Di tengah hiruk-pikuk modernisasi yang menyapu Nusantara, seni pertunjukan tradisional sering kali menjadi korban lupa ingatan kolektif. Salah satu permata budaya yang kini berada di ambang kepunahan adalah Mamaca Situbondo, sebuah tradisi sastra lisan yang kaya akan nuansa spiritual dan estetika vokal dari masyarakat Madura di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Mamaca bukan sekadar hiburan malam, melainkan sebuah jembatan antara masa lalu dan kearifan lokal, yang menggabungkan elemen Islam, Jawa, dan Madura dalam harmoni yang halus. Sebagai seni pertunjukan yang menekankan aspek suara tanpa elemen visual, Mamaca mengajak penonton untuk membangun imajinasi melalui kata-kata yang dilagukan dan diinterpretasikan.
Artikel ini akan menjelajahi Mamaca Situbondo secara mendalam, mulai dari asal-usulnya yang berakar pada akulturasi budaya, perannya sebagai pengetahuan tradisional, ekspresi budaya tradisi, perbedaan uniknya dengan seni bacaan lain, perkembangannya di era kontemporer, hingga hambatan pelestariannya yang mendesak. Pembahasan ini bertujuan untuk membangkitkan kesadaran akan pentingnya melestarikan warisan ini, bukan hanya sebagai aset budaya, tetapi juga sebagai cerminan identitas masyarakat Tapal Kuda. Data dan analisis di sini bersumber dari penelitian etnografi dan dokumen resmi, menyoroti bagaimana Mamaca tetap relevan di tengah tantangan zaman.
Mamaca Situbondo telah diakui secara resmi sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 8 Oktober 2019, bersama dengan hodo dan ojung. Pengakuan ini menegaskan posisinya sebagai bagian integral dari keberagaman budaya Indonesia, khususnya di wilayah yang didominasi etnis Madura. Namun, di balik kebanggaannya, Mamaca menghadapi senjakala yang nyata, di mana generasi muda lebih memilih layar sentuh daripada tembang lisan. Mari kita telusuri akar dan maknanya lebih dalam.
Asal-Usul Mamaca Situbondo
Asal-usul Mamaca Situbondo tidak dapat dipisahkan dari dinamika sejarah penyebaran Islam di Jawa Timur, khususnya di wilayah Tapal Kuda yang menjadi persimpangan budaya Madura, Jawa, dan pengaruh Arab. Tradisi ini kemungkinan besar lahir pada abad ke-16 hingga ke-17, saat Wali Sanga menggunakan seni lokal sebagai alat syiar agama. Istilah “mamaca” sendiri berasal dari bahasa Madura yang berarti “membaca” atau “melantunkan”, dengan kedekatan fonetik dan semantik pada “macapat” dalam tradisi Jawa. Macapat, yang merupakan bentuk puisi berirama Jawa, menjadi cikal bakal Mamaca, tetapi diadaptasi dengan logat Madura yang kental dan campuran bahasa lokal.
Menurut penelitian etnografi, Mamaca merupakan hasil akulturasi tiga lapisan budaya: Jawa (dari cerita wayang dan tembang), Arab (melalui aksara Pegon dan tafsir Al-Quran), serta Madura (dengan interpretasi oral yang dinamis). Pada masa pra-Islam, masyarakat Madura dan Jawa mengenal epos Mahabharata, di mana kisah Pandawa Lima menjadi metafor perjuangan manusia. Saat Islam masuk, Wali Sanga seperti Sunan Ampel atau Sunan Giri mereinterpretasikan narasi ini: Pandawa melambangkan rukun Islam (shalat sebagai Yudistira, puasa sebagai Bima, dan lain-lain), sementara Betara Kala, tokoh jahat dalam wayang, disamakan dengan sifat amarah manusia yang harus dikendalikan sesuai ajaran Al-Quran. Teks-teks seperti Nor Bhuwwât (kisah Nabi Muhammad SAW) dan Juwâr Manik (cerita romantis bernuansa sufistik) menjadi repertoar utama, ditulis dengan huruf Arab-Melayu atau Pegon menggunakan bahasa Jawa Krama yang halus.
Di Situbondo, Mamaca berkembang karena migrasi masyarakat Madura dari Pulau Madura ke daratan Jawa Timur pasca-perang Diponegoro (1825-1830) dan kemarau panjang di Madura. Wilayah seperti Kecamatan Panji, Arjasa, dan Jangkar menjadi pusatnya, di mana pertunjukan Mamaca sering digelar di balai desa atau masjid untuk acara sakral. Seorang pelaku senior, Sami’an, dalam wawancara etnografi, mengisahkan bahwa leluhurnya mempelajari Mamaca dari kyai pesantren yang menggabungkan ilmu nahwu (tata bahasa Arab) dengan seni tembang. Asal-usul ini menjadikan Mamaca bukan hanya seni, tapi juga alat dakwah yang inklusif, yang menjembatani animisme pra-Islam dengan tauhid tanpa kekerasan.
Proses evolusi Mamaca juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi: di era kolonial Belanda, pertunjukan ini menjadi hiburan murah bagi petani tebu di perkebunan Situbondo, sekaligus sarana resistensi budaya halus. Hingga kini, teks asli Mamaca disimpan di perpustakaan pesantren atau rumah-rumah adat, meski banyak yang rusak akibat kelembaban tropis. Asal-usulnya yang berlapis ini menegaskan Mamaca sebagai produk sinkretisme budaya, yang lahir dari kebutuhan spiritual masyarakat agraris yang bergantung pada ritual musiman.
Mamaca Situbondo sebagai Pengetahuan Tradisional
Mamaca Situbondo melampaui batas hiburan; ia adalah repositori pengetahuan tradisional yang kaya falsafah hidup, etika, dan ilmu pengetahuan alam-sosial. Sebagai sastra lisan, Mamaca menyimpan kearifan lokal Madura yang diwariskan secara turun-temurun, mirip dengan peran griot di Afrika Barat. Pelaku Mamaca dikenal sebagai tokang maca (pembaca) dan tokang tegghes (juru tafsir) harus menguasai hafalan teks Jawa Krama, teknik vokal dhâlâng (mirip dalang wayang), serta interpretasi kontekstual yang mendalam. Ini menuntut intelektualitas tinggi: juru tafsir tidak hanya menerjemahkan, tapi juga menganalisis metafor, seperti menghubungkan perjalanan Arjuna dengan jihad nafsu.
Sebagai pengetahuan tradisional, Mamaca berfungsi sebagai ensiklopedia hidup. Repertoar Pandhâbâ mengajarkan nilai keadilan sosial melalui kisah Bima yang melindungi rakyat kecil, sementara Nor Bhuwwât menyisipkan astronomi Islam (perjalanan Isra’ Mi’raj) dan botani (tanaman obat dalam cerita Nabi). Di Situbondo, Mamaca digunakan untuk oghem (ramalan nasib), di mana teks dibaca untuk memprediksi cuaca panen atau kesehatan, mencerminkan pengetahuan meteorologi tradisional. Seorang juru tafsir seperti Mattahir menjelaskan bahwa interpretasi Mamaca melibatkan nalar logis: “Kami hafal kata kunci, tapi kembangkan cerita berdasarkan firasat desa, seperti banjir Sungai Bedadung yang dianalogikan dengan amarah Betara Kala.”
Pengetahuan ini juga bersifat pedagogis. Di pesantren Situbondo, Mamaca diajarkan sebagai mata pelajaran santri untuk melatih daya ingat dan retorika, serupa dengan hafalan Al-Quran tapi dengan lapisan naratif. Ia menyimpan kosmologi Madura: dunia dibagi menjadi lamad (dunia nyata) dan lamur (dunia gaib), di mana tembang berfungsi sebagai jembatan. Dalam konteks kontemporer, Mamaca menjadi sumber etika lingkungan, mengingatkan masyarakat untuk menjaga harmoni dengan alam melalui cerita Juwâr Manik yang menekankan kesederhanaan. Dengan demikian, Mamaca bukan artefak mati, tapi pengetahuan dinamis yang relevan untuk pendidikan berkelanjutan, meski kini terancam oleh kurikulum formal yang mengabaikan lisan.
Mamaca Situbondo sebagai Ekspresi Budaya Tradisi
Mamaca Situbondo adalah ekspresi autentik budaya tradisi Madura, yang merefleksikan identitas kolektif melalui ritual, sosialiasi, dan estetika. Dalam masyarakat agraris Situbondo, pertunjukan ini menjadi panggung untuk menegaskan nilai-nilai seperti bhine’ (solidaritas) dan sêpuh (penghormatan kepada leluhur). Acara seperti Rokat Pandhâbâ (ruwat anak dengan membaca kisah Pandawa) atau Molotan (Maulid Nabi) menggunakan Mamaca untuk memperkuat ikatan komunal, di mana penonton duduk melingkar di pendopo, mendengarkan tembang yang bergema di malam bulan purnama.
Ekspresi budayanya terletak pada bentuk non-visual yang unik: tanpa panggung atau kostum, Mamaca mengandalkan suara untuk membangkitkan emosi. Tembang seperti Kasmaran (cinta ilahi) atau Pucung (hikmah singkat) dilantunkan dengan iringan suling bambu sederhana, menciptakan suasana meditatif yang mirip shalawat tapi bernuansa wayang. Ini adalah ekspresi sinkretisme: simbol Hindu seperti Arjuna digabung dengan sufisme Islam, menunjukkan toleransi Madura yang terkenal. Di Bondowoso tetangga, Mamaca bahkan menjadi media resolusi konflik desa, di mana juru tafsir menyisipkan pesan perdamaian dalam interpretasi.
Sebagai ekspresi tradisi, Mamaca juga adaptif. Di era pasca-kolonial, ia berevolusi menjadi arisan mamaca pertemuan gotong royong dengan hiburan yang memperkuat jaringan sosial perempuan Madura. Nilai estetikanya, seperti ritme ghendhirân (iringan gamelan mini), mencerminkan filosofi sêlâmât (keselamatan holistik), di mana seni bukan hiburan semata tapi doa kolektif. Ekspresi ini menjadikan Mamaca sebagai cermin jiwa Madura: tangguh, spiritual, dan komunal, yang terus hidup di desa-desa terpencil Situbondo meski kota-kota besar melupakannya.
Apa yang Membedakan Mamaca Situbondo dengan Seni Baca Lainnya
Mamaca Situbondo memiliki ciri khas yang membedakannya dari seni bacaan tradisional lain seperti didong Aceh, syair Madura, atau macapat Jawa. Pertama, fokus non-visual: sementara didong Aceh melibatkan improvisasi dialog bergantian dengan elemen gerak tangan dan panggung sederhana, Mamaca murni auditif, bergantung pada imajinasi penonton tanpa props. Teknik vokalnya mirip dalang wayang, tapi tanpa boneka hanya suara yang “menghidupkan” karakter.
Kedua, struktur duet: Mamaca unik dengan pembagian peran tokang maca (penyanyi teks) dan tokang tegghes (juru tafsir), yang menciptakan dialog naratif mendalam. Ini berbeda dari syair Madura, yang lebih statis sebagai puisi tertulis atau dibaca solo tanpa interpretasi ekstensif. Syair fokus pada pantun romantis atau satir, sedangkan Mamaca naratif panjang dengan lapisan tafsir sufistik, seperti menghubungkan Pandawa dengan rukun Islam elemen absen di syair.
Ketiga, konteks sakral-edukatif: Berbeda dari macapat Jawa yang lebih poetis dan sekuler (digunakan di pengajian atau pernikahan), Mamaca versi Madura menambahkan logat lokal dan campuran bahasa, plus fungsi magis seperti ramalan. Didong, meski juga lisan, lebih kompetitif dan hiburan rakyat dengan tema sehari-hari, bukan sinkretisme agama seperti Mamaca. Akhirnya, kerumitan intelektual: Mamaca menuntut hafalan aksara Pegon dan nalar tafsir, membuatnya lebih eksklusif daripada didong yang improvisasional. Perbedaan ini menjadikan Mamaca sebagai “macapat Madura yang bernafas”, unik di panorama seni bacaan Nusantara.
Perkembangan Mamaca Situbondo
Perkembangan Mamaca Situbondo mencerminkan adaptasi terhadap zaman, dari bentuk sakral murni menjadi hibrida modern. Awalnya, pada abad ke-19, Mamaca terbatas pada ritual desa dengan repertoar tetap seperti Pandhâbâ. Pasca-kemerdekaan, ia berkembang menjadi hiburan komunal, dengan tambahan iringan klènèngan (gamelan kecil) dan tari tanda’ untuk acara pesta panen. Di tahun 1980-an, festival budaya di Situbondo mulai memasukkan Mamaca, meningkatkan visibilitasnya.
Era digital membawa inovasi: rekaman audio di YouTube dan podcast lokal, seperti seri “Mamaca Digital” oleh seniman muda, mengadaptasi teks untuk tema kontemporer seperti lingkungan. Pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan mengadakan lomba tahunan sejak 2020, melibatkan pelajar untuk regenerasi—penilaian berdasarkan macah (bacaan), paneges (tafsir), dan pembawaan. Namun, perkembangan ini lambat; dari 50 kelompok di 1990-an, kini hanya 10 yang aktif. Pandemi COVID-19 justru mempercepat adaptasi virtual, tapi juga memperlemah tradisi tatap muka. Secara keseluruhan, perkembangan Mamaca menuju hibridisasi, tapi tetap setia pada esensi vokalnya.
Hambatan Pelestarian Mamaca Situbondo
Pelestarian Mamaca Situbondo menghadapi hambatan berlapis yang mengancam kelestariannya. Pertama, invasi media digital: TV dan internet menawarkan hiburan instan, membuat pertunjukan Mamaca yang bisa berlangsung 3-4 jam dianggap membosankan. Seperti kata Sami’an, “Sejak televisi marak, orang desa tak betah lagi duduk lama mendengar tembang.” Generasi Z lebih suka TikTok daripada hafalan teks.
Kedua, wacana puritanisme Islam sejak 2000-an: Ormas di Situbondo mengklaim Mamaca “sesat” karena sinkretisme Hindu-Islam, menyebabkan trauma di kalangan pelaku. Banyak yang beralih ke pengajian Yasin, mengurangi permintaan pertunjukan. Ketiga, kerumitan teknis: Menguasai aksara Pegon dan tafsir memerlukan tahun-tahun latihan, membuat pemuda enggan. Regenerasi putus; pelaku senior seperti Mattahir (70 tahun) khawatir pewaris hilang.
Keempat, dukungan institusional lemah: Meski diakui warisan tak benda, anggaran pelestarian minim fokus pada pariwisata daripada pendidikan. Ekonomi juga berperan: seniman bergantung pada donasi acara, yang menurun di tengah inflasi. Hambatan ini menciptakan lingkaran setan, di mana Mamaca terpinggirkan kecuali upaya kolektif segera dilakukan.
Kesimpulan
Mamaca Situbondo adalah permata budaya yang layak diperjuangkan, menyimpan asal-usul akulturasi, pengetahuan tradisional, ekspresi autentik, keunikan struktural, perkembangan adaptif, meski dihantui hambatan serius. Melalui artikel ini, semoga menjadi panggilan untuk aksi: pemerintah perlu kurikulum sekolah, komunitas festival berkelanjutan, dan seniman inovasi digital. Melestarikan Mamaca berarti menyelamatkan suara leluhur Madura, agar imajinasi lisan tak hilang dalam deru modernitas. Di Situbondo yang hijau, tembang Mamaca harus terus bergema, mengingatkan kita pada harmoni budaya yang abadi.