Majalah Suara Pendidikan Jombang Edisi Januari 2019 membahas tentang pendidikan diniah yang akan diterapkan untuk siswa beragama Islam di sejumlah Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri se-Kabupaten Jombang. Hal ini sebagai realisasi visi bupati dan wakil Bupati Jombang terpilih untuk menjadikan Kota Jombang menjadi lebih berkarakter dan berdaya saing. Misi Bupati Jombang dalam kegiatan ini adalah mengoptimalkan Pendidikan Diniyah di daerah. Pendidikan madrasah diniyah (madin) ini bertujuan mempersiapkan peserta didik supaya dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama Islam.
Masih menurut artikel Majalah Suara Pendidikan, sebelumnya telah diberlakukan mata pelajaran muatan lokal (mulok) keagamaan Islam yang menekankan peserta didik untuk dapat mempraktikkan berwudhu, shalat, dan hafal surat-surat pendek dalam Juz Amma. Demikian juga untuk agama lain diharapkan peserta didik lebih mendalami ajaran agama dan kepercayaannya agar lebih sempurna sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan. Muaranya pun sama yaitu menggembleng peserta didik untuk memiliki karakter yang unggul. Isu program madin sekolah sudah berhembus sejak akhir 2018 di kalangan guru agama.
Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang memutuskan untuk menyelipkan pendidikan Diniyah di sekolah umum jenjang SD dan SMP. Kegiatan ini dilaksanakan melalui tambahan pembelajaran Diniyah. Peserta didik akan mendapatkan materi seperti halnya pelajaran diniyah di pesantren. Materi yang diajarkan yaitu mengenai pelajaran tauhid, aqidah akhlak, dan fiqih. Hanya saja praktek pembelajaran diniyah sekolah dilakukan penyesuaian materi dan cara pembelajarannya.
Pelaksanaan Diniyah di sekolah reguler baik SD Negeri maupun SMP Negeri yang menjalankan boleh jadi menimbulkan pesimistis di kalangan pendidik bahwa mulok keagamaan masih dianggap tidak mumpuni menjawab harapan pendidikan karakter relijius. Sementara sisi lainnya muncul anggapan seakan sekolah mencampuradukkan berbagai bahan pengetahuan dalam satu wadah. Kalau sebelumnya Diniyah sudah dilaksanakan di wilayah pondok pesantren kemudian dimasukkan ke pendidikan reguler maka peluang terjadinya kekacauan pendidikan semakin besar.
Pemerintah juga perlu memperhatikan nasib pendidikan non formal keagamaan, misalnya TPQ dan Madrasah Diniyah yang sudah eksis di kampung-kampung. Bukankah dulu guru-guru mulok keagamaan berasal dari TPQ lantas mengapa saat ini sekolah seolah akan mematikan jam belajar di TPQ dengan fullday school. Aturan yang telah disosialisasikan juga menyatakan calon guru madin tidak boleh merangkap guru PAI dan guru mulok keagamaan.
Dalam kegiatan belajar sehari-hari, peserta didik lebih dulu sudah mendapatkan ilmu pengetahuan umum yaitu mata pelajaran muatan lokal keagamaan, ekstrakurikuler wajib, dan serangkaian les tambahan yang akan menyebabkan kelebihan kapasitas belajar. Bukan cahaya terang benderang yang didapat, malah bisa semakin suram akibat tekanan yang berlebihan. Perlu disadari bersama bahwa dunia peserta didik anak-anak adalah dunia bermain. Maka jangan sampai guru merenggut masa bermain anak sesuai dengan usia dan masa tumbuhnya. Penulis adalah pengajar mata pelajaran muatan lokal keagamaan Islam dan juga guru Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ). Dengan beban belajar saat ini saja para peserta didik sering mengeluh kurang waktu bermain. Bagaimana jika fullday scholl benar dilaksanakan di desa-desa. Apakah sekolah sudah siap dengan sarana dan prasarana penunjang?
Perbedaan Diniyah Sekolah dan Pesantren
Apa yang membedakan program dengan sekolah dengan Diniyah di pesantren?
Pertama, program diniyah di pesantren dilaksanakan pada saat jam pulang sekolah sedangkan Diniyah sekolah dilaksanakan tidak harus pada saat jam terakhir. Diniyah sekolah bisa juga disematkan pada saat jam reguler seperti mata pelajaran pada umumnya.
Kedua, program diniyah dilaksanakan di pesantren menggunakan kitab kuning sebagai panduan sedangkan program Diniyah di sekolah menggunakan modul sebagai buku panduan. Semua materi modul diniyah sekolah berasal dari berbagai literatur, baik kitab kuning maupun sejenisnya.
Ketiga, program diniyah di pesantren terbagi atas tiga jenjang yaitu ula, ulya dan wustho sedangkan program dunia di sekolah dilaksanakan sesuai dengan jenjang kelas pada sekolah reguler dengan penyesuaian tingkat materi yang diajarkan.
Bagaimana cara penilaian program pendidikan Diniyah di sekolah?
Madrasah Diniyah di pesantren penilaiannya berasal dari berbagai aspek seperti ujian praktik tulis, hafalan dan penguasaan huruf Pegon. Sedangkan program madin sekolah penilaian dilakukan berdasarkan aspek penguasaan materi atau ujian tulis tanpa harus menuntut peserta didik menguasai huruf Pegon.
Masih menurut Majalah Suara Pendidikan Jombang, secara umum materi pendidikan madin di sekolah mempunyai pembahasan yang sama di setiap kelas dan jenjangnya. Hanya saja kedalaman materinya berbeda-beda. Bahan-bahan yang diajarkan dalam pendidikan madin di sekolah menggunakan literatur kitab kuning dan menggunakan model-model pembelajaran seperti di pesantren.
Penerapan pendidikan madin di sekolah dasar masih menggunakan modul seperti halnya muatan lokal keagamaan sebagai panduan. Materi madin bersumber dari berbagai literatur, baik kitab kuning maupun referensi sejenisnya. Apabila program madin langsung diterapkan menggunakan huruf pegon secara penuh kemungkinan besar peserta didik di sekolah dasar akan semakin kesulitan mengikuti. Hal ini dilandasi oleh fakta bahwa peserta didik SD tidak mendapatkan bekal pengetahuan menulis huruf pegon sebelumnya. Boleh jadi ungkapan “SD Rasa Madrasah” akan benar-benar terwujud berkat pelaksanaan program madin di sekolah dasar.
Pada tahun pertama diterapkan pendidikan diniyah penilaian masih berdasarkan hasil penguasaan materi dan belum sampai pada kemampuan penggunaan huruf pegon. Hal ini didasari oleh fakta bahwa tidak semua peserta didik SD mampu menulis menggunakan huruf arab. Peserta didik juga tidak dibekali pendidikan menulis pegon sebelumnya sehingga perlu pelatihan menulis pegon dari dasar. Kemungkinan besar kesempurnaan target tersebut mampu terwujud ketika dua hingga tiga tahun masa penerapan dan pelaksanaan madin.
Hambatan Pelaksanaan Madin
Program madin di SDN dan SMPN tergolong inovasi pendidikan untuk menunjang pendidikan karakter di sekolah. Terobosan ini dapat dilakukan berkelanjutan jika semua lembaga mendukung dan program madin mampu diterima seluruh peserta didik beserta guru sebagai pembimbingnya. Program ini tidak terbatas pada agama Islam saja. Sejumlah peserta didik beragama lain seharusnya mendapatkan perlakuan serupa.
Pada akhirnya wacana pelaksanaan program diniyah sekolah terus bergulir di Kabupaten Jombang. Beberapa guru pendidikan agama selain Islam merasa kesulitan memberikan materi tambahan pada peserta didiknya. Selain mengenai materi, jumlah tenaga pendidik yang kurang dan juga teknis pelaksanaan madin dirasakan sebagai sebuah kendala yang harus dicarikan jalan keluarnya.
Menurut Mustain Syafi’i (2019) implementasi pendidikan diniyah di sekolah memakan biaya tidak sedikit. Setiap sekolah perlu menyediakan ruangan serupa laboratorium agama yang bisa dimanfaatkan bagi guru agama untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran secara nyaman. Sementara itu kekurangan guru madin dapat diusahakan dengan merekrut guru madin dari daerah lain melalui perjanjian kerja. Kebijakan madin di sekolah ini membawa konsekuensi pada peningkatan anggaran belanja Pemerintah. Jika Pemerintah dan lembaga pendidikan pelaksana madin belum siap melaksanakan maka diperlukan langkah inovatif supaya madin di sekolah tidak terlahir prematur.
Hambatan program madin tidak hanya mengatasi sumber daya manusia yang belum mencukupi, pendampingan juga diperuntukkan kepada guru madin. Guru madin perlu mendapatkan supervisi agar materi diniyah yang disampaikan sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan oleh Dinas Pendidikan. Guru madin bukan sekedar memberikan materi saja, melainkan memperhatikan juga dari sisi pembinaan mental dan spiritual yang sesuai dengan teknis pendidikan yang ideal. Guru madin nantinya juga diharapkan dapat menjadi pendukung program bimbingan konseling siswa yang bermasalah dengan motivasi beribadah.
Menurut Handy Widyawan, sejatinya karakter dibangun dari gabungan agama, perilaku dan wawasan. Ketiganya harus berjalan berdampingan serta harus benar-benar sesuai dengan keyakinan peserta didik. Program madin di sekolah seharusnya bisa mendukung praktek pendidikan keagamaan yang sudah berjalan selama tiga tahun terakhir. Jangan sampai tiga orang guru agama melakukan kegiatan pendidikan yang tumpang-tindih dan tidak terkoordinasikan dengan baik. Jika semuanya berjalan baik maka pendidikan bisa meminimalisir peserta didik yang berperilaku menyimpang. Semoga sinergi antar pihak bisa menghasilkan kegiatan belajar madin di sekolah yang bermanfaat untuk peserta didik.
Tinggalkan Balasan ke Budiman Batalkan balasan