Museum Islam Indonesia KH Hasyim Asyari (MINHA) di Jombang, Jawa Timur, merupakan salah satu institusi budaya yang memiliki peran penting dalam melestarikan warisan Islam di Indonesia. Diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2018, museum ini berdiri di lingkungan Pondok Pesantren Tebuireng, sebuah lokasi yang kaya akan sejarah keislaman. MINHA tidak hanya menjadi tempat penyimpanan artefak bersejarah, tetapi juga ruang yang merefleksikan nilai-nilai toleransi, keberagaman, dan kearifan lokal yang menjadi ciri khas Islam Nusantara. Dengan koleksi yang mencakup tiga periode utama—masuknya Islam ke Nusantara, perjuangan kemerdekaan, dan pemikiran tokoh-tokoh Islam—museum ini memiliki potensi besar untuk menjadi pusat edukasi dan wisata religi.
Namun, di tengah perkembangan zaman yang serba digital dan cepat, MINHA menghadapi tantangan untuk tetap relevan dan menarik bagi masyarakat, terutama generasi muda. Untuk itu, diperlukan strategi yang inovatif agar museum ini dapat menjadi ruang budaya Islam yang aktif, terbuka, dan partisipatif. Artikel ini akan membahas berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, mulai dari pemanfaatan teknologi digital hingga keterlibatan komunitas, dengan harapan MINHA dapat menjadi pusat budaya yang hidup dan bermakna.
Konteks Sejarah dan Signifikansi KH Hasyim Asyari
KH Hasyim Asyari adalah salah satu tokoh besar dalam sejarah Islam di Indonesia. Sebagai pendiri Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926, beliau dikenal sebagai ulama yang memadukan ajaran Islam dengan kearifan lokal, serta memainkan peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pesantren Tebuireng, yang didirikan pada tahun 1899, menjadi basis pendidikan Islam yang melahirkan banyak ulama dan intelektual. Museum Islam Indonesia KH Hasyim Asyari didirikan untuk menghormati warisan beliau, sekaligus menjadi wadah untuk mendokumentasikan dan menyebarkan sejarah perkembangan Islam di Nusantara.
Museum ini memiliki lokasi strategis di Jombang, yang dikenal sebagai “Kota Santri” karena tradisi keislamannya yang kuat. Koleksi museum mencakup artefak seperti manuskrip kuno, benda-benda bersejarah, dan dokumentasi perjuangan Islam dalam konteks nasionalisme. Dengan demikian, MINHA bukan hanya tempat untuk mengenang masa lalu, tetapi juga ruang untuk memahami bagaimana Islam telah membentuk identitas budaya Indonesia.
Tantangan yang Dihadapi
Meskipun memiliki potensi besar, MINHA menghadapi sejumlah tantangan yang perlu diatasi agar dapat berkembang menjadi ruang budaya yang dinamis. Pertama, koleksi museum masih terbatas dan belum sepenuhnya mencerminkan kekayaan sejarah Islam di Indonesia. Beberapa ruangan di museum bahkan masih kosong atau kurang dimanfaatkan, sehingga pengunjung mungkin merasa pengalaman mereka kurang lengkap.
Kedua, lokasi museum di kawasan pedesaan Jombang, meskipun kaya akan nilai sejarah, memiliki keterbatasan dalam hal aksesibilitas. Infrastruktur pendukung seperti transportasi umum, akomodasi, dan fasilitas wisata masih perlu ditingkatkan untuk memudahkan pengunjung dari luar daerah. Hal ini menjadi kendala dalam menarik wisatawan domestik maupun internasional.
Ketiga, di era digital saat ini, MINHA belum sepenuhnya memanfaatkan teknologi untuk promosi dan interaksi dengan audiens yang lebih luas. Banyak museum di dunia telah beralih ke platform digital untuk menjangkau pengunjung virtual, tetapi MINHA masih tertinggal dalam hal ini. Kehadiran online yang lemah dapat membatasi kemampuan museum untuk bersaing dengan destinasi budaya lainnya.
Terakhir, museum ini belum sepenuhnya menjadi ruang yang partisipatif. Pengunjung sering kali hanya datang untuk melihat pameran tanpa ada kesempatan untuk berinteraksi atau berkontribusi. Tanpa program yang melibatkan komunitas, MINHA berisiko kehilangan relevansi sebagai pusat budaya yang hidup.
Strategi untuk Penguatan
Untuk mengatasi tantangan tersebut dan mewujudkan visi MINHA sebagai ruang budaya Islam yang aktif, terbuka, dan partisipatif, berikut adalah sejumlah strategi yang dapat diterapkan:
1. Pengembangan Koleksi dan Pameran Interaktif
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memperkaya koleksi museum dengan artefak yang relevan, seperti manuskrip kuno, benda-benda ritual, dan dokumentasi sejarah. Selain itu, pameran harus dirancang secara interaktif dengan memanfaatkan teknologi modern seperti augmented reality (AR) dan virtual reality (VR). Misalnya, pengunjung dapat mengalami simulasi kehidupan di pesantren pada masa KH Hasyim Asyari atau menyaksikan rekonstruksi digital dari peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Islam Nusantara. Pendekatan ini akan membuat sejarah lebih mudah dipahami dan menarik, terutama bagi generasi muda.
2. Digitalisasi dan Kehadiran Online
Di era digital, MINHA perlu membangun kehadiran online yang kuat. Langkah awal adalah mengembangkan website yang informatif dan mudah digunakan, dilengkapi dengan tur virtual, galeri digital, dan informasi tentang koleksi museum. Media sosial juga dapat dimanfaatkan untuk mempromosikan kegiatan museum, seperti pameran temporer atau acara budaya, serta berinteraksi dengan audiens.
Selain itu, museum dapat memproduksi konten digital seperti webinar, podcast, atau video dokumenter tentang sejarah Islam di Indonesia. Konten ini tidak hanya akan menjangkau audiens global, tetapi juga dapat menjadi sumber pendapatan tambahan melalui donasi atau langganan berbayar. Dengan digitalisasi, MINHA dapat tetap relevan dan accessible bagi mereka yang tidak dapat mengunjungi museum secara langsung.
3. Program Edukasi dan Keterlibatan Komunitas
MINHA harus menjadi pusat pembelajaran yang aktif dengan menyelenggarakan program edukasi untuk berbagai kalangan. Untuk pelajar dan mahasiswa, museum dapat mengadakan workshop, seminar, dan tur edukatif yang membahas topik seperti toleransi antarumat beragama, sejarah Islam, atau pemikiran KH Hasyim Asyari. Program ini dapat dirancang untuk mendukung kurikulum sekolah dan universitas, sehingga museum menjadi bagian integral dari proses pendidikan.
Keterlibatan komunitas lokal juga sangat penting. MINHA dapat mengadakan festival budaya Islam, pameran temporer yang melibatkan seniman lokal, atau proyek penelitian kolaboratif dengan masyarakat setempat. Dengan melibatkan komunitas, museum dapat menciptakan rasa kepemilikan dan memperkuat hubungan dengan lingkungan sekitar.
4. Kemitraan dengan Institusi Lain
Kerjasama dengan institusi budaya dan pendidikan, baik nasional maupun internasional, dapat meningkatkan profil MINHA. Misalnya, museum dapat bermitra dengan Museum Nasional Indonesia untuk pertukaran artefak atau penyelenggaraan pameran bersama. Kemitraan dengan museum Islam di negara lain, seperti Museum Seni Islam di Doha, Qatar, juga dapat membuka peluang untuk berbagi pengetahuan dan sumber daya.
Selain itu, kerjasama dengan universitas dapat mendukung penelitian tentang sejarah Islam dan pengembangan konten edukatif yang lebih mendalam. Kemitraan ini juga dapat membantu dalam pengumpulan dan pelestarian artefak, sehingga koleksi museum menjadi lebih lengkap dan beragam.
5. Pemasaran dan Promosi yang Efektif
Untuk meningkatkan visibilitas, MINHA perlu menerapkan strategi pemasaran yang modern dan terarah. Kampanye media sosial dapat menjadi alat yang efektif untuk menjangkau audiens yang lebih luas, dengan konten seperti video pendek tentang koleksi museum atau cerita di balik artefak tertentu. Kolaborasi dengan influencer, tokoh masyarakat, atau komunitas budaya juga dapat membantu meningkatkan kesadaran publik tentang museum.
Selain itu, MINHA dapat berpartisipasi dalam festival budaya nasional atau internasional untuk mempromosikan diri sebagai destinasi wisata religi dan edukasi. Program keanggotaan atau tiket berlangganan yang menawarkan akses eksklusif ke acara khusus juga dapat menarik pengunjung setia.
6. Peningkatan Infrastruktur dan Fasilitas
Agar dapat menarik lebih banyak pengunjung, MINHA perlu memastikan fasilitasnya memadai dan nyaman. Ini termasuk penyediaan area parkir yang luas, kafetaria dengan menu khas lokal, toko suvenir yang menjual produk berbasis budaya Islam, dan fasilitas untuk pengunjung berkebutuhan khusus. Aksesibilitas transportasi juga harus ditingkatkan, misalnya dengan menyediakan shuttle bus dari pusat kota Jombang atau stasiun kereta terdekat.
Studi Kasus: Inspirasi dari Museum Lain
Beberapa museum di dunia dapat menjadi inspirasi bagi MINHA. Museum Louvre di Paris, misalnya, telah berhasil mengembangkan tur virtual dan aplikasi mobile yang memungkinkan pengunjung menjelajahi koleksi dari mana saja. Mereka juga sering mengadakan pameran temporer yang menarik perhatian global, sebuah strategi yang dapat diadopsi oleh MINHA untuk meningkatkan daya tariknya.
Di Indonesia, Museum Nasional di Jakarta telah memanfaatkan teknologi digital seperti AR untuk menciptakan pengalaman interaktif bagi pengunjung. Mereka juga aktif dalam program edukasi dan keterlibatan komunitas, yang dapat menjadi model bagi MINHA dalam membangun hubungan dengan masyarakat.
Kesimpulan
Memperkuat posisi Museum Islam Indonesia KH Hasyim Asyari sebagai ruang budaya Islam yang aktif, terbuka, dan partisipatif memerlukan pendekatan yang holistik dan inovatif. Dengan memperkaya koleksi, memanfaatkan teknologi digital, melibatkan komunitas, membangun kemitraan, meningkatkan promosi, dan menyediakan fasilitas yang memadai, MINHA dapat menjadi destinasi budaya yang relevan dan menarik. Upaya ini tidak hanya akan melestarikan warisan Islam di Indonesia, tetapi juga mempromosikan nilai-nilai toleransi dan keberagaman yang menjadi inti dari Islam Nusantara.
Ajakan Bertindak
Kami mengajak Anda untuk mengunjungi Museum Islam Indonesia KH Hasyim Asyari, mengikuti program-programnya, dan mendukung upaya pengembangannya. Bersama-sama, kita dapat menjadikan museum ini sebagai ruang budaya yang hidup, tempat generasi sekarang dan mendatang dapat belajar dan mengapresiasi kekayaan sejarah Islam di Indonesia.
