Langit di atas Alun-Alun Kabupaten Jombang menjadi saksi bisu dari sebuah malam yang penuh berkah dan kekhidmatan. Pada Rabu malam, 22 Oktober 2025, puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu, jamaah dari berbagai penjuru Jombang dan sekitarnya tumpah ruah memadati setiap jengkal ruang publik di jantung kota. Mereka datang dengan satu niat, satu hati: melantunkan puji-pujian kepada Baginda Nabi Muhammad SAW dalam sebuah perhelatan akbar bertajuk “Jombang Bersholawat”.
Acara monumental ini tidak diselenggarakan tanpa alasan. Ini adalah puncak dari ungkapan rasa syukur kolektif masyarakat Jombang atas dua momentum agung yang dirayakan serentak: Hari Jadi Kabupaten Jombang yang ke-115 dan Peringatan Hari Santri Nasional Tahun 2025. Sinergi antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jombang dan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jombang menjadi motor penggerak utama, mengubah Alun-Alun Jombang menjadi lautan manusia yang bersatu dalam damai, doa, dan sholawat.
Dimulai sejak pukul 18.30 WIB, tepat setelah sholat Maghrib, denyut Alun-Alun sudah mulai terasa. Para jamaah, tua dan muda, laki-laki dan perempuan, berbondong-bondong hadir lebih awal demi mendapatkan tempat terbaik. Mereka datang membawa alas duduk, bendera majelis, dan yang terpenting, hati yang rindu akan syafaat. Suasana khidmat bercampur antusiasme begitu kental terasa, menandakan bahwa malam itu akan menjadi malam yang tak terlupakan bagi “Kota Santri”.
Dua Momentum, Satu Ikhtiar Spiritual
Penyelenggaraan “Jombang Bersholawat” kali ini memiliki makna yang sangat mendalam. Pertama, acara ini didedikasikan untuk memperingati Hari Jadi Kabupaten Jombang yang telah menginjak usia 115 tahun. Sebuah usia yang matang bagi sebuah daerah yang telah melahirkan begitu banyak tokoh besar, pahlawan nasional, dan ulama-ulama kaliber dunia. Jombang, yang dikenal sebagai paku bumi (pasak bumi) Nahdlatul Ulama, merayakan hari jadinya bukan hanya dengan kemeriahan seremonial, tetapi dengan sebuah ikhtiar batiniah, sebuah “ketukan” di pintu langit melalui lantunan sholawat.
Kedua, acara ini digelar dalam rangka menyemarakkan Hari Santri Nasional 2025. Seperti yang tertera dalam materi publikasi, tema Hari Santri tahun ini adalah “Methuwal Indonesia Merdeka” dan “Mothus Pengabdian Santri”. Sebuah tema yang mengisyaratkan panggilan bagi para santri untuk terus mengawal kemerdekaan Indonesia dengan pengabdian tanpa batas. Di Jombang, yang merupakan rumah bagi pondok-pondok pesantren bersejarah seperti Tebuireng, Tambakberas, Denanyar, dan Ploso, Hari Santri adalah sebuah perayaan identitas. “Jombang Bersholawat” menjadi penegas bahwa DNA Jombang adalah DNA santri, yang nafasnya adalah pengabdian dan detak jantungnya adalah sholawat.
Sinergi Sempurna Ulama dan Umara
Malam itu, panggung megah yang berdiri kokoh di sisi utara Alun-Alun menjadi simbol sempurna dari sinergi antara Ulama (pemimpin agama) dan Umara (pemimpin pemerintahan). Jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) hadir lengkap, dipimpin langsung oleh Bupati Jombang, Warsubi, S.H., M.Si, dan Wakil Bupati Jombang, M. Salmanudin, S.Ag., M.Pd. Keduanya tampak mengenakan seragam dinas kebesaran, duduk berdampingan dengan para kyai dan habaib, menunjukkan keharmonisan yang menjadi dambaan masyarakat.
Dalam sambutannya, Bupati Jombang, Warsubi, dengan suara bergetar menahan haru, menyampaikan rasa syukurnya. “Malam ini adalah malam yang barokah. Malam ini adalah malamnya rakyat Jombang. Kita berkumpul di sini, dari segala penjuru, bukan karena siapa-siapa, tapi karena cinta kita kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW,” ujarnya, disambut gemuruh tepuk tangan dan pekik “Shollu ‘alan Nabi!” dari puluhan ribu jamaah.
Warsubi menegaskan bahwa di usianya yang ke-115, Jombang harus terus dibangun di atas dua fondasi: pembangunan fisik yang merata dan pembangunan spiritual yang kuat. “Pembangunan jalan, jembatan, dan infrastruktur itu penting. Tapi membangun akhlak, membangun spiritualitas masyarakat melalui majelis-majelis seperti ini, jauh lebih penting. Karena berkah sholawat inilah yang akan menjaga Jombang kita tetap aman, damai, dan sejahtera,” tambahnya.
Senada dengan Bupati, Wakil Bupati M. Salmanudin dalam sambutannya menyoroti peran santri dan generasi muda. “Lihatlah, malam ini Alun-Alun kita dipenuhi oleh anak-anak muda, para santri, para pecinta sholawat. Inilah wajah Jombang yang sesungguhnya. Generasi muda yang cinta sholawat adalah jaminan masa depan Jombang yang gemilang. Ini adalah bukti nyata dari tema Hari Santri, pengabdian santri untuk negeri,” kata Salmanudin.
Kehadiran jajaran syuriyah dan tanfidziyah PCNU Jombang semakin mengukuhkan bobot acara ini. Rois Syuriyah PCNU Jombang, KH. Achmad Hasan, dan Ketua Tanfidziah PCNU Jombang, KH. Fahmi Amrullah (Gus Fahmi), secara bergantian memberikan tausiyah singkat. Keduanya menekankan pentingnya menjaga tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah An-Nahdliyah (Aswaja) di tengah gempuran zaman. “Jombang adalah benteng Aswaja. Dan sholawat adalah salah satu senjata utama kita untuk membentengi akidah umat. Majelis malam ini adalah buktinya,” tegas Gus Fahmi.
Puncak Mauidhoh Hasanah: Lautan Ilmu dari Ploso
Malam semakin larut, namun antusiasme jamaah tidak sedikit pun surut. Justru, mereka semakin khusyuk menantikan puncak acara, yaitu mauidhoh hasanah (nasihat baik) yang akan disampaikan oleh sosok ulama muda kharismatik yang menjadi magnet utama malam itu: KH. Abdurrahman Al-Kautsar, atau yang akrab disapa Gus Kautsar, dari Pondok Pesantren Al Falah, Ploso, Kediri.
Saat nama beliau dipanggil, gemuruh sholawat seketika membahana. Gus Kautsar, dengan penampilan teduhnya, naik ke atas panggung dan menyapa lautan manusia di hadapannya. Beliau memulai tausiyah-nya dengan memanjatkan syukur atas nikmat bisa berkumpul dalam majelis yang penuh berkah.
Dalam ceramahnya, Gus Kautsar mengupas tuntas tentang keajaiban dan fadhilah sholawat. “Jangan pernah remehkan sholawat. Satu kali sholawat kita kepada Nabi, sepuluh kali Allah balas dengan rahmat-Nya. Masalah hidupmu rumit? Sholawatkan saja. Rezekimu seret? Sholawatkan saja. Hati tidak tenang? Sholawatkan saja. Karena sholawat adalah kunci pembuka segala pintu kebaikan, dunia dan akhirat,” tutur Gus Kautsar dengan gaya penyampaiannya yang lugas namun mendalam.
Beliau juga mengaitkan peringatan Hari Jadi Jombang dengan tanggung jawab spiritual. “Usia 115 tahun ini adalah anugerah. Cara mensyukurinya adalah dengan menjadikan Jombang sebagai kabupaten yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Dan itu tidak bisa tercapai tanpa sinergi antara pemimpin (Umara) yang adil dan ulama yang lurus. Malam ini, kita melihat sinergi itu hadir di Jombang,” jelas beliau.
Putra dari KH. Nurul Huda Djazuli ini juga berpesan khusus kepada para santri dalam rangka Hari Santri. “Santri itu bukan hanya yang di pondok. Siapapun yang berakhlak santri, yang tawadhu kepada kyai, yang cinta NKRI, dia adalah santri. Pengabdian santri adalah mengabdi tanpa pamrih, mendedikasikan hidupnya untuk kemaslahatan umat dan bangsa, sebagaimana dicontohkan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari,” pesannya.
Tausiyah yang berlangsung hampir satu jam itu ditutup dengan doa bersama. Gus Kautsar memimpin doa, memohon agar Kabupaten Jombang di usia ke-115 tahun ini senantiasa dilimpahi berkah, dijauhkan dari segala bala dan musibah, serta rakyatnya diberi kemakmuran dan kesejahteraan lahir dan batin. Puluhan ribu tangan menengadah ke langit, mengaminkan setiap bait doa dengan penuh kekhusyukan.
Parade Hadroh: Getaran Rebana yang Menyatukan Jiwa
“Jombang Bersholawat” tidak akan lengkap tanpa iringan musik surgawi dari grup-grup hadroh ternama. Malam itu, Alun-Alun Jombang digetarkan oleh kolaborasi lima majelis dan grup hadroh papan atas yang namanya sudah tidak asing lagi di telinga para pecinta sholawat.
Majelis Asy Syafa’at dan Majelis Hubbunnabi, dua majelis besar yang memiliki basis massa ribuan, tampil memukau. Para vokalisnya dengan suara emas melantunkan qasidah dan sholawat, memimpin koor raksasa puluhan ribu jamaah. Lantunan “Ya Nabi Salam ‘Alaika” saat mahalul qiyam membuat seluruh jamaah berdiri, banyak di antara mereka yang tak kuasa menahan air mata haru, merasakan seolah Baginda Nabi hadir di tengah-tengah mereka.
Tidak ketinggalan, performa dari empat grup hadroh kebanggaan Jombang: Hadroh Asy-Syafa’at, Hadroh MHM Sakamojo, Hadroh Bustanul Munsyidin, dan Hadroh Ruhha Jombang. Masing-masing tampil dengan aransemen musik yang khas. Pukulan terbang (rebana) yang bertalu-talu, dipadukan dengan dentuman bass hadroh dan alunan keyboard, menciptakan harmoni yang membangkitkan semangat.
Lagu-lagu seperti “Sholawat Badar”, “Ahmad ya Habibi”, “Deen Assalam”, hingga “Ya Tarim” mengalun silih berganti. Alun-Alun Jombang bermandikan cahaya flash ponsel yang dinyalakan jamaah, berayun ke kanan dan ke kiri mengikuti irama. Bendera-bendera majelis dan bendera NU berukuran raksasa berkibar-kibar di tengah kerumunan, menciptakan pemandangan yang spektakuler.
Sosok KH. Nur Hadi atau Mbah Bolong, yang dikenal sebagai Pengasuh Seribu Rebana, juga turut memeriahkan suasana. Dengan gaya dakwahnya yang unik dan seringkali diselingi humor segar, beliau memimpin beberapa sesi sholawat dengan penuh energi, membuat suasana yang sudah khidmat menjadi semakin cair dan menyenangkan.
Lebih dari Sekedar Perayaan
Acara “Jombang Bersholawat” yang berakhir jauh lewat tengah malam ini membuktikan satu hal: Jombang adalah “Kota Santri” bukan hanya dalam slogan, tapi dalam jiwa dan raganya. Acara ini bukan sekadar perayaan seremonial Hari Jadi atau Hari Santri. Ia adalah sebuah manifestasi spiritualitas kolektif.
Secara sosial, acara ini berhasil menepis sekat-sekat. Tidak ada perbedaan status sosial, afiliasi politik, atau latar belakang. Semua melebur menjadi satu sebagai ummat Muhammad, sebagai warga Jombang yang bersyukur. Di tengah lautan manusia itu, yang ada hanyalah rasa ukhuwah (persaudaraan) yang erat.
Secara ekonomi, acara ini menjadi berkah tersendiri bagi ratusan pedagang kaki lima (PKL) yang berjajar rapi di sekeliling Alun-Alun. Dagangan mereka, mulai dari makanan, minuman, hingga pernak-pernik majelis, laris manis diburu jamaah. Ini adalah bukti bahwa kegiatan spiritual dapat berjalan beriringan dengan pergerakan ekonomi kerakyatan.
Secara spiritual, “Jombang Bersholawat” adalah oase di tengah panasnya kehidupan dunia. Ia menjadi momen recharge (isi ulang) energi batin bagi puluhan ribu warga. Mereka pulang tidak dengan tangan hampa, tapi membawa oleh-oleh berupa ketenangan hati, semangat baru, dan harapan akan limpahan berkah dari wasilah sholawat yang mereka lantunkan bersama.
Malam itu, 22 Oktober 2025, akan tercatat dalam sejarah Jombang sebagai malam di mana doa dan puji-pujian menggema tanpa jeda, menyatukan hati para pemimpin dan rakyatnya. Saat puluhan ribu jamaah mulai membubarkan diri dengan tertib, yang tersisa di Alun-Alun Jombang bukan hanya sampah yang harus dibersihkan, tetapi jejak-jejak barokah yang diyakini akan terus mengawal langkah Kabupaten Jombang menyongsong usianya yang ke-116 dan seterusnya.
Jombang telah membuktikan, di usianya yang ke-115, cara terbaik merayakan hari jadi adalah dengan bersyukur dan bersholawat. Selamat Hari Jadi Kabupaten Jombang, Selamat Hari Santri Nasional. Semoga berkah sholawat senantiasa menaungi tanah Jombang yang suci ini.