Lautan doa dipanjatkan pada dinding-dinding arsy. Berharap segala dosa terampuni dan kembali terlahir suci. Kemuliaan Ramadhan kembali terasa di dalam dada. Lantunan ayat-ayat suci bergema di sepanjang siang dan malam hari. Inilah momen Ramadhan paling mengharukan dalam hidup saya. Saya Memiliki waktu lebih banyak untuk keluarga, para santri dan warga sekitar rumah. Saya merasakan hadirnya kembali tatap muka yang hilang dalam kurun tiga tahun lalu.
Selalu ada alasan untuk bisa menggapai rahman dan rahim-Nya. Itulah secuplik percakapan saya dengan salah satu mahasiswa KKN STIT UW selepas sholat tarawih kemarin. Mereka datang ke desa-desa untuk belajar sekaligus membagikan ilmu. Pertemuan dua orang pengajar TPQ selalu menarik untuk dilanjutkan dalam pembahasan yang bermanfaat. Mereka yang mengabdikan diri tanpa pamrih untuk mengajarkan ayat-ayat-Nya selalu merasa beruntung. Itu hadir secara otomatis meski tanpa diminta.
Himpitan ekonomi menjadi alasan mengapa banyak pengajar Quran berhenti di tengah jalan. Ada istilah “biren”, bar rabi leren. Artinya, kalau sudah menikah maka berhentilah proses perjuangan di tengah masyarakat. Seorang pria akan dituntut memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Sedangkan seorang wanita berkewajiban melayani suami dan membesarkan anak-anaknya. Beragam permasalahan rumah tangga menuntut waktu dan tenaga yang tidak sedikit, bahkan dana yang melimpah.
Saya pernah mengalami hal itu. Rumitnya kehidupan hadir karena ulah manusia sendiri. Pada saat uang tidak mampu membeli kebahagiaan, maka saya kembali kepada titik awal dimana saya melangkah. Ya, ketika hati ini tersesat dan tak tahu jalan pulang maka tidak ada jalan lain selain merunut jalan awal kita melangkah. Bukankah Allah menciptakan manusia semata-mata untuk beribadah? Semoga terinspirasi.
Tinggalkan Balasan