Prasasti Gunung Pucangan, yang juga dikenal sebagai Prasasti Pucangan, adalah sebuah artefak bersejarah yang memiliki nilai penting dalam memahami sejarah Indonesia, khususnya pada masa Kerajaan Mataram Kuno. Terletak di wilayah Desa Cupak, Kecamatan Ngusikan, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, prasasti ini menjadi saksi bisu dari kejayaan dan dinamika politik pada abad ke-11 Masehi. Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang kapan prasasti ini dibuat, tujuan pembuatannya, serta upaya pelestarian yang telah dan sedang dilakukan untuk menjaga keberadaannya. Artikel ini bertujuan untuk memberikan informasi yang komprehensif dan menarik bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang warisan budaya ini.
Prasasti Gunung Pucangan tidak hanya sekadar benda arkeologi, tetapi juga simbol dari kekayaan budaya dan sejarah Indonesia. Keberadaannya menjadi jendela untuk memahami kehidupan pada masa lampau, khususnya pada era Kerajaan Mataram Kuno yang pernah berkuasa di wilayah Jawa. Melalui penelusuran sejarah dan upaya pelestarian, prasasti ini tetap relevan hingga hari ini sebagai bagian dari warisan budaya Indonesia.
Kapan Prasasti Gunung Pucangan Dibuat?
Prasasti Gunung Pucangan dibuat pada masa pemerintahan Raja Airlangga, yang memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada periode 1019-1043 Masehi. Berdasarkan penanggalan yang tertera pada prasasti, terdapat dua bagian dengan tanggal yang berbeda. Bagian yang berbahasa Sanskerta bertarikh tahun 959 Saka, yang setara dengan 1037 Masehi, sedangkan bagian yang berbahasa Jawa Kuno bertarikh tahun 963 Saka, yang setara dengan 1041 Masehi. Ini menunjukkan bahwa prasasti ini kemungkinan dibuat dalam dua tahap, dengan selang waktu empat tahun di antaranya. Penanggalan ini memberikan gambaran tentang periode penting dalam sejarah Jawa, di mana Raja Airlangga sedang berusaha memulihkan dan memperkuat kerajaannya setelah mengalami masa-masa sulit.
Prasasti ini terbuat dari batu andesit, material yang umum digunakan pada masa itu karena kekuatannya, dan diukir dengan aksara Kawi. Aksara Kawi adalah sistem tulisan kuno yang banyak digunakan di Jawa dan Bali untuk mencatat dokumen resmi, perjanjian, atau peristiwa penting. Penemuan Prasasti Gunung Pucangan di wilayah Jombang menunjukkan bahwa daerah ini memiliki peran strategis pada masa lalu, mungkin sebagai pusat administrasi lokal atau tempat tinggal bangsawan. Periode pembuatannya juga bertepatan dengan masa ketika Raja Airlangga aktif dalam membangun infrastruktur dan mencatat sejarah melalui prasasti-prasasti yang dikeluarkannya.
Raja Airlangga sendiri adalah figur sentral dalam sejarah Jawa pada abad ke-11. Ia naik takhta setelah Kerajaan Mataram Kuno mengalami kehancuran akibat serangan musuh, termasuk dari Raja Wurawari dari Lwaram. Dalam konteks ini, Prasasti Gunung Pucangan menjadi bukti nyata dari upaya Airlangga untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan mencatat pencapaiannya. Tanggal-tanggal yang tercantum dalam prasasti mencerminkan fase penting dalam pemerintahannya, yaitu masa pemulihan dan pembangunan kembali kerajaan.
Apa Tujuan Dibuatnya Prasasti Gunung Pucangan?
Tujuan utama dari pembuatan Prasasti Gunung Pucangan adalah untuk mendokumentasikan dan mengabadikan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahan Raja Airlangga. Prasasti ini memiliki dua bagian yang saling melengkapi, masing-masing ditulis dalam bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno, yang memberikan informasi tentang silsilah raja, legitimasi kekuasaan, serta keputusan administratif yang diambil oleh sang raja.
Bagian Berbahasa Sanskerta
Bagian yang berbahasa Sanskerta memuat silsilah Raja Airlangga, yang dimulai dari leluhurnya, Mpu Sindok, hingga kelahirannya dari pasangan Mahendradatta dan Udayana. Silsilah ini penting untuk menegaskan legitimasi kekuasaannya, mengingat Airlangga adalah keturunan dari Dinasti Isyana yang berkuasa di Jawa Timur setelah pusat kerajaan dipindahkan dari Jawa Tengah. Selain itu, prasasti ini juga menceritakan tentang perjuangan Airlangga dalam menghadapi serangan dari Raja Wurawari, yang menyerbu keraton pada tahun 1016 Masehi, serta upayanya dalam membangun kembali kerajaannya. Pada bagian ini, disebutkan pula bahwa Airlangga mendirikan sebuah pertapaan di lereng Gunung Pugawat sebagai tanda terima kasih kepada para dewa atas kemenangannya dalam menaklukkan musuh-musuhnya.
Cerita tentang serangan Wurawari adalah salah satu peristiwa tragis dalam sejarah Mataram Kuno. Serangan tersebut menghancurkan keraton dan menyebabkan kematian banyak anggota keluarga kerajaan, termasuk Raja Dharmawangsa Teguh, paman Airlangga. Airlangga, yang saat itu masih muda, berhasil melarikan diri dan kemudian menghabiskan waktu sebagai pertapa sebelum akhirnya mengumpulkan kekuatan untuk merebut kembali kekuasaan. Prasasti Gunung Pucangan menjadi bukti tertulis dari perjalanan hidupnya yang penuh tantangan tersebut.
Bagian Berbahasa Jawa Kuno
Sementara itu, bagian yang berbahasa Jawa Kuno berisi maklumat dari Raja Airlangga yang memerintahkan agar wilayah Pucangan, Barahem, dan Bapuri dijadikan sebagai sima untuk mendukung pembangunan pertapaan suci. Sima adalah sebidang tanah atau desa yang diberi batas dan dibebaskan dari pajak serta sejumlah kewajiban lainnya oleh raja atau pejabat tinggi. Pemberian sima ini bertujuan untuk menunjang keberlangsungan pertapaan yang didirikan oleh Airlangga. Dengan demikian, prasasti ini tidak hanya berfungsi sebagai catatan sejarah, tetapi juga sebagai alat administrasi yang sah untuk mengesahkan status wilayah tertentu.
Maklumat ini menunjukkan bahwa Airlangga tidak hanya fokus pada aspek militer dan politik, tetapi juga pada dimensi spiritual dan keagamaan. Pendirian pertapaan dan pemberian sima mencerminkan pengaruh agama Hindu yang kuat pada masa itu, di mana para raja sering kali mendukung kegiatan keagamaan sebagai wujud pengabdian kepada dewa dan untuk mendapatkan dukungan rakyat. Prasasti ini, dengan demikian, juga memiliki fungsi religius yang signifikan.
Nilai Simbolis
Selain fungsi administratif dan historis, Prasasti Gunung Pucangan juga memiliki nilai simbolis yang kuat. Dengan mencatat keputusan dan peristiwa penting dalam bentuk tulisan yang abadi di atas batu, Raja Airlangga tidak hanya menegaskan otoritasnya tetapi juga memastikan bahwa perintahnya akan dikenang oleh generasi berikutnya. Oleh karena itu, prasasti ini memiliki tujuan ganda: sebagai alat administrasi dan sebagai warisan budaya yang kaya makna. Dalam konteks yang lebih luas, prasasti ini juga menjadi representasi dari kecerdasan dan kemajuan peradaban Jawa pada masa itu, yang mampu menciptakan sistem dokumentasi yang terorganisir dan tahan lama.
Apa Upaya Pelestarian Prasasti Gunung Pucangan?
Pelestarian Prasasti Gunung Pucangan merupakan tanggung jawab bersama yang melibatkan pemerintah, masyarakat, dan para ahli arkeologi. Upaya ini dilakukan untuk memastikan bahwa prasasti tetap terjaga dari kerusakan fisik dan dapat dinikmati oleh generasi mendatang sebagai bagian dari sejarah Indonesia. Berikut adalah beberapa langkah yang telah diambil dalam pelestarian prasasti ini:
1. Pemeliharaan Fisik
Prasasti Gunung Pucangan, yang terbuat dari batu andesit, rentan terhadap kerusakan akibat faktor alam seperti hujan, panas, dan kelembapan, serta ancaman manusia seperti vandalisme. Untuk melindunginya, pemerintah daerah Jombang bekerja sama dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur telah memasang pagar pelindung di sekitar lokasi prasasti. Selain itu, atap atau kanopi sederhana juga dipasang untuk melindungi prasasti dari paparan langsung sinar matahari dan hujan. Langkah-langkah ini bertujuan untuk meminimalkan degradasi material batu yang dapat mengaburkan tulisan kuno yang ada di permukaannya.
2. Dokumentasi Digital
Untuk menjaga informasi yang terkandung dalam prasasti, dokumentasi digital telah dilakukan. Prasasti ini difoto dengan resolusi tinggi dan teksnya ditranskripsi oleh para ahli epigrafi. Dokumentasi ini memungkinkan penelitian lebih lanjut tanpa harus mengganggu kondisi fisik prasasti, sekaligus menyediakan cadangan data jika terjadi kerusakan di masa depan. Teknologi ini sangat penting mengingat usia prasasti yang sudah lebih dari seribu tahun, yang membuatnya semakin rentan terhadap kerusakan alami.
3. Penelitian Ilmiah
Para arkeolog dan epigrafis terus melakukan penelitian terhadap Prasasti Gunung Pucangan untuk mengungkap informasi baru tentang isi dan konteks sejarahnya. Penelitian ini juga membantu dalam merumuskan strategi pelestarian yang lebih baik, seperti penggunaan bahan kimia khusus untuk mencegah pelapukan batu tanpa merusak struktur aslinya. Hasil penelitian ini tidak hanya berkontribusi pada pelestarian fisik, tetapi juga pada pemahaman yang lebih mendalam tentang sejarah dan budaya Jawa Kuno.
4. Edukasi Publik
Pemerintah dan BPCB juga memasang papan informasi di dekat prasasti untuk memberikan penjelasan singkat tentang sejarah dan pentingnya Prasasti Gunung Pucangan. Edukasi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang nilai budaya prasasti dan mendorong mereka untuk turut menjaganya. Selain itu, kegiatan seperti kunjungan sekolah atau seminar budaya juga sering diadakan untuk memperkenalkan prasasti ini kepada generasi muda.
Tantangan dan Harapan
Meskipun upaya ini telah menunjukkan hasil positif, tantangan seperti keterbatasan anggaran dan kurangnya tenaga ahli masih menjadi hambatan. Kerusakan lingkungan, seperti erosi tanah di sekitar lokasi prasasti, juga menjadi ancaman yang perlu diatasi. Oleh karena itu, kolaborasi yang lebih luas antara berbagai pihak, termasuk komunitas lokal dan organisasi internasional, sangat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan pelestarian. Dengan pendekatan yang terintegrasi, Prasasti Gunung Pucangan dapat terus bertahan sebagai warisan budaya yang berharga.
Kesimpulan
Prasasti Gunung Pucangan adalah warisan budaya yang mencerminkan kejayaan Kerajaan Mataram Kuno pada abad ke-11 Masehi. Dibuat pada masa pemerintahan Raja Airlangga, prasasti ini memiliki tujuan untuk mendokumentasikan silsilah raja, legitimasi kekuasaan, serta keputusan administratif yang penting, seperti pemberian sima untuk pertapaan suci. Upaya pelestarian yang melibatkan pemeliharaan fisik, dokumentasi digital, penelitian ilmiah, dan edukasi publik terus dilakukan untuk menjaga keutuhan prasasti. Melalui pemahaman dan pelestarian Prasasti Gunung Pucangan, kita tidak hanya menjaga peninggalan sejarah, tetapi juga memperkuat identitas budaya yang menjadi kebanggaan bangsa. Warisan ini adalah tanggung jawab bersama yang harus kita lestarikan demi generasi mendatang.
