Mpu Sindok, atau lebih dikenal dalam prasasti sebagai Dyah Sindok, adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Nusantara, khususnya pada masa Kerajaan Medang. Ia adalah raja pertama dari periode Jawa Timur Kerajaan Medang, yang memerintah sekitar tahun 929–947 Masehi. Mpu Sindok juga dikenal sebagai pendiri Wangsa Isyana, sebuah dinasti yang memainkan peran penting dalam perkembangan sejarah Jawa. Gelar resminya yang panjang, Sri Maharaja Rake Hino Dyah Sindok Sri Isanawikrama Dharmotunggadewawijaya, mencerminkan keagungan dan otoritasnya sebagai penguasa. Namanya kerap disebut dalam berbagai prasasti yang menjadi sumber utama informasi tentang masa pemerintahannya.
Mpu Sindok terkenal karena dua kontribusi besar dalam sejarah: pertama, ia memindahkan pusat kekuasaan Kerajaan Medang dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, sebuah peristiwa yang menandai perubahan signifikan dalam dinamika politik dan budaya di Nusantara; kedua, ia meninggalkan banyak prasasti yang memberikan wawasan berharga tentang kehidupan sosial, ekonomi, dan keagamaan pada masanya. Artikel ini akan membahas secara mendalam siapa Mpu Sindok, kapan ia dilahirkan dan meninggal, di mana makamnya berada, serta karya-karya yang dihasilkan atau dikaitkan dengan masa pemerintahannya.
Siapakah Mpu Sindok?
Mpu Sindok adalah seorang raja dari Kerajaan Medang, sebuah kerajaan Hindu-Buddha yang berkuasa di Jawa pada abad ke-9 hingga ke-11 Masehi. Sebelum menjadi raja, Mpu Sindok menjabat sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahan kerajaan. Ia tercatat sebagai Rakai Mahamantri Halu pada masa pemerintahan Dyah Tulodhong (919–924 M) dan kemudian dipromosikan menjadi Rakai Mahamantri Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa (924–929 M). Jabatan-jabatan ini menunjukkan bahwa ia berasal dari kalangan elit dan memiliki hubungan dekat dengan keluarga kerajaan.
Pada tahun 929 M, Mpu Sindok naik takhta dan menjadi raja pertama dari periode Jawa Timur Kerajaan Medang. Salah satu keputusan terpentingnya adalah memindahkan ibu kota kerajaan dari bhumi Mataram di Jawa Tengah ke wilayah Watugaluh di Jawa Timur, yang kini diperkirakan berada di Kabupaten Jombang. Perpindahan ini diduga dipicu oleh faktor-faktor seperti bencana alam (letusan Gunung Merapi) atau ancaman militer dari Kerajaan Sriwijaya, meskipun para sejarawan masih memperdebatkan penyebab pastinya.
Mpu Sindok juga mendirikan Wangsa Isyana, sebuah dinasti baru yang menggantikan pengaruh Wangsa Sanjaya di Jawa Tengah. Ada teori yang menyebutkan bahwa ia memiliki garis keturunan dari Wangsa Sanjaya, kemungkinan sebagai cucu dari Mpu Daksa, seorang tokoh penting pada masa sebelumnya. Teori lain menyatakan bahwa ia mengukuhkan kekuasaannya melalui pernikahan dengan Dyah Kebi, yang diduga adalah putri Dyah Wawa, raja sebelumnya. Apapun asal-usulnya, Mpu Sindok berhasil membawa stabilitas dan kemakmuran bagi kerajaannya selama masa pemerintahannya.
Selama 18 tahun memerintah (929–947 M), Mpu Sindok dikenal sebagai raja yang bijaksana, adil, dan toleran terhadap keberagaman agama. Ia adalah penganut Hindu aliran Siwa, tetapi juga memberikan dukungan kepada agama Buddha, sebagaimana tercermin dalam beberapa kebijakan dan karya yang dihasilkan pada masanya.
Kapan Mpu Sindok Dilahirkan dan Meninggal?
Sayangnya, informasi pasti mengenai tanggal kelahiran Mpu Sindok tidak tercatat dalam sumber sejarah yang ada. Tidak ada prasasti atau dokumen yang secara eksplisit menyebutkan tahun kelahirannya. Namun, berdasarkan konteks sejarah dan kariernya sebagai pejabat tinggi sebelum menjadi raja, ia diperkirakan lahir pada awal abad ke-10 Masehi, mungkin sekitar tahun 890-an atau 900-an Masehi. Usia ini masuk akal mengingat ia sudah memegang jabatan penting pada masa pemerintahan Dyah Tulodhong (919–924 M) dan kemudian menjadi raja pada tahun 929 M.
Mengenai kematiannya, sumber sejarah lebih jelas. Mpu Sindok meninggal dunia pada tahun 947 Masehi setelah memerintah selama kurang lebih 18 tahun. Setelah wafat, ia digantikan oleh putrinya, Sri Isana Tunggawijaya, yang memerintah bersama suaminya, Sri Lokapala. Ini menunjukkan bahwa Mpu Sindok memiliki garis keturunan yang kuat dan mampu melanjutkan kekuasaan kerajaan.
Di Mana Makam Mpu Sindok?
Lokasi pasti makam Mpu Sindok hingga kini masih menjadi misteri. Dalam tradisi Jawa kuno, raja-raja yang meninggal sering kali “dicandikan,” yaitu dimakamkan dalam sebuah candi atau kompleks pemakaman yang didedikasikan untuk mengenang mereka. Menurut beberapa sumber, Mpu Sindok dicandikan di Isanabajra atau Isanabhawana, yang kemungkinan besar adalah nama sebuah candi atau tempat suci yang dibangun untuk menghormatinya. Namun, tidak ada bukti arkeologi atau catatan sejarah yang menyebutkan lokasi pasti dari Isanabajra ini.
Berdasarkan konteks sejarah, makam Mpu Sindok diperkirakan berada di wilayah Jawa Timur, dekat dengan pusat pemerintahan kerajaan di Watugaluh (sekarang Kabupaten Jombang). Wilayah ini menjadi pusat kekuasaan pada masa pemerintahannya, sehingga logis jika ia dimakamkan di dekat sana. Meskipun demikian, tanpa temuan arkeologi lebih lanjut, lokasi makamnya tetap menjadi spekulasi.
Apakah Karya-Karya Mpu Sindok?
Mpu Sindok tidak secara langsung menulis karya-karya tertentu, tetapi masa pemerintahannya dikaitkan dengan beberapa karya sastra penting dan banyak prasasti yang menjadi warisan berharga. Berikut adalah penjelasan mengenai karya-karya yang terkait dengan periode kekuasaannya:
1. Karya Sastra
Dua karya sastra terkenal yang dikaitkan dengan masa pemerintahan Mpu Sindok adalah Kakawin Ramayana dan Sanghyang Kamahayanikan. Meskipun tidak ada bukti bahwa Mpu Sindok menulisnya sendiri, karya-karya ini berkembang atau dipopulerkan pada masa pemerintahannya.
- Kakawin Ramayana
Kakawin Ramayana adalah adaptasi dalam bahasa Jawa Kuno dari epik India Ramayana. Karya ini ditulis dalam bentuk kakawin (sajak panjang) dan mengisahkan perjalanan Rama dan Laksamana untuk menyelamatkan Sita dari Rahwana. Meskipun kemungkinan besar mulai dikembangkan pada periode Jawa Tengah Kerajaan Medang, beberapa ahli berpendapat bahwa karya ini diselesaikan atau menjadi populer pada masa Mpu Sindok. Keunikan Kakawin Ramayana terletak pada penambahan elemen lokal Jawa, seperti tokoh punakawan, yang tidak ada dalam versi asli India. - Sanghyang Kamahayanikan
Kitab ini adalah sebuah karya prosa dalam bahasa Jawa Kuno yang berisi ajaran agama Buddha aliran Tantrayana (Vajrayana). Ditulis oleh Mpu Shri Sambhara Surya Warana pada masa pemerintahan Mpu Sindok, Sanghyang Kamahayanikan mencerminkan perkembangan agama Buddha di Jawa Timur. Kitab ini tidak hanya berisi ajaran spiritual, tetapi juga deskripsi tentang arsitektur dan ikonografi keagamaan. Keberadaan karya ini menunjukkan toleransi Mpu Sindok terhadap agama Buddha, meskipun ia adalah seorang Hindu.
2. Prasasti-Prasasti
Mpu Sindok meninggalkan banyak prasasti yang menjadi sumber utama informasi tentang masa pemerintahannya. Prasasti-prasasti ini biasanya berisi keputusan administratif, seperti penetapan sima (tanah bebas pajak) untuk keperluan keagamaan atau penghargaan kepada rakyat. Berikut adalah beberapa prasasti penting dari masa pemerintahannya:
- Prasasti Turryan (929 M)
Berisi permohonan untuk menjadikan tanah di Desa Turyan sebagai tempat bangunan suci. - Prasasti Linggasutan (929 M)
Menetapkan Desa Linggasutan sebagai sima swatantra untuk mendukung pemujaan di Walandit. - Prasasti Cunggrang (929 M)
Menetapkan Desa Cunggrang sebagai sima swatantra untuk merawat makam Rakryan Bawang Dyah Srawana, yang diduga ayah dari permaisuri Mpu Sindok. - Prasasti Waharu (931 M)
Memberikan anugerah kepada penduduk Desa Waharu atas kesetiaan mereka dalam melawan musuh. - Prasasti Anjukladang (937 M)
Mencatat kemenangan melawan serangan Sriwijaya dan pembangunan jayastambha (tugu kemenangan) di Desa Anjukladang.
Prasasti-prasasti ini tidak hanya menunjukkan kebijakan administratif Mpu Sindok, tetapi juga mencerminkan stabilitas dan kemakmuran kerajaan pada masanya.
Warisan Mpu Sindok
Warisan Mpu Sindok sangat besar dalam sejarah Nusantara. Perpindahan pusat kekuasaan ke Jawa Timur membuka babak baru dalam perkembangan budaya dan politik di Jawa, yang kemudian memengaruhi kerajaan-kerajaan seperti Kediri dan Singhasari. Pendirian Wangsa Isyana juga menjadi tonggak penting dalam sejarah dinasti Jawa.
Selain itu, prasasti-prasasti dan karya sastra dari masa pemerintahannya menjadi bukti kemajuan intelektual dan keagamaan pada periode tersebut. Sikap toleransinya terhadap agama Buddha, sebagaimana terlihat dalam dukungannya terhadap Sanghyang Kamahayanikan, menunjukkan visi inklusif yang jarang ditemui pada masa itu.
Mpu Sindok adalah sosok yang tidak hanya membentuk sejarah politik, tetapi juga meninggalkan jejak budaya yang abadi. Meskipun informasi tentang kehidupan pribadinya terbatas, kontribusinya terhadap perkembangan Nusantara tidak dapat disangkal. Hingga kini, ia dikenang sebagai salah satu raja besar yang membawa perubahan monumental bagi tanah Jawa.