Sejarah Minuman Dawet di Indonesia: Jejak Manis dari Masa Lampau hingga Kini

Minuman dawet, yang juga dikenal sebagai cendol di beberapa wilayah, merupakan salah satu warisan kuliner Indonesia yang paling ikonik. Dengan rasa manis gurih yang menyegarkan, dawet terdiri dari butiran-butiran kenyal yang terbuat dari tepung beras atau sagu, disiram dengan santan kelapa, gula merah cair, dan sering kali ditambahkan es serut. Minuman ini tidak hanya menjadi penyegar di tengah cuaca tropis yang panas, tetapi juga menyimpan cerita panjang tentang sejarah, budaya, dan perjalanan masyarakat Indonesia. Dawet telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, mulai dari pedagang kaki lima hingga hidangan istimewa di acara-acara adat. Popularitasnya meluas tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, di mana variasinya dikenal dengan nama-nama lokal seperti chendol atau lot chong.

Dalam konteks Indonesia, dawet sering diasosiasikan dengan budaya Jawa, di mana ia dikenal sebagai minuman tradisional yang menyimbolkan kesederhanaan dan kebersamaan. Bagi banyak orang, secangkir dawet bukan sekadar minuman, melainkan pengingat akan akar budaya yang dalam. Sejarah dawet mencerminkan dinamika peradaban Nusantara, dari kerajaan-kerajaan kuno hingga era modern. Penelitian menunjukkan bahwa dawet telah ada sejak ratusan tahun lalu, dengan bukti-bukti yang tersebar dalam naskah kuno dan catatan sejarawan. Artikel ini akan menelusuri perjalanan dawet dari masa Kerajaan Majapahit hingga perkembangannya di era kontemporer, sambil menyoroti peranannya dalam budaya masyarakat Indonesia. Melalui pemahaman ini, kita dapat menghargai bagaimana sebuah minuman sederhana bisa menjadi cerminan identitas bangsa.

Asal-Usul Dawet: Jejak di Masa Kerajaan Majapahit

Dawet diduga kuat telah ada dan dinikmati sejak masa Kerajaan Majapahit, yang berjaya pada abad ke-14 hingga ke-15. Kerajaan ini, yang berpusat di Jawa Timur, dikenal sebagai pusat peradaban agraris yang maju, di mana makanan dan minuman berbasis bahan lokal seperti beras, sagu, dan kelapa menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Menurut peneliti kuliner Murdijati Gardjito dari Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, dawet telah hadir sejak tahun 1323, pada masa puncak kejayaan Majapahit di bawah pimpinan Hayam Wuruk. Ia menyebutkan bahwa minuman ini dinikmati oleh tokoh-tokoh penting seperti Raden Kembangjoyo, seorang bangsawan Majapahit yang sering disebut dalam cerita rakyat.

Bukti tertulis tentang dawet dapat ditemukan dalam naskah-naskah kuno. Salah satu yang paling terkenal adalah Serat Centhini, sebuah karya sastra Jawa yang ditulis pada awal abad ke-19, tepatnya tahun 1814. Dalam serat ini, dawet digambarkan sebagai minuman yang menyegarkan dan sering disajikan dalam perjalanan atau acara sosial. Serat Centhini, yang merupakan ensiklopedia budaya Jawa, menceritakan petualangan tokoh-tokoh yang menjelajahi pulau Jawa, dan dawet muncul sebagai elemen kuliner yang akrab. Naskah ini tidak hanya menyebutkan dawet sebagai minuman, tetapi juga mengaitkannya dengan nilai-nilai filosofis Jawa, seperti kesederhanaan dan harmoni dengan alam.

Lebih jauh ke belakang, asal-usul dawet dapat ditelusuri hingga abad ke-9 atau ke-10, berdasarkan prasasti-prasasti kuno. Prasasti Taji di Ponorogo, Jawa Timur, dari abad ke-10, menyebutkan minuman serupa yang terbuat dari tepung dan santan. Begitu pula dalam naskah Kresnayana dari abad ke-12 pada masa Kerajaan Kediri, yang merupakan pendahulu Majapahit. Ini menunjukkan bahwa dawet bukanlah inovasi baru, melainkan evolusi dari tradisi kuliner yang telah ada sejak era kerajaan Hindu-Buddha di Jawa. Bahan-bahannya yang sederhana—tepung beras, air daun suji untuk warna hijau, santan, dan gula merah—mencerminkan ketersediaan sumber daya alam di wilayah tropis.

Pada masa Majapahit, dawet tidak hanya dikonsumsi oleh kalangan elite, tetapi juga oleh rakyat biasa. Kerajaan ini dikenal dengan sistem irigasi yang maju, yang mendukung pertanian padi dan kelapa, bahan utama dawet. Ekspansi Majapahit ke berbagai wilayah Nusantara juga turut menyebarkan resep ini. Prajurit Majapahit, yang sering melakukan ekspedisi militer, membawa dawet sebagai bekal yang mudah dibuat dan tahan lama. Ini menjadi salah satu faktor awal penyebaran dawet ke luar Jawa.

Penyebaran Dawet: Dari Jawa ke Wilayah Tetangga

Penyebaran dawet ke wilayah lain seperti Singapura dan Johor diyakini dibawa oleh prajurit Majapahit selama ekspansi mereka. Majapahit, di bawah pimpinan Gajah Mada, berhasil menguasai wilayah yang luas, termasuk Semenanjung Melayu. Prajurit-prajurit ini tidak hanya membawa senjata, tetapi juga budaya kuliner, termasuk dawet yang mereka sebut sebagai minuman penyegar setelah pertempuran. Di Singapura, dawet berkembang menjadi chendol, yang sering disajikan dengan tambahan kacang merah dan durian, sementara di Johor, ia menjadi bagian dari hidangan Melayu tradisional.

Proses akulturasi ini semakin kuat pada masa Kesultanan Demak di abad ke-15, ketika dawet digunakan sebagai media dakwah. Wali Songo, para penyebar Islam di Jawa, memanfaatkan minuman ini untuk mendekati masyarakat, menggabungkannya dengan ajaran agama. Dari sini, dawet menyebar ke Melaka (Malaysia) melalui pergerakan pedagang dan prajurit Jawa. Di Malaysia dan Singapura, chendol menjadi simbol akulturasi budaya Jawa-Melayu, dan bahkan diakui sebagai warisan bersama. Namun, asal-usulnya yang kuat di Indonesia sering menjadi bahan perdebatan, di mana Indonesia mengklaim dawet sebagai minuman asli Jawa.

Penyebaran ini juga terlihat di wilayah Nusantara lainnya. Di Sumatera Barat, dawet dikenal sebagai cindua, sementara di Sulawesi Selatan, suku Bugis menyebutnya cindolo. Variasi ini menunjukkan adaptasi lokal, di mana bahan seperti pandan atau nangka ditambahkan sesuai ketersediaan.

Perkembangan Dawet di Era Kolonial

Pada era kolonial Belanda, dawet tetap menjadi minuman populer di kalangan masyarakat pribumi. Catatan pertama dalam bahasa Belanda muncul pada abad ke-19, dalam buku resep “Oost-Indisch kookboek” tahun 1866, yang menyebut “Tjendol of Dawet”. Buku ini menggambarkan dawet sebagai pasta encer dari sagu, santan, gula, dan garam, menunjukkan bahwa nama cendol dan dawet digunakan secara bergantian. Kamus “Supplement op het Maleisch-Nederduitsch Woordenboek” tahun 1869 juga mencatat tjendol sebagai minuman Jawa.

Kolonialisme membawa perubahan, di mana dawet mulai dijual di pasar-pasar kota besar seperti Batavia (Jakarta) dan Surabaya. Pedagang Tionghoa turut berperan dalam komersialisasi, menggabungkan dawet dengan elemen Cina seperti es krim atau sirup. Namun, di pedesaan, dawet tetap sebagai minuman gotong royong, dibuat secara bersama-sama selama musim panen. Era ini juga melihat dawet sebagai simbol resistensi budaya, di mana masyarakat mempertahankan tradisi mereka di tengah pengaruh Barat.

Dawet di Era Kemerdekaan dan Modern

Setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945, dawet mengalami revitalisasi sebagai bagian dari identitas nasional. Di era Soekarno, minuman ini sering disajikan dalam acara negara, simbolisasi kesederhanaan rakyat. Pada masa Orde Baru, dawet menjadi elemen dalam festival budaya, seperti Festival Dawet di Boyolali, yang bertujuan melestarikan kearifan lokal.

Di era reformasi, dawet beradaptasi dengan modernitas. Varian seperti dawet durian atau dawet susu muncul, dan minuman ini dijual di kafe-kafe urban. Namun, esensi tradisionalnya tetap terjaga, terutama di desa-desa di mana gotong royong masih menjadi cara pembuatan. Globalisasi membawa dawet ke panggung internasional, diakui sebagai street food ikonik Indonesia.

Variasi Regional Dawet

Dawet memiliki variasi yang kaya di Indonesia. Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, dawet ayu Banjarnegara terkenal dengan butiran hijau kenyalnya. Di Jawa Barat, es cendol Bandung menambahkan potongan nangka. Di Jawa Timur, dawet sering disajikan dengan tape ketan. Di luar Jawa, seperti di Sumatera, cindua menggunakan santan lebih kental, sementara di Sulawesi, cindolo ditambahkan rempah lokal. Perbedaan bahan—cendol dari hunkue lebih kenyal, dawet dari tepung beras lebih lembut—menunjukkan adaptasi regional.

Signifikansi Budaya Dawet

Dawet adalah bagian penting dari budaya Indonesia, disajikan saat hajatan seperti pernikahan, gotong royong saat panen, hingga sesaji dalam ritual adat. Dalam hajatan, dawet melambangkan kesejahteraan dan kebersamaan. Di gotong royong, ia menjadi penyegar bagi pekerja. Sebagai sesaji, dawet ditawarkan kepada leluhur dalam upacara seperti ruwatan atau selamatan. Ini mencerminkan nilai gotong royong dan harmoni masyarakat Jawa.

Kesimpulan

Sejarah dawet di Indonesia adalah kisah tentang ketahanan budaya. Dari Majapahit hingga kini, dawet tetap relevan, menyatukan generasi melalui rasa dan maknanya. Melestarikannya berarti menjaga warisan Nusantara.

Tinggalkan Balasan