Di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, terdapat sebuah kesenian tradisional Jombang yang telah bertahan selama berabad-abad dan menjadi bagian integral dari identitas budaya setempat: Kesenian Topeng Jatiduwur. Berasal dari Desa Jatiduwur di Kecamatan Kesamben, kesenian ini merupakan bentuk wayang topeng yang unik, memadukan unsur tari, drama, sastra, musik, dan seni rupa dalam sebuah pertunjukan yang memukau.
Melalui topeng-topeng kayu yang diukir dengan detail, para penampil menghidupkan kisah-kisah dari siklus Panji, sebuah kumpulan cerita yang berakar dalam sejarah dan mitologi Jawa. Artikel ini akan mengulas asal-usul sejarah Kesenian Topeng Jatiduwur, komunitas yang menggiatkannya, serta peran pentingnya dalam acara Karnaval Budaya Jombang tahunan.
Asal-Usul dan Sejarah Kesenian Wayang Topeng Jatiduwur
Kesenian Topeng Jatiduwur memiliki akar yang dalam dalam sejarah budaya Jawa Timur, khususnya di Jombang. Kesenian ini pertama kali diperkenalkan oleh Ki Purwo, seorang seniman visioner, pada akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19. Ki Purwo bukan penduduk asli Jatiduwur; ia berasal dari Gresik, sebuah kota pesisir di Jawa Timur. Dengan semangat petualang dan kecintaannya pada seni tradisional Jawa, ia memutuskan untuk menetap di Desa Jatiduwur setelah menikahi seorang wanita lokal. Di sinilah ia menemukan tempat untuk mewujudkan ambisi seninya.
Ki Purwo terinspirasi oleh cerita Panji, sebuah siklus naratif klasik Jawa yang mengisahkan petualangan Pangeran Panji dan cintanya dengan Putri Chandra Kirana. Berbekal keterampilan dan kreativitas, ia menciptakan 33 topeng kayu asli, masing-masing mewakili karakter unik dari cerita-cerita tersebut. Topeng-topeng ini tidak hanya menjadi alat pertunjukan, tetapi juga dianggap memiliki nilai spiritual oleh masyarakat setempat. Proses pembuatannya dilakukan dengan penuh ketelitian dan penghormatan, mencerminkan hubungan mendalam antara seni dan kepercayaan.
Setelah Ki Purwo wafat, warisannya diteruskan oleh keturunannya. Hingga kini, tradisi ini dijaga oleh Paguyuban Tri Purwo Budoyo, sebuah kelompok yang dipimpin oleh Sulastri, keturunan langsung Ki Purwo. Paguyuban ini tidak hanya melestarikan kesenian, tetapi juga mengembangkannya agar tetap relevan di era modern. Mereka mengorganisasi pertunjukan, pelatihan, dan kegiatan edukasi untuk memastikan generasi muda tetap terhubung dengan warisan budaya ini.
Sejarah Kesenian Topeng Jatiduwur juga menarik perhatian karena kemungkinan kaitannya dengan Kerajaan Majapahit. Topeng-topeng ini memiliki ornamen berbentuk bunga matahari yang mirip dengan Surya Majapahit, simbol matahari bercahaya yang menjadi lambang kerajaan tersebut [Web ID: 3]. Meskipun belum ada bukti arkeologis yang pasti, kemiripan ini memicu spekulasi bahwa kesenian ini mungkin berasal dari era Majapahit atau dipengaruhi oleh estetika kerajaan tersebut. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengungkap hubungan ini, tetapi dugaan tersebut menambah dimensi historis yang kaya pada kesenian ini.
Dari acara ritual hingga pertunjukan publik, Kesenian Topeng Jatiduwur berkembang menjadi simbol budaya yang kuat di Jombang. Dedikasi komunitas lokal telah memastikan bahwa tradisi ini tidak hanya bertahan, tetapi juga terus hidup sebagai jembatan antara masa lalu dan masa kini.
Wayang Topeng Jatiduwur: Karya Seni yang Sarat Makna
Inti dari Kesenian Topeng Jatiduwur terletak pada topeng-topeng kayunya, yang merupakan karya seni sekaligus artefak budaya. Topeng ini dibuat dari kayu pilihan, seperti pule atau waru, yang dikenal karena kekuatan dan teksturnya yang halus. Proses pembuatannya membutuhkan waktu berminggu-minggu, melibatkan pengukiran detail, pengecatan berlapis, dan penambahan ornamen dekoratif. Setiap topeng dirancang untuk mencerminkan karakter yang diwakilinya, baik dari segi ekspresi maupun warna.
Sebagai contoh, topeng Pangeran Panji memiliki fitur halus dan ekspresi tenang, melambangkan sifatnya yang bijaksana dan heroik. Sebaliknya, topeng Klono, tokoh yang lebih jenaka, menampilkan fitur yang lebih ekspresif dan ceria. Warna-warna cerah seperti merah, kuning, dan emas sering digunakan, dengan sentuhan daun emas untuk menonjolkan detail tertentu, menciptakan efek visual yang memukau.
Ciri khas yang menonjol dari topeng Jatiduwur adalah ornamen bunga matahari di bagian dahi, yang menyerupai simbol Surya Majapahit. Ornamen ini bukan sekadar hiasan; banyak yang percaya bahwa ia membawa makna simbolis, mungkin terkait dengan kekuatan matahari atau warisan kerajaan kuno. Kemiripan ini telah memicu diskusi akademik tentang asal-usul topeng, meskipun bukti konkret masih belum ditemukan.
Ki Purwo meninggalkan 33 topeng asli, yang hingga kini dianggap sakral dan disimpan dalam peti kayu khusus di rumah Sulastri. Topeng-topeng ini hanya digunakan pada acara-acara khusus, seperti selama bulan Suro (bulan pertama dalam kalender Jawa) atau untuk memenuhi nazar. Dalam pertunjukan rutin, topeng replika digunakan untuk melindungi keaslian topeng asli. Pembuatan replika ini juga menjadi sarana untuk melatih generasi muda dalam seni ukir tradisional.
Topeng Jatiduwur bukan hanya alat pertunjukan, tetapi juga simbol identitas budaya. Mereka menghubungkan masyarakat Jatiduwur dengan leluhur mereka, sekaligus menjadi media untuk menyampaikan cerita-cerita yang telah diwariskan selama berabad-abad.
Pertunjukan dan Ritual dalam Kesenian Topeng Jatiduwur
Pertunjukan Kesenian Topeng Jatiduwur adalah perpaduan harmonis antara seni visual, musik, dan narasi. Biasanya digelar di ruang terbuka seperti alun-alun desa atau halaman pura, pertunjukan ini dimulai dengan tari klono, sebuah tarian pembuka yang menampilkan penari bertopeng sebagai pengawal kerajaan. Gerakan anggun dan irama gamelan yang mengiringi tarian ini menciptakan suasana magis yang mempersiapkan penonton untuk cerita utama.
Cerita yang dipentaskan biasanya diambil dari siklus Panji, seperti “Patah Kuda Narawangsa” dan “Wiruncana Murca”. Kisah-kisah ini menggambarkan perjalanan Pangeran Panji dalam mencari cinta sejatinya, Putri Chandra Kirana, dengan latar belakang kerajaan-kerajaan Jawa kuno. Narasi ini kaya akan simbolisme, mengajarkan nilai-nilai seperti cinta, kesetiaan, dan keberanian.
Dalang memainkan peran kunci dalam pertunjukan ini. Berbeda dengan wayang kulit, di mana dalang mengendalikan boneka, dalam Topeng Jatiduwur, dalang bertindak sebagai narator dan sutradara, mengarahkan penari dan memberikan suara untuk karakter. Para penari, yang wajahnya tertutup topeng, menggunakan gerakan tubuh yang ekspresif untuk menyampaikan emosi dan aksi, sebuah teknik yang membutuhkan latihan intensif.
Musik gamelan, dengan alat-alat seperti gong, saron, dan kendang, menjadi tulang punggung pertunjukan. Irama dan melodi gamelan tidak hanya mengiringi, tetapi juga memperkuat suasana cerita, dengan perubahan tempo yang menandai momen-momen dramatis. Kostum yang dikenakan penari pun tak kalah menarik, dengan desain yang mencerminkan status dan kepribadian karakter.
Selain sebagai hiburan, pertunjukan ini juga memiliki fungsi ritual. Selama bulan Suro, topeng asli dikeluarkan untuk pertunjukan khusus yang dianggap membawa berkah bagi masyarakat. Acara ini diawali dengan doa dan sesajen, menegaskan dimensi spiritual dari kesenian ini. Pertunjukan juga sering digelar pada acara adat seperti pernikahan atau bersih desa, memperkuat ikatan sosial dalam komunitas.
Komunitas Penggiat Kesenian Wayang Topeng Jatiduwur
Pelestarian Kesenian Topeng Jatiduwur tidak akan mungkin tanpa peran Paguyuban Tri Purwo Budoyo, sebuah komunitas yang dipimpin oleh Sulastri. Kelompok ini terdiri dari keturunan Ki Purwo serta seniman dan penggiat budaya lainnya yang berkomitmen untuk menjaga tradisi ini. Mereka mengadakan pelatihan rutin untuk penari muda, mengajarkan teknik tari, musik, dan penceritaan agar keterampilan ini tidak hilang.
Komunitas ini juga menyelenggarakan workshop pembuatan topeng, di mana pengrajin berbagi pengetahuan tentang seni ukir dan lukis tradisional. Kegiatan ini tidak hanya melestarikan kerajinan, tetapi juga memberikan peluang ekonomi bagi pengrajin lokal, yang dapat menjual karya mereka kepada kolektor atau wisatawan.
Pendidikan menjadi prioritas lain. Paguyuban bekerja sama dengan sekolah dan institusi budaya untuk memperkenalkan kesenian ini kepada siswa melalui ceramah, demonstrasi, dan sesi praktik. Sanggar Purwo Budoyo, sebuah pusat budaya di Jatiduwur, menjadi basis operasional mereka [Web ID: 1]. Sanggar ini menyelenggarakan pertunjukan, workshop, dan pameran, serta memiliki museum kecil yang memamerkan artefak sejarah, termasuk beberapa topeng asli.
Meskipun menghadapi tantangan seperti keterbatasan dana dan persaingan dengan hiburan modern, komunitas ini terus mencari dukungan dari pemerintah dan donatur. Semangat mereka dalam melestarikan warisan budaya telah menjadikan Kesenian Topeng Jatiduwur sebagai simbol kebanggaan Jombang.
Penampilan Rutin di Karnaval Budaya Jombang Tahunan
Karnaval Budaya Jombang adalah perayaan tahunan yang menampilkan kekayaan seni dan tradisi daerah. Dalam acara ini, Kesenian Topeng Jatiduwur menjadi salah satu atraksi utama, menghibur ribuan pengunjung yang terdiri dari wisatawan lokal, nasional, hingga internasional. Meskipun informasi spesifik tentang jadwal karnaval tidak selalu tersedia secara rinci, mengingat pentingnya kesenian ini bagi identitas Jombang, dapat diasumsikan bahwa penampilan Topeng Jatiduwur merupakan bagian rutin dari agenda tahunan tersebut.
Pada karnaval, pertunjukan Topeng Jatiduwur sering ditampilkan dalam bentuk parade di jalanan atau pentas khusus di lokasi utama seperti alun-alun kota. Para penari bertopeng, mengenakan kostum warna-warni dan diiringi gamelan, mempersembahkan tarian dan drama yang memikat. Acara ini tidak hanya menampilkan keindahan seni, tetapi juga menjadi sarana edukasi, dengan narasi yang menjelaskan makna budaya di balik pertunjukan.
Selain pentas, komunitas juga mendirikan stan pameran yang memamerkan topeng dan menjelaskan sejarahnya. Pengrajin sering mendemonstrasikan proses pembuatan topeng, memberikan pengalaman interaktif bagi pengunjung. Karnaval ini menjadi ajang untuk mempromosikan kesenian ini ke khalayak yang lebih luas, sekaligus meningkatkan pariwisata dan ekonomi lokal.
Bagi komunitas Topeng Jatiduwur, karnaval adalah kesempatan untuk menunjukkan dedikasi mereka dan menginspirasi generasi muda agar mencintai warisan budaya mereka. Penampilan rutin di acara ini memperkuat posisi kesenian ini sebagai elemen tak terpisahkan dari identitas budaya Jombang.
Kesimpulan
Kesenian Topeng Jatiduwur adalah warisan budaya yang kaya dan abadi dari Kabupaten Jombang. Dari asal-usulnya yang dipelopori oleh Ki Purwo hingga peran aktif komunitas Paguyuban Tri Purwo Budoyo dalam melestarikannya, kesenian ini mencerminkan kreativitas, spiritualitas, dan semangat masyarakat Jawa. Penampilannya yang rutin di Karnaval Budaya Jombang tahunan menegaskan relevansinya di era modern, sekaligus memastikan bahwa tradisi ini akan terus hidup dan dihargai oleh generasi mendatang.
Referensi:
-
Wayang Topeng Jatiduwur di Jombang, Kesenian yang Diduga Peninggalan Majapahit – regional.kompas.com
-
SEJARAH BUDAYA WAYANG TOPENG DI DESA JATIDUWUR | Syakal IAIN Kediri – syakal.iainkediri.ac.id
-
Mengenal Wayang Topeng Jatiduwur, Kesenian dengan Warisan Topeng Ratusan Tahun Halaman all – Kompas.com – regional.kompas.com