Anak Yatim Tidak Merdeka di Hari Merdeka

Ini adalah cerita fiksi tentang seorang anak yatim yang tidak merdeka di hari merdeka. Namanya adalah Rani, seorang gadis berusia 12 tahun yang tinggal di panti asuhan. Dia bermimpi untuk bisa merayakan hari kemerdekaan Indonesia bersama keluarga dan teman-teman, tetapi dia tidak punya siapa-siapa. Dia selalu merasa kesepian dan terasingkan di panti asuhan, karena dia sering di-bully oleh anak-anak lain yang lebih besar dan lebih kuat. Dia juga tidak mendapat perhatian dari pengasuh panti, yang sibuk dengan urusan mereka sendiri.

Pada suatu hari, Rani mendengar bahwa ada sebuah acara khusus untuk anak-anak yatim di sebuah taman hiburan. Dia sangat bersemangat dan ingin sekali ikut, tetapi dia tidak punya uang untuk membeli tiket. Dia mencoba untuk mengumpulkan uang dengan menjual koran bekas dan botol plastik, tetapi hasilnya sangat sedikit. Dia juga tidak berani meminjam uang dari pengasuh panti, karena takut dimarahi atau dipukuli.

Akhirnya, dia memutuskan untuk mencuri uang dari dompet salah satu pengasuh panti, yang selalu meninggalkannya di meja kantornya. Dia berpikir bahwa pengasuh itu tidak akan tahu, karena dia jarang menghitung uangnya. Dia menunggu saat yang tepat, ketika pengasuh itu sedang keluar kantor untuk makan siang. Dia masuk ke kantor dengan hati-hati, mengambil dompet itu, dan mengambil selembar uang 50 ribu rupiah. Dia merasa bersalah, tetapi dia juga merasa senang karena akhirnya bisa ikut acara khusus itu.

Dia segera pergi ke taman hiburan dengan naik angkot. Dia membeli tiket masuk dengan uang curiannya, dan masuk ke dalam taman hiburan dengan wajah berseri-seri. Dia merasa seperti mimpi menjadi kenyataan. Dia bisa menikmati berbagai wahana permainan, seperti komidi putar, bianglala, roller coaster, dan lain-lain. Dia juga bisa makan es krim dan popcorn sepuasnya. Dia bahkan bertemu dengan beberapa anak yatim lain yang ikut acara khusus itu, dan bermain bersama mereka.

Dia merasa sangat bahagia dan merdeka di hari merdeka. Dia lupa akan semua masalah dan kesedihannya di panti asuhan. Dia merasa seperti anak normal lainnya, yang punya hak untuk bersenang-senang dan bahagia.

Tetapi, kebahagiaannya tidak berlangsung lama. Ketika dia hendak pulang, dia ditangkap oleh satpam taman hiburan, yang menuduhnya mencuri uang dari dompet seorang pengunjung. Ternyata, dompet yang dia ambil bukan milik pengasuh panti, tetapi milik seorang ibu yang sedang mengantar anaknya ke taman hiburan. Ibu itu melaporkan kehilangan dompetnya ke satpam, dan memberikan ciri-ciri dompetnya. Satpam itu kemudian menemukan dompet itu di tas Rani, beserta uang 50 ribu rupiah yang sudah terpakai sebagian.

Rani tidak bisa membela diri, karena dia ketakutan dan bingung. Dia mengaku bahwa dia mencuri dompet itu dari kantor panti asuhan, tetapi satpam tidak percaya padanya. Satpam itu mengira bahwa Rani adalah seorang pencuri profesional yang sengaja menyamar sebagai anak yatim untuk masuk ke acara khusus itu. Satpam itu kemudian membawa Rani ke kantor polisi terdekat, untuk diproses lebih lanjut.

Di kantor polisi, Rani mendapat perlakuan kasar dari polisi-polisi yang bertugas. Mereka memaki-maki dan memukuli Rani tanpa ampun, menuduhnya sebagai pencuri ulung yang sudah banyak melakukan kejahatan serupa. Mereka juga tidak percaya bahwa Rani adalah anak yatim dari panti asuhan, karena mereka tidak menemukan bukti apapun yang mendukung klaimnya. Mereka bahkan tidak mau menghubungi panti asuhan untuk memverifikasi identitas Rani.

Rani merasa sangat takut dan sakit. Dia menyesali perbuatannya, dan berharap bisa kembali ke panti asuhan. Dia merasa bahwa dia lebih baik mati daripada hidup seperti ini. Dia merasa bahwa dia tidak punya harapan dan masa depan. Dia merasa bahwa dia tidak merdeka di hari merdeka.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *