Kontroversi Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Antara Pembaruan dan Kekhawatiran

Pemerintah Indonesia berencana menerbitkan “buku babon” atau buku induk sejarah nasional pada Agustus 2025 sebagai “kado” peringatan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut buku ini sebagai “revisi penambahan di buku sejarah” yang akan menjadi acuan resmi untuk pendidikan sejarah di sekolah-sekolah. Namun, inisiatif ini menuai polemik di kalangan sejarawan dan akademisi. Pendekatan “Indonesia-sentris” yang diusung dalam proyek ini dituding berpotensi menciptakan delusi, membahayakan pergaulan internasional, dan rentan dimanfaatkan oleh kelompok yang menyebarkan hoax sejarah. Kontroversi semakin memanas dengan pengunduran diri arkeolog terkemuka Truman Simanjuntak, yang menolak penggantian istilah “prasejarah” menjadi “sejarah awal.” Artikel ini akan mengulas latar belakang, poin-poin kontroversi, serta implikasinya secara mendalam.

Latar Belakang: Rencana “Buku Babon” dan Tujuannya

Pada akhir 2024, Kementerian Kebudayaan mengumumkan rencana revisi sejarah nasional melalui penerbitan “buku babon” yang dijadwalkan rilis pada 17 Agustus 2025, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan ke-80. Menurut Fadli Zon, buku ini bertujuan memperbarui narasi sejarah Indonesia dengan memasukkan temuan terbaru dan perspektif yang lebih relevan dengan identitas nasional. Salah satu contoh yang disebutkan adalah penelitian di Gua Leang-Leang, Maros, Sulawesi Selatan, yang mengungkap bahwa situs tersebut berusia 40.000–52.000 tahun, jauh lebih tua dari perkiraan sebelumnya yang hanya 5.000 tahun. Buku ini juga akan menjadi referensi utama bagi kurikulum sejarah di sekolah-sekolah, menjadikannya “sejarah resmi” Indonesia.

Meski mendapat dukungan dari beberapa kalangan yang menganggap revisi ini penting untuk memperkuat identitas bangsa, rencana ini langsung memicu kritik. Sejarawan dan akademisi mempertanyakan pendekatan yang digunakan, khususnya konsep “Indonesia-sentris,” serta potensi politisasi sejarah oleh pemerintah. Polemik ini mencerminkan tantangan dalam menyeimbangkan pembaruan sejarah dengan integritas ilmiah.

“Indonesia-Sentris”: Nasionalisme atau Bias Berbahaya?

Konsep “Indonesia-sentris” menjadi inti dari kontroversi ini. Pendekatan ini menempatkan Indonesia sebagai pusat narasi sejarah, dengan fokus pada peran dan kontribusi bangsa dalam konteks lokal maupun global. Pemerintah berargumen bahwa selama ini sejarah Indonesia terlalu dipengaruhi oleh perspektif kolonial yang merendahkan peran masyarakat lokal. Revisi ini, kata Fadli Zon, akan “meluruskan” narasi tersebut dan membangun kebanggaan nasional.

Namun, pendekatan ini menuai kritik keras. Sejarawan mengkhawatirkan bahwa “Indonesia-sentris” dapat mengarah pada bias nasionalistik yang berlebihan, bahkan delusi, jika tidak didasarkan pada bukti ilmiah yang kuat. Seorang sejarawan, Adrian Perkasa, menyebutkan bahwa fokus berlebihan pada perspektif Indonesia berisiko mengabaikan fakta sejarah yang diterima secara internasional, seperti durasi penjajahan atau dinamika regional. Hal ini bisa merusak kredibilitas Indonesia di mata dunia dan memperburuk pergaulan internasional. Selain itu, jika narasi ini hanya melibatkan sejarawan yang sejalan dengan pemerintah, representasi sejarah daerah atau kelompok marginal seperti perempuan dan minoritas bisa terabaikan.

Di sisi lain, pendukung “Indonesia-sentris” berpendapat bahwa pendekatan ini penting untuk mengoreksi distorsi sejarah akibat penjajahan. Mereka menilai revisi ini sebagai langkah menuju dekolonisasi pengetahuan. Namun, tanpa keseimbangan dan transparansi, pendekatan ini tetap rentan terhadap tuduhan politisasi.

Polemik Akademik: Pengunduran Diri Truman Simanjuntak

Kontroversi mencapai puncaknya ketika arkeolog senior Truman Simanjuntak mengundurkan diri dari tim penyusun buku pada Januari 2025. Pengunduran dirinya dipicu oleh keputusan pemerintah untuk mengganti istilah “prasejarah” menjadi “sejarah awal.” Menurut Truman, perubahan ini bukan sekadar masalah terminologi, tetapi ancaman serius terhadap ilmu prasejarah. Dalam pernyataannya, ia menyebut keputusan ini “menghapus istilah dan ilmu prasejarah dari nomenklatur keilmuan,” yang dapat melemahkan disiplin arkeologi sebagai studi ilmiah tentang periode sebelum tulisan.

Istilah “prasejarah” secara akademik merujuk pada masa sebelum ditemukannya bukti tulisan, yang menjadi fokus utama arkeologi. Menggantinya dengan “sejarah awal” dianggap Truman sebagai anakronisme yang membingungkan dan merusak kejelasan ilmiah. Ia menegaskan bahwa perubahan ini tidak mencerminkan konsensus akademik dan berpotensi memengaruhi cara generasi muda memahami asal-usul bangsa. Pengunduran dirinya menjadi simbol perlawanan terhadap intervensi pemerintah dalam ranah akademik, memicu dukungan dari banyak sejarawan dan arkeolog lainnya.

Temuan Baru: Gua Leang-Leang dan Implikasinya

Salah satu alasan revisi sejarah adalah temuan arkeologis terbaru, seperti penelitian di Gua Leang-Leang, Maros. Fadli Zon mengutip penelitian ini dalam wawancara dengan Antara, menyatakan bahwa situs tersebut ternyata berusia 40.000–52.000 tahun, bukan 5.000 tahun seperti yang diperkirakan sebelumnya. Penemuan ini menunjukkan bahwa peradaban di Nusantara memiliki sejarah yang jauh lebih panjang dan kaya, menantang asumsi lama tentang asal-usul manusia di wilayah ini.

Temuan ini memang signifikan. Gua Leang-Leang, yang terkenal dengan seni cadasnya, dapat memperkuat posisi Indonesia dalam studi prasejarah global. Namun, cara temuan ini diintegrasikan ke dalam narasi “Indonesia-sentris” menjadi sorotan. Jika disajikan dengan konteks ilmiah yang tepat, penemuan ini bisa memperkaya pemahaman sejarah. Sebaliknya, jika hanya digunakan untuk mendukung agenda nasionalistik, kredibilitasnya bisa dipertanyakan.

Bahaya Penulisan Ulang: Hoax dan Manipulasi

Salah satu kekhawatiran terbesar adalah potensi penyalahgunaan revisi sejarah oleh kelompok tertentu. Kritikus memperingatkan bahwa pendekatan “Indonesia-sentris” yang tidak seimbang dapat menjadi lahan subur bagi hoax sejarah. Di era digital, narasi sejarah yang dimanipulasi dapat dengan mudah disebarkan untuk mendukung kepentingan politik atau ideologis tertentu. Misalnya, klaim pseudohistoris tentang “kehebatan” masa lalu yang tidak didukung bukti bisa memperkuat polarisasi masyarakat.

Selain itu, ada risiko bahwa revisi ini digunakan untuk “mencuci” sejarah kelam, seperti pelanggaran HAM di masa lalu. Kelompok seperti Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menolak proyek ini karena khawatir narasi tunggal akan meminggirkan suara korban dan kelompok minoritas. Jika hanya sejarawan yang dekat dengan pemerintah yang dilibatkan, proses ini bisa menjadi alat legitimasi kekuasaan, bukan upaya ilmiah yang objektif.

Dampak pada Pergaulan Internasional

Pendekatan “Indonesia-sentris” yang berlebihan juga berpotensi merusak hubungan internasional. Sejarah yang terlalu nasionalistik dapat dianggap sebagai upaya memutarbalikkan fakta yang diterima global, seperti peran kolonial atau konflik regional. Misalnya, revisi yang mengecilkan durasi penjajahan atau mengabaikan konteks internasional bisa memicu ketegangan diplomatik. Kredibilitas Indonesia sebagai negara yang menghormati fakta sejarah akan dipertaruhkan, terutama di mata komunitas akademik dan negara tetangga.

Sejarah yang kredibel adalah aset diplomasi. Oleh karena itu, revisi harus dilakukan dengan hati-hati, melibatkan bukti ilmiah yang kuat dan perspektif yang beragam, agar Indonesia tidak kehilangan kepercayaan dunia.

Kesimpulan: Menyeimbangkan Pembaruan dan Integritas

Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia menawarkan peluang untuk memperbarui pemahaman kita tentang masa lalu, terutama dengan temuan seperti Gua Leang-Leang. Namun, kontroversi seputar “Indonesia-sentris,” pengunduran diri Truman Simanjuntak, dan risiko hoax menunjukkan bahwa pendekatan ini harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Sejarah bukan alat politik atau propaganda, melainkan cerminan kebenaran yang harus didasarkan pada bukti dan keterbukaan.

Pemerintah perlu melibatkan sejarawan, arkeolog, dan akademisi dari berbagai latar belakang untuk memastikan narasi yang inklusif dan akurat. Hanya dengan cara ini, “buku babon” dapat menjadi kado kemerdekaan yang benar-benar berharga—bukan sekadar simbol nasionalisme, tetapi warisan intelektual yang dihormati di dalam dan luar negeri.

Tinggalkan Balasan