Jawa Timur, tanah yang kaya akan sejarah kerajaan besar Majapahit, bukan hanya gudang artefak purbakala, tetapi juga lumbung bagi tradisi seni pedalangan yang dinamis dan inovatif. Dalam rangka menyambut Hari Wayang Nasional tanggal 7 November dan Hari Wayang Dunia, Jawa Timur dengan bangga menyelenggarakan Pekan Wayang Jawa Timur.
Puncak dari perayaan ini adalah Festival Dalang Muda Jawa Timur 2025, sebuah kawah candradimuka bagi para pewaris tradisi. Acara dua hari yang akan berlangsung pada Senin dan Selasa, 17-18 November 2025, menjadi penanda penting bahwa seni Wayang di Jawa Timur tidak pernah mati, melainkan terus bertumbuh subur melalui tangan-tangan kreatif generasi milenial dan Gen Z.
Bertempat di jantung aktivitas seni provinsi, Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya, festival ini akan mempertemukan 30 Dalang Muda berbakat. Sejak pukul 08.00 WIB hingga selesai, panggung utama Taman Budaya akan disulap menjadi kelir (layar) raksasa, tempat bayangan-bayangan wayang menari, berdialog, dan menyampaikan filosofi kehidupan yang abadi.
Jawa Timur: Episentrum Wayang yang Dinamis
Peringatan Hari Wayang Nasional (7 November) dan Hari Wayang Dunia merupakan momentum sakral bagi Indonesia, setelah Wayang diakui UNESCO pada 7 November 2003 sebagai A Masterpiece of The Oral and Intangible Heritage of Humanity. Jawa Timur merayakan pengakuan ini tidak hanya dengan seremoni, tetapi dengan panggung nyata bagi regenerasi.
Jawa Timur memiliki kekhasan dalam seni pedalangan, dikenal sebagai Gaya Jawa Timuran (Jawatimuran atau Malangan/Surabayanan), yang memiliki perbedaan mencolok dengan pakem Jawa Tengah (Surakarta dan Yogyakarta). Gaya Jawatimuran cenderung lebih:
- Lugas dan Keras: Sabetan (gerakan wayang) lebih dinamis, cepat, dan kadang kasar, mencerminkan karakter masyarakatnya yang terbuka dan pekerja keras.
- Irama Cepat: Iringan Gamelan sering menggunakan laras slendro dengan tempo yang lebih cepat dan greget (semangat) yang tinggi.
- Punakawan yang Kritis: Humor (dagelan) yang disajikan pun lebih frontal, kritis, dan kental dengan logat serta isu-isu lokal kontemporer.
Festival Dalang Muda Jawa Timur 2025 adalah manifestasi dari semangat ini. Kehadiran 30 Dalang Muda selama dua hari adalah jaminan keberlanjutan tradisi dan bukti bahwa seni pedalangan tetap menarik bagi anak muda. Ini adalah pertaruhan besar yang dijawab oleh para dalang milenial dengan penuh tanggung jawab dan kreativitas.
Gema Regenerasi: Festival Dalang Muda Jatim 2025
Festival ini tidak sekadar ajang unjuk kebolehan, melainkan sebuah kompetisi sekaligus ruang apresiasi. Selama dua hari penuh, panggung Taman Budaya Jawa Timur menjadi laboratorium budaya. Setiap dalang muda ditantang untuk membuktikan penguasaan teknik pedalangan (sabetan, catur, sindhenan), penguasaan lakon (cerita), dan kemampuan inovasi dalam penyampaian.
Hari Pertama: Senin, 17 November 2025
Hari pertama fokus pada presentasi dasar-dasar pedalangan. Penampilan dalang muda dimulai tepat pukul 08.00 WIB, bergantian setiap 1-2 jam, dengan iringan Karawitan (gamelan) yang juga dimainkan oleh para pengrawit muda.
Inti dari hari pertama adalah menampilkan kekayaan pilihan lakon yang mendalam, mencakup baik Gaya Surakarta yang membutuhkan ketelitian pakem (aturan) dan Gaya Jawatimuran yang menuntut greget dan kelugasan.
Lakon Gaya Surakarta Pilihan
Para Dalang Muda yang memilih gaya ini menunjukkan ketekunan mereka dalam mempelajari sastra (naskah) dan gending (musik) klasik. Beberapa lakon klasik yang wajib dilakoni di hari pertama antara lain:
- “Lahire Bungkus”: Kisah kelahiran Bima/Werkudara yang terbungkus. Lakon ini syarat akan filosofi penderitaan, kesabaran, dan proses panjang menuju jati diri.
- “Babad Wanamarta”: Pembukaan hutan Wanamarta oleh Pandawa. Melambangkan perjuangan merintis peradaban dari nol, membangun istana dari keterpurukan.
- “Abimanyu Lahir”: Kelahiran tokoh kesatria simbol keberanian dan kemuliaan.
Lakon-lakon ini, meski klasik, dibawakan dengan interpretasi yang fresh. Dalang muda dituntut untuk tidak sekadar meniru, tetapi menyuntikkan semangat dan relevansi masa kini, misalnya melalui selingan humor yang kontekstual.
Hari Kedua: Selasa, 18 November 2025
Hari kedua menampilkan dalang-dalang dengan pilihan lakon yang lebih berorientasi pada konflik, diplomasi, dan tentu saja, gaya khas Jawatimuran.
Lakon Puncak Gaya Surakarta
Lakon-lakon yang fokus pada konflik dan diplomasi menunjukkan kemampuan dalang dalam mengolah emosi dan strategi narasi:
- “Anoman Duta”: Misi diplomasi Anoman ke Alengka. Sebuah kisah tentang keberanian, kecerdasan, dan kesetiaan di tengah bahaya.
- “Kresna Duta”: Upaya damai terakhir Kresna sebelum perang Bharatayuddha. Menawarkan pelajaran tentang pentingnya negosiasi, namun juga ketegasan menghadapi keangkuhan.
- “Srikandi Meguru Manah” dan “Srikandi Senapati”: Mengisahkan tokoh Srikandi, simbol emansipasi dan keberanian perempuan. Lakon ini sangat relevan dengan isu gender kontemporer.
Lakon Khas Jawatimuran: Menemukan Jati Diri Lokal
Inilah segmen yang paling ditunggu. Lakon-lakon Jawatimuran adalah panggung bagi Dalang Muda untuk mengekspresikan kekhasan lokal.
- “Menari Singa”: Lakon yang kemungkinan besar mengacu pada kisah yang berhubungan dengan Reog Ponorogo atau simbol kepahlawanan lokal di Jawa Timur. Menunjukkan greget Jawatimuran yang kental dengan tari dan musik yang dinamis.
- “Bantala Maryam”: Seringkali berupa lakon carangan (gubahan) yang mengangkat isu-isu lingkungan atau sosial dengan latar belakang mitologi lokal Jatim.
- “Maesajaya Gumelar”: Mengisahkan tokoh heroik lokal yang mungkin berkonflik dengan kekuatan asing atau kebatilan. Cenderung menggunakan bahasa yang lugas dan gamelan slendro yang rancak.
- “Petak Banjaran”: Lakon carangan yang biasanya menceritakan kisah para wali (penyebar Islam) atau tokoh-tokoh Majapahit, mencerminkan akulturasi budaya.
Dengan menampilkan dua gaya besar—Surakarta yang alus dan Jawatimuran yang greget—festival ini menegaskan bahwa Wayang adalah seni yang inklusif dan mampu mengakomodasi berbagai dialek budaya dalam satu provinsi.
Tiga Puluh Pelopor: Menjaga Api, Bukan Abu
Kehadiran 30 Dalang Muda (sebagian besar berusia 18 hingga 30 tahun) adalah tonggak penting dalam upaya pelestarian. Mereka bukan hanya penerus, melainkan kreator yang sadar betul akan tantangan zaman.
Wayang di Tengah Arus Digital
Para Dalang Muda ini adalah jembatan antara tradisi dan modernitas. Mereka tidak lagi hanya pentas di desa atau balai budaya, tetapi juga di platform digital. Festival ini menjadi ajang di mana mereka menampilkan:
- Penggunaan Visual Modern: Beberapa dalang menggabungkan video mapping atau efek cahaya minimalis pada kelir untuk memperkaya visual tanpa menghilangkan esensi bayangan.
- Dialog Kontekstual: Meskipun tetap menggunakan bahasa Jawa Krama atau Kawi dalam dialog utama, segmen gara-gara (kemunculan punakawan) digunakan untuk mengkritik isu-isu seperti hoax, pemilu, hingga kemacetan di Surabaya atau Malang.
- Gamelan Inovatif: Kelompok karawitan pengiring sering menyisipkan aransemen musik kontemporer, seperti sentuhan jazz atau rock pada beberapa gending pembuka, menunjukkan fleksibilitas Gamelan.
Pentingnya Lakon Carangan (Gubahan)
Sebagian besar lakon Jawatimuran yang dibawakan adalah Lakon Carangan, yaitu kisah gubahan yang tidak ada dalam Pakem (kitab baku) Mahabharata atau Ramayana, namun tetap berakar pada filosofi Wayang.
Contoh: Lakon “Dasawalikrama” (kemungkinan besar gubahan yang berarti sepuluh janji atau konflik) atau “Cupumanik Astagina” (dengan tafsiran lokal yang berbeda) memberi ruang bagi dalang muda untuk berimajinasi dan menciptakan narasi yang lebih mudah dicerna oleh penonton muda. Inilah kunci regenerasi: mengubah Wayang dari tontonan ritual menjadi tontonan yang berbicara kepada isu-isu kekinian.
Wayang sebagai Tuntunan dan Jati Diri Jawa Timur
Filosofi Wayang, bahwa ia adalah bayangan kehidupan (wewayangan), terasa sangat kuat di Jawa Timur. Di sini, Wayang adalah cermin masyarakat yang pluralis, namun teguh memegang nilai.
Simbolisme dalam Cerita
Setiap lakon yang dipilih di festival ini sarat akan simbolisme:
- “Lahire Anoman” (Lakon Jawatimuran): Menceritakan kelahiran tokoh kera putih yang setia. Simbol kesetiaan dan kesederhanaan. Dalam konteks Jawatimuran, Anoman sering digambarkan lebih trengginas (gesit) dan berani mengambil risiko.
- “Paguron Sukolima”: Sekolah atau perguruan tinggi di masa Wayang. Lakon ini relevan bagi Dalang Muda, melambangkan pentingnya pendidikan dan perguruan untuk menjadi seorang pemimpin yang bijaksana.
Peran Taman Budaya Jawa Timur
Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) berfungsi sebagai rumah bagi seniman dan budayawan. Dengan menyediakan panggung selama dua hari penuh secara maraton, TBJT telah menjadi laboratorium kedaulatan budaya. Ini adalah bentuk konkret kehadiran negara dalam memajukan kebudayaan, sesuai dengan amanat UU Pemajuan Kebudayaan.
Epilog: Jaminan Masa Depan Wayang
Festival Dalang Muda Jawa Timur 2025 adalah suara lantang bahwa Wayang, seni adiluhung Nusantara, berada di tangan yang tepat. Tiga puluh pelopor muda dari berbagai kota di Jawa Timur—mulai dari Surabaya, Malang, Jember, hingga Banyuwangi—telah membuktikan bahwa mereka mampu mewarisi pakem sekaligus mendobraknya dengan kreativitas.
Wayang kini tidak lagi sekadar warisan yang dipajang di museum, tetapi sebuah energi kultural yang berdenyut di hati para Dalang Muda. Mereka adalah penjelajah waktu yang membawa kisah-kisah ribuan tahun lampau ke layar digital, menyuarakan kritik sosial melalui suara Punakawan, dan menjaga harmoni Gamelan agar terus terdengar di tengah bisingnya zaman.
Pekan Wayang Jawa Timur 2025 adalah janji. Janji bahwa selama masih ada Dalang Muda yang berani mengayunkan cempala dan menancapkan gunungan, maka bayangan Wayang akan terus menjadi tuntunan abadi bagi bangsa Indonesia.