Batik, sebagai salah satu warisan budaya Indonesia yang diakui UNESCO sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity sejak 2009, bukan hanya sekadar kain berpola indah, melainkan cerminan jiwa bangsa yang sarat filosofi, sejarah, dan kearifan lokal. Di tengah keragaman motif batik dari berbagai daerah, Batik Jombangan muncul sebagai permata tersembunyi dari Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Batik ini bukan hanya produk kerajinan tangan, tapi juga narasi visual tentang perjuangan masyarakat Jombang melawan zaman, dari masa penjajahan hingga era modernisasi. Dengan motif-motif yang terinspirasi dari relief candi kuno Majapahit, pohon-pohon legendaris, dan flora lokal, Batik Jombangan menggabungkan elemen geometris yang simetris dengan warna-warna hangat seperti merah bata dan hijau daun, mencerminkan harmoni antara tradisi agamis dan semangat nasionalis kota santri ini.
Jombang, yang dikenal sebagai “Kota Santri” dengan ribuan pondok pesantren, memiliki sejarah panjang sebagai pecahan Kerajaan Mojokerto pada era Majapahit. Batik Jombangan lahir dari rahim masyarakat pedesaan yang tangguh, di mana ibu-ibu rumah tangga dan pendidik pensiun menjadi pionir pelestarian. Artikel ini akan menelusuri perjalanan seni tradisional ini, mulai dari kelahirannya pada 1944 hingga evolusinya kontemporer, dengan fokus pada tokoh-tokoh visioner seperti Hj. Maniati dan Bapak Sugiono, serta motif ikonik seperti Candi Arimbi dan Menara Ringin Contong. Melalui artikel ini, kita akan menggali bagaimana Batik Jombangan tidak hanya bertahan, tapi juga berkembang menjadi simbol identitas Jombang yang mendunia.
Sejarah Awal: Kelahiran di Tengah Penjajahan
Sejarah Batik Jombangan dapat ditelusuri kembali ke tahun 1944, saat Indonesia masih di bawah cengkeraman pendudukan Jepang. Di Desa Candimulyo, Kecamatan Diwek, Jombang, sekelompok ibu-ibu dan remaja perempuan yang memiliki keterampilan menjahit dan menggambar memulai inisiatif sederhana namun monumental: membuat Batik Pecinan. Motif utama mereka adalah batik kawung—pola bulat simetris yang melambangkan kesucian dan keharmonisan—diberi warna merah bata yang hangat dan hijau kawung yang segar, terinspirasi dari alam sekitar Jombang yang subur. Prosesnya dilakukan secara manual dengan teknik canting sederhana, menggunakan lilin lebah dan pewarna alami dari daun jati atau kayu secang, di tengah keterbatasan bahan baku akibat perang.
Inisiatif ini bukanlah kebetulan. Pada masa itu, batik menjadi bentuk perlawanan ekonomi pasif terhadap penjajah. Ibu-ibu di Candimulyo, yang mayoritas istri petani dan pengrajin rumahan, melihat batik sebagai cara untuk menghasilkan pendapatan keluarga tanpa bergantung pada sistem kolonial. Batik Pecinan mereka dijual di pasar lokal dengan harga murah, sekitar Rp 5 per meter kain, dan sering digunakan untuk pakaian sehari-hari atau upacara adat. Namun, euforia singkat ini terhenti seketika ketika pendudukan Jepang semakin ketat. Bahan seperti kain mori dan lilin menjadi langka, sementara banyak pengrajin dipaksa bekerja rodi di proyek militer. Akibatnya, tradisi membatik di Jombang hampir punah, meninggalkan jejak samar di ingatan generasi tua.
Meski demikian, akar budaya batik di Jombang sudah tertanam sejak era Majapahit. Jombang, sebagai bagian dari wilayah Trowulan, kaya akan peninggalan candi dan relief yang menjadi inspirasi motif. Relief-relief di Candi Arimbi dan Rimbi, yang menggambarkan gerbang kerajaan dengan pola geometris, diam-diam memengaruhi pola pikir masyarakat. Saat kemerdekaan tiba pada 1945, batik mulai bangkit kembali, tapi masih terbatas pada skala rumah tangga. Pada 1950-an, motif alam mulai mendominasi: bunga melati yang melambangkan kemurnian, tebu sebagai simbol kemakmuran, cengkeh untuk rempah khas Jawa Timur, dan pohon jati yang kokoh mencerminkan ketangguhan rakyat Jombang. Warna dasar tetap hijau-merah, sesuai lambang daerah yang menggambarkan harmoni antara Islam (hijau) dan nasionalisme (merah).
Periode 1960-1980-an melihat batik Jombang terpinggirkan oleh industri tekstil modern dari Solo dan Pekalongan. Namun, di desa-desa seperti Pagotan dan Keplaksari, Kecamatan Peterongan, tradisi tetap hidup melalui kesenian rakyat. Di sinilah Bapak Sugiono, seorang pendidik dan seniman lokal, mulai bereksperimen. Pada akhir 1970-an, Sugiono menggunakan batik untuk kostum kesenian sekolah-sekolah dasar dan menengah di Peterongan. Motif sederhana seperti kangkung—sayuran air yang melambangkan kesederhanaan hidup petani—dan teratai yang melambangkan pencerahan spiritual, menjadi favoritnya. Upaya Sugiono ini, meski skala kecil, menanamkan benih pelestarian di kalangan muda, mempersiapkan tanah subur untuk kebangkitan besar di akhir abad ke-20.
Kebangkitan Modern: Peran Tokoh Visioner
Tahun 1993 menandai titik balik bagi Batik Jombangan. Hj. Maniati, seorang pensiunan guru dari Desa Jatipelem, Kecamatan Diwek, yang lahir pada 1937, memutuskan untuk membuka usaha batik setelah pensiun dari dunia pendidikan. Dengan latar belakang mengajar di sekolah negeri, Maniati melihat batik sebagai alat pemberdayaan perempuan desa. Bersama putrinya, ia mengikuti pelatihan batik jumput (teknik ikat) di Yogyakarta, kemudian menerapkannya di rumah tangga. Modal awal hanya Rp 500.000 dari tabungan pribadi, tapi semangatnya membara. Pada 1993, ia mendirikan sanggar kecil yang melibatkan 10 ibu-ibu PKK, memproduksi kain batik untuk pasar lokal. “Batik bukan hanya kain, tapi cerita perjuangan kami,” ujar Maniati dalam wawancara lama.
Puncak kebangkitan terjadi pada Februari 2000, ketika Maniati dan putrinya mengikuti kursus batik tulis warna alami di Surabaya. Kembali ke Jombang, ia meresmikan usaha formal bernama “Sekar Jati Star” pada Desember 2000 di Desa Jatipelem. Usaha ini mendapat izin SIUP tetap pada 16 Desember 2004 (nomor 00423/13-19/SIUP-K/IX/2004), menandai legitimasi resmi. Maniati merekrut 27 tenaga kerja, mayoritas perempuan desa, dengan sistem upah borongan: Rp 10.000 per meter untuk nglorot (menggambar pola) dan Rp 15.000 untuk nembok (memulas lilin). Produk utamanya adalah kemeja batik katun seharga Rp 150.000 dan sutra Rp 300.000, yang dijual hingga ke Surabaya dan Malang.
Paralel dengan Maniati, Bapak Sugiono dari Pagotan, Keplaksari, Peterongan, memperluas kontribusinya. Sebagai guru seni di SDN Peterongan, Sugiono mulai memproduksi batik secara massal untuk kostum wayang orang dan ludruk sekolah pada 1995. Motifnya unik: Menara Ringin Contong, terinspirasi dari pohon beringin raksasa di alun-alun Jombang yang menjadi saksi bisu sejarah perjuangan kemerdekaan. Sugiono melatih siswa-siswanya, menciptakan generasi muda yang mahir membatik. Upaya ini didukung Bupati Jombang saat itu, yang pada 2001 mengadakan kursus gratis di Jatipelem, melibatkan 50 peserta dari berbagai desa.
Pada 2002, Ibu Kusmiati Slamet bergabung sebagai pionir lain. Dengan modal Rp 2 juta, ia mendirikan “Litabena” di Jatipelem, fokus pada motif Candi Rimbi—variasi dari Arimbi yang melambangkan gerbang Majapahit. Kusmiati merekrut 20 pengrajin, dengan upah Rp 12.000 per yard untuk pewarnaan dan Rp 5.000 untuk nyanting (mengikat). Produknya diekspor ke Jakarta, Kalimantan, dan Palembang, membuka pintu pasar nasional. Kolaborasi antar-tokoh ini menciptakan ekosistem: Maniati fokus produksi, Sugiono pada pendidikan, dan Kusmiati pada pemasaran. Pada 2005, Bupati Jombang menetapkan batik merah-hijau sebagai seragam pegawai setiap Jumat-Sabtu, dan pelajar Rabu-Kamis, mendorong permintaan hingga ribuan potong per bulan.
Motif dan Filosofi: Cerminan Kearifan Lokal
Keunikan Batik Jombangan terletak pada motifnya yang sarat filosofi, menggabungkan elemen sejarah Majapahit dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Jombang. Motif utama, Candi Arimbi, berasal dari relief candi di Desa Ngrimbi, Kecamatan Bareng. Pola ini berbentuk ukiran segitiga lancip di bawah, simetris seperti pintu gerbang kerajaan, melambangkan transisi dari dunia fana ke abadi—cocok untuk kota santri yang penuh renungan spiritual. Setiap segitiga mewakili tumpal (gunung suci), dengan detail flora seperti daun sirih yang melingkar, simbol kesetiaan dan keabadian cinta. Warna merah bata di bagian bawah menggambarkan tanah Jombang yang subur, sementara hijau di atas melambangkan langit penuh berkah ilahi.
Motif Menara Ringin Contong, kreasi Bapak Sugiono, menggambarkan pohon beringin kontong (berlubang) di pusat kota Jombang. Pohon ini, yang konon ditanam pada masa Majapahit, menjadi tempat pertemuan ulama dan pejuang. Dalam batik, batangnya digambarkan meliuk dengan cabang-cabang yang membentuk pola spiral, melambangkan ketangguhan dan perlindungan. Daun-daunnya dihiasi motif kangkung—sayuran rawa yang melimpah di sawah Jombang—sebagai representasi kesederhanaan dan ketahanan pangan. Kangkung, dengan bentuknya yang bergelombang, melambangkan aliran kehidupan yang tak terputus, mirip sungai Brantas yang membelah Jombang.
Tak ketinggalan motif teratai, yang sering dipadukan dengan kangkung oleh Nunuk Rachmawati, seniman kontemporer dari Dusun Jambu, Desa Jabon. Teratai, bunga air suci dalam tradisi Hindu-Buddha, melambangkan pencerahan dan kemurnian hati, relevan dengan nilai-nilai pesantren Jombang. Dalam Batik Jombangan karya Nunuk, teratai ditempatkan di tengah kolam kangkung, dengan kelopak yang bertumpuk seperti doa yang menjulang. Filosofi ini diperkaya legenda ludruk Jombang, di mana “besutan” (pertunjukan rakyat) digambarkan sebagai elemen hiasan, mencerminkan semangat gotong royong.
Evolusi motif terlihat dari kajian 2000-2009, di mana pola geometris mendominasi (70%), ke 2010-2022 yang lebih organik dengan elemen hewan seperti burung peksi (hudhud dalam Al-Quran, simbol kabar gembira). Nama motif seperti cindenenan (dari “cinde” atau hati) dan turonggo seto (burung garuda) menambah lapisan mistis. Secara keseluruhan, motif-motif ini bukan sekadar estetika, tapi pesan moral: harmoni alam, sejarah, dan spiritualitas.
Proses Pembuatan: Seni Tangan yang Telaten
Membuat Batik Jombangan adalah perjalanan kesabaran yang memakan waktu 2-4 minggu per kain, tergantung kerumitan. Teknik utama adalah batik tulis, di mana pengrajin menggunakan canting tembaga untuk mengalirkan lilin panas ke kain mori atau katun primisima (lebar 120 cm). Proses dimulai dengan nggores (menggambar pola dengan pensil), diikuti nembok (memulas lilin untuk menutup area yang tak diwarnai). Kain kemudian dicelup (nglorot) ke ember pewarna alami: kunyit untuk kuning, indigo untuk biru, dan secang untuk merah bata.
Untuk varian ikat, seperti yang diajarkan Hj. Maniati awalnya, kain diikat dengan tali rami sesuai motif kangkung, lalu dicelup berulang hingga 10 kali untuk gradasi warna. Batik screen/printing digunakan untuk produksi massal uniform sekolah, dengan cap tembaga yang dicetak ulang motif Candi Arimbi. Bahan pewarna kini campuran alami-sintetis, tapi Sekar Jati Star tetap setia pada alami untuk menjaga autentisitas. Setelah pewarnaan, lilin dilelehkan (nlorot), kain direbus, dan dikeringkan di bawah sinar matahari Jombang yang tropis.
Pengrajin seperti di Litabena bekerja dalam kelompok: 5 orang untuk desain, 10 untuk canting, dan sisanya pewarnaan. Alat sederhana—kompor gas untuk lilin, ember kayu—tapi hasilnya premium: kain halus dengan pola tajam. Tantangan utama adalah konsistensi warna, yang diatasi melalui resep turun-temurun dari ibu-ibu Candimulyo.
Perkembangan dan Pelestarian: Dari Lokal ke Global
Sejak 2005, Batik Jombangan berkembang pesat. Uniform pegawai dan pelajar menciptakan permintaan stabil 5.000 potong/tahun, didukung koperasi desa. Pemasaran digital sejak 2010 melalui Instagram “BatikJombangOfficial” menjangkau Papua dan luar negeri. Nunuk Rachmawati mematenkan motifnya pada 2015, mencegah plagiarisme.
Pelestarian dilakukan melalui pelatihan PKK dan sekolah seni Sugiono. Tantangan modern seperti kompetisi fast fashion diatasi dengan inovasi: batik eco-friendly dengan pewarna daur ulang. Festival Batik Jombang tahunan sejak 2018 menarik 10.000 pengunjung, mempromosikan motif teratai sebagai ikon pariwisata.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Batik Jombangan memberdayakan 500 perempuan, meningkatkan pendapatan 30% per rumah tangga. Secara sosial, ia memperkuat identitas budaya, mengurangi urbanisasi dengan lapangan kerja desa.
Kesimpulan
Batik Jombangan adalah symphony warna dan pola yang menceritakan kisah Jombang: dari 1944 di Candimulyo hingga visi Maniati dan Sugiono. Di era global, seni ini mengajak kita merangkul akar, menjaga api tradisi tetap menyala.