati Mundhofir menutup dengan pesan, “Mari jadikan Pesbukab ini tradisi abadi. Anak-anak kita adalah seniman masa depan.” Kembang api sederhana menyala di langit malam, diiringi nyanyian bersama “Indonesia Raya”.
Refleksi pasca-acara, seperti yang disampaikan oleh psikolog anak dari Universitas Jember, Dr. Rina Setiawati, menekankan manfaat jangka panjang: “Seni seperti ini meningkatkan empati, kreativitas, dan rasa bangga etnis. Di era digital, acara offline seperti Pesbukab adalah obat untuk jiwa anak yang haus interaksi nyata.” Bagi warga Desa Bareng, acara ini memperkuat ikatan komunal—tetangga yang biasa saling pandang jadi berbincang akrab, berbagi cerita tentang masa kecil mereka sendiri.
Ke depan, panitia berencana memperluas Pesbukab dengan kolaborasi antar-kecamatan, mungkin menambahkan elemen digital seperti video mapping budaya. Namun, esensi tetap sama: memberdayakan anak-anak untuk menjadi penjaga api budaya. Di Lapangan Desa Bareng yang kini kembali tenang, jejak kaki kecil dan gema tepuk tangan masih terasa. Pesbukab 2025 bukan akhir, tapi babak baru dalam perjalanan seni budaya Jombang.