Jumlah santri Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) Al-Mujahiddin bertambah makin banyak selama sebulan terakhir ini. Satu per satu santri melakukan migrasi dari TPQ lain ke TPQ ini. Mereka melakukannya atas dasar keinginan sendiri. Saya tidak pernah mempengaruhi mereka saat mengajar Keagamaan Islam di sekolah. Lalu, apa saya tarik TPQ yang bisa menyedot perhatian anak-anak untuk belajar disini? Selain faktor kebosanan karena belajar yang tidak menyenangkan, pasti ada daya dukung lainnya. Saya menerapkan gerakan sekolah menyenangkan dalam manajemen TPQ. Diantaranya adalah memperbanyak lomba dan memberi penghargaan kepada santri berprestasi.
Dua orang santri pertama yang ikut pindah kesini adalah karena mereka tertarik pembelajaran yang konsisten. Mereka kecewa karena TPQ lama dulu tidak mengajarkan sesuai harapan. Kemudian langkah dua santri itu segera menular ke teman-teman lainnya disana. Saat ini sudah ada sepuluh santri baru yang masuk TPQ dengan status pindahan. Saya menerima mereka apa adanya. Saya tidak pernah merekayasa komentar. Biarkan anak-anak sendiri yang menilai metode pengajaran saya selama ini. Ini hanya masalah kecocokan hati santri dan ustadznya. Orang tua tidak lagi berpengaruh banyak terhadap pemilihan tempat belajar anak.
Bertambahnya jumlah santri TPQ membawa konsekuensi saya harus lebih giat mengajar. Saya memprediksi trend perpindahan santri antar TPQ akan terus terjadi mengingat sifat dasar anak yang mudah bosan. Akibat kekurangan SDM guru mengaji, saya pun memperpanjang durasi mengajar dari jam setengah empat sampai jam setengah enam. Saya merangkap guru kelas untuk santri jilid 1, jilid 2, jilid 4, dan marhalah awal. Memang melelahkan, namun saya sudah berkomitmen menjalani semua proses ini. Saya terlanjur jatuh cinta kepada pendidikan TPQ. Disinilah saya menemukan dunia yang menyenangkan modal kehidupan yang lebih baik di akhirat kelak. Langkah ini semakin berat dijalani namun saya tidak pernah putus doa semoga perjuangan ini bermanfaat untuk masyarakat.
Hambatan dalam memajukan pendidikan Islam adalah rendahnya kesadaran orang tua untuk terlibat langsung dalam memberi keteladanan kepada anak dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena gap yang terjadi saat ini adalah guru TPQ sibuk membenahi mental anak sementara orang tua asyik merusak tatanan yang sudah ada dalam pikiran anak. Sungguh ironi. Minimnya keteladanan orang tua dan wali santri menyebabkan guru ngaji kesulitan menerapkan secara utuh materi pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Contoh paling mudah adalah pengajaran tata cara sholat berjamaah. Orang tua yang tidak mampu memberi contoh gerakan sholat yang benar akan menyebabkan anak meragukan proses pembelajaran di TPQ.
Hal ini diperparah oleh fakta bahwa pemerintah desa saat ini masih berkubang dengan dana milyaran rupiah yang terfokus pada pembangunan fisik. Aspek pendidikan moral dan keagamaan nyaris luput dari program mereka. Berlimpahnya jumlah santri yang mengaji di TPQ tidak serta merta menambah kemajuan pembangunan bidang pendidikan. Namun setidaknya kita bisa berharap bahwa kelak akan ada generasi yang mengenal dasar-dasar agama sejak kecil. Mari kita bergandeng tangan dengan segenap pihak dalam mendidik anak-anak. Mereka bisa menjadi harapan kita di masa dua puluh tahun mendatang sekaligus bahaya yang mengancam jika kita lalai hari ini. Semoga tulisan ini bisa menginspirasi.
Tinggalkan Balasan