Jaran Dor Jombangan adalah salah satu kesenian tradisional yang paling khas dan bersejarah di Jombang, Jawa Timur. Kesenian ini tidak hanya menjadi hiburan rakyat, tetapi juga simbol identitas budaya yang kuat bagi masyarakat setempat. Dengan menggabungkan elemen tari, musik, dan ritual, Jaran Dor telah memainkan peran penting dalam melestarikan tradisi dan mempererat ikatan komunitas. Dalam artikel ini, kita akan menyelami sejarah, makna, elemen pertunjukan, serta tantangan dan upaya pelestarian kesenian yang kaya ini.
Pengenalan Jaran Dor Jombangan
Jaran Dor adalah bentuk seni pertunjukan tradisional yang berasal dari Jombang, Jawa Timur. Istilah “Jaran Dor” berasal dari kata “jaran” yang berarti kuda dan “dor” yang merujuk pada bunyi yang dihasilkan oleh alat musik jidor saat ditabuh. Kesenian ini merupakan varian dari Kuda Lumping, sebuah tarian yang melibatkan penari yang menunggangi kuda tiruan dari anyaman bambu. Namun, Jaran Dor memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dari kesenian serupa di daerah lain.
Di Jombang, Jaran Dor lebih dikenal dengan sebutan “Jepaplok Dor,” yang diambil dari nama topeng Reog lawas, yaitu Singo Barong yang bermahkota merak. Kesenian ini tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga sarat dengan nilai budaya dan spiritual. Pertunjukan Jaran Dor sering kali melibatkan unsur mistis, seperti kesurupan, yang dipercaya sebagai bentuk komunikasi dengan dunia gaib. Hal ini menjadikan Jaran Dor sebagai bagian integral dari kehidupan masyarakat Jombang, terutama dalam konteks ritual dan perayaan adat.
Jaran Dor biasanya ditampilkan dalam acara-acara besar seperti peringatan hari kemerdekaan, festival budaya, atau upacara adat seperti bersih desa. Pertunjukan ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menjadi sarana untuk menyampaikan nilai-nilai luhur dan memperkuat solidaritas masyarakat.
Latar Belakang Sejarah Jaran Dor Jombangan
Sejarah Jaran Dor di Jombang dapat ditelusuri kembali ke masa penjajahan Belanda. Pada tahun 1925, sebuah grup Jaran Dor didirikan di Desa Kemambang, Diwek, Jombang, yang terdiri dari 14 orang. Saat ini, dari anggota awal tersebut, hanya tersisa satu orang, yaitu Yasmo, yang berusia 106 tahun dan tinggal di Desa Jatirejo Barat. Keberadaan grup ini menandai awal dari perkembangan Jaran Dor sebagai kesenian yang diakui dan dilestarikan oleh masyarakat setempat.
Asal-usul Jaran Dor di Jombang dikaitkan dengan Wiroguno, seorang mantan prajurit Pangeran Diponegoro dari Ponorogo. Setelah perang melawan Belanda pada tahun 1830-an, Wiroguno mengembara ke Jombang dan membawa serta kesenian Reog dari Ponorogo. Di Jombang, ia mengadaptasi kesenian tersebut menjadi Jaran Dor, yang kemudian berkembang dengan ciri khas lokal. Wiroguno menggunakan kesenian ini sebagai media untuk menyebarkan pesan-pesan moral dan spiritual kepada masyarakat, sekaligus sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah.
Pada awalnya, Jaran Dor ditampilkan dengan alat musik sederhana seperti jidor, kendang, dan kimplung. Namun, seiring berjalannya waktu, alat musik lain seperti gong, saron, dan kenong ditambahkan untuk memperkaya iringan musiknya. Perkembangan ini mencerminkan adaptasi kesenian terhadap perubahan zaman dan selera masyarakat. Selain itu, Jaran Dor juga dipengaruhi oleh budaya Jawa yang kental di Jombang, terutama dalam hal gerakan tari dan simbolisme yang digunakan dalam pertunjukan.
Signifikansi Budaya Jaran Dor Jombangan
Jaran Dor memiliki makna budaya yang mendalam bagi masyarakat Jombang. Pertama, kesenian ini merupakan simbol identitas lokal yang kuat. Dengan mengusung elemen-elemen tradisional seperti topeng Reog dan tarian yang terinspirasi dari gerakan pencak silat, Jaran Dor mencerminkan kekayaan budaya Jawa Timur, khususnya Jombang.
Kedua, Jaran Dor berfungsi sebagai media pelestarian tradisi. Melalui pertunjukan yang melibatkan generasi muda, kesenian ini membantu menjaga agar pengetahuan dan keterampilan tradisional tidak punah. Banyak kelompok seni di Jombang yang secara aktif melibatkan anak-anak dan remaja dalam latihan dan pertunjukan Jaran Dor, sehingga warisan ini dapat terus diwariskan.
Ketiga, Jaran Dor memiliki dimensi spiritual yang signifikan. Pertunjukan sering kali melibatkan ritual dan kesurupan, yang dipercaya sebagai cara untuk berkomunikasi dengan leluhur atau roh penjaga. Hal ini menjadikan Jaran Dor tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai bagian dari praktik kepercayaan masyarakat setempat. Dalam beberapa kasus, kesurupan ini juga menjadi daya tarik tersendiri bagi penonton, karena menampilkan atraksi-atraksi yang tidak biasa.
Terakhir, Jaran Dor memperkuat rasa kebersamaan dan gotong royong di antara anggota komunitas. Persiapan dan pelaksanaan pertunjukan melibatkan kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari penari, musisi, hingga pawang. Ini menciptakan ikatan sosial yang kuat dan mempererat hubungan antarwarga, sekaligus menjadi cerminan nilai-nilai budaya Jawa yang menjunjung tinggi kebersamaan.
Elemen Pertunjukan Jaran Dor Jombangan
Pertunjukan Jaran Dor terdiri dari beberapa elemen kunci yang saling melengkapi, menciptakan pengalaman yang memukau bagi penonton. Berikut adalah elemen-elemen utama dalam pertunjukan Jaran Dor:
1. Tari dan Gerakan
- Penari Jaran Dor biasanya menunggangi kuda tiruan yang terbuat dari anyaman bambu. Gerakan tariannya terinspirasi dari gerakan pencak silat, mencerminkan keberanian dan kekuatan.
- Tarian ini sering kali bersifat improvisasi, di mana penari menyesuaikan gerakan mereka dengan irama musik dan suasana pertunjukan. Hal ini menambah kesan hidup dan spontan pada pertunjukan.
2. Musik Pengiring
- Alat musik utama dalam Jaran Dor adalah jidor, yang menghasilkan bunyi “dor” khas. Selain itu, kendang, kimplung, gong, saron, dan kenong juga digunakan.
- Iringan musiknya dinamis dan energik, menciptakan suasana yang meriah dan memacu semangat penari serta penonton. Ritme yang cepat dan kuat menjadi ciri khas yang membedakan Jaran Dor dari kesenian lain.
3. Kostum dan Properti
- Penari mengenakan kostum tradisional yang sederhana namun khas, seperti kaos belang horizontal merah-putih atau merah-hitam, celana pendek, dan kopiah.
- Properti utama adalah kuda tiruan dari anyaman bambu, yang sering kali dihias dengan warna-warna cerah untuk menarik perhatian.
4. Topeng dan Caplokan
- Dalam beberapa pertunjukan, digunakan topeng Reog atau caplokan, yang merupakan kepala hewan buas seperti singa atau naga. Topeng ini dapat membuka dan menutup mulutnya, menghasilkan bunyi “plok-plok.”
- Topeng ini melambangkan kekuatan dan keberanian, serta menjadi daya tarik visual dalam pertunjukan.
5. Ritual dan Kesurupan
- Sebelum pertunjukan, sering kali dilakukan ritual seperti pembakaran kemenyan atau persembahan sesajen untuk memohon keselamatan dan keberhasilan acara.
- Kesurupan adalah bagian yang sering muncul dalam pertunjukan, di mana penari dipercaya dirasuki oleh roh atau kekuatan gaib, menampilkan atraksi yang menegangkan seperti memakan beling atau berjalan di atas api.
Keterlibatan Komunitas dalam Jaran Dor Jombangan
Komunitas lokal di Jombang memainkan peran penting dalam pelestarian dan pengembangan Jaran Dor. Banyak kelompok seni yang didirikan oleh masyarakat setempat untuk melatih generasi muda dalam kesenian ini. Misalnya, kelompok seni Karya Budaya di Desa Kandangan, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Kediri, yang meskipun berada di luar Jombang, tetap melestarikan gaya Jombangan dalam Jaran Dor mereka.
Selain itu, Jaran Dor sering ditampilkan dalam berbagai acara komunitas, seperti perayaan hari besar, festival budaya, dan upacara adat. Ini memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berkumpul, berinteraksi, dan merayakan warisan budaya mereka bersama-sama. Partisipasi aktif dari berbagai kalangan usia menunjukkan bahwa Jaran Dor bukan hanya milik generasi tua, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan generasi muda.
Pemerintah daerah juga turut mendukung pelestarian Jaran Dor melalui program-program kebudayaan dan pendidikan. Misalnya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang pernah merencanakan pemecahan rekor MURI untuk pertunjukan Jaran Dor massal yang melibatkan ribuan siswa, meskipun rencana tersebut akhirnya dibatalkan. Upaya ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam mempromosikan kesenian lokal dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan budaya.
Tantangan dan Upaya Pelestarian Jaran Dor Jombangan
Meskipun Jaran Dor memiliki tempat khusus di hati masyarakat Jombang, kesenian ini menghadapi beberapa tantangan di era modern. Salah satu tantangan utama adalah perubahan selera masyarakat, terutama generasi muda, yang lebih tertarik pada hiburan modern seperti musik pop atau film. Hal ini dapat mengurangi minat mereka untuk belajar dan melestarikan Jaran Dor, sehingga mengancam keberlangsungan kesenian ini di masa depan.
Selain itu, kurangnya pendanaan dan dukungan infrastruktur juga menjadi hambatan. Banyak kelompok seni yang kesulitan mendapatkan dana untuk membeli alat musik, kostum, atau properti yang diperlukan untuk pertunjukan. Ini dapat membatasi kemampuan mereka untuk berlatih dan tampil secara optimal, terutama di daerah pedesaan yang memiliki sumber daya terbatas.
Untuk mengatasi tantangan ini, berbagai upaya pelestarian telah dilakukan, antara lain:
- Pendidikan dan Pelatihan: Mengintegrasikan Jaran Dor ke dalam kurikulum sekolah atau mengadakan workshop untuk siswa dan masyarakat umum agar lebih banyak orang memahami dan menguasai kesenian ini.
- Festival dan Kompetisi: Mengadakan festival budaya atau kompetisi Jaran Dor untuk meningkatkan visibilitas dan apresiasi terhadap kesenian ini, sekaligus memberikan motivasi bagi kelompok seni.
- Dukungan Pemerintah: Mendorong pemerintah daerah untuk menyediakan dana dan fasilitas bagi kelompok seni Jaran Dor, seperti tempat latihan atau bantuan peralatan.
- Promosi Media: Menggunakan media sosial dan platform digital untuk mempromosikan Jaran Dor kepada khalayak yang lebih luas, termasuk generasi muda yang aktif di dunia digital.
Kesimpulan
Jaran Dor Jombangan adalah warisan budaya yang tak ternilai dari Jombang, Jawa Timur. Dengan sejarah yang kaya, elemen pertunjukan yang memukau, dan signifikansi budaya yang mendalam, kesenian ini telah menjadi bagian integral dari identitas masyarakat setempat. Meskipun menghadapi tantangan di era modern, upaya pelestarian yang dilakukan oleh komunitas dan pemerintah menunjukkan komitmen yang kuat untuk menjaga agar Jaran Dor tetap hidup dan berkembang.
Melalui apresiasi dan dukungan terhadap Jaran Dor, kita tidak hanya melestarikan sebuah kesenian, tetapi juga merayakan kekayaan budaya Indonesia yang beragam. Mari kita terus mendukung dan mempromosikan Jaran Dor agar generasi mendatang dapat menikmati dan bangga dengan warisan budaya ini. Dengan kerja sama semua pihak, Jaran Dor akan terus berkumandang sebagai simbol kebanggaan Jombang dan Indonesia.
