Kuliner Rawon Nguling dari Kabupaten Probolinggo: Sup Hitam Legendaris yang Menjadi Ikon Jalur Pantura

Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, dikenal sebagai gerbang timur Pulau Jawa dengan jalur pantura yang ramai menghubungkan Surabaya menuju Banyuwangi dan Bali. Di tengah hiruk-pikuk perjalanan, satu kuliner selalu menjadi tujuan wajib: Rawon Nguling. Sup daging sapi berkuah hitam pekat ini bukan sekadar makanan, melainkan warisan budaya yang telah bertahan selama lebih dari delapan dekade. Berlokasi di Jl. Raya Tambakrejo No. 75, Desa Tambakrejo, Kecamatan Tongas, rumah makan Rawon Nguling pusat menjadi singgahan favorit wisatawan, sopir truk, hingga presiden seperti Susilo Bambang Yudhoyono.

Rawon Nguling telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2018. Keunikan kuahnya yang gurih-manis, daging empuk berurat kenyal, serta penggunaan kluwek (keluak) pilihan membuatnya berbeda dari rawon lain di Jawa Timur. Artikel ini akan mengupas tuntas asal-usul, keunikan, kontroversi klaim, nilai sebagai sumber daya genetik, serta tantangan pelestariannya.

Asal-Usul Rawon Nguling dari Kabupaten Probolinggo

Sejarah Rawon Nguling bermula pada era pendudukan Jepang. Pada 12 Desember 1942, pasangan Karyoredjo (Mbah Karyo) dan Marni merintis warung sederhana bernama “Lumayan” di bawah pohon trembesi besar yang masih berdiri hingga kini. Awalnya, warung ini menyajikan masakan kampung seperti lodeh, soto, dan rawon untuk petani serta kusir delman di sekitar Desa Nguling (sekarang Tambakrejo).

Rawon buatan Mbah Karyo langsung mencuri hati karena rasa gurihnya yang pas. Dari mulut ke mulut, popularitasnya melonjak pada 1980-1990-an. Generasi kedua dan ketiga, seperti Rofiq Ali Pribadi dan istrinya Ratnawati, melanjutkan resep turun-temurun. Kini, Rawon Nguling memiliki cabang di Surabaya, Malang, Sidoarjo, Jakarta, bahkan rest area tol.

Rawon sendiri sudah ada sejak abad ke-10, tercatat sebagai “rarawwan” dalam Prasasti Taji (901 M) dari Ponorogo. Namun, versi Nguling lahir di Probolinggo, menjadi simbol ketahanan kuliner lokal di tengah arus modernisasi.

Keunikan Rawon Nguling dari Kabupaten Probolinggo Dibanding Makanan Khas Lain di Jawa Timur

Rawon Nguling memiliki ciri khas yang membedakannya dari rawon Surabaya (seperti Rawon Setan yang pedas-asam), rawon Malang (lebih kental dan manis), atau varian lain seperti rujak soto Banyuwangi maupun soto ayam Lamongan.

  • Kuah: Lebih jernih pekat, tidak berminyak atau keruh. Kluwek disangrai dulu sebelum dihaluskan dan ditumis, menghasilkan aroma harum tanpa pahit berlebih. Tidak pakai asam Jawa, serai, atau terasi—sehingga rasa lebih murni gurih-manis.
  • Daging: Hanya menggunakan daging sandung lamur berlemak dan urat kenyal, tanpa tulang untuk kaldu. Direbus lama hingga empuk sempurna, potongan besar dan suwir-suwir.
  • Bumbu: Racikan 12 rempah (bawang merah-putih, ketumbar, kemiri, lengkuas, kunyit, jahe, cabai, kluwek, dll.) dari petani Tengger Bromo, dimasak dengan tungku kayu tradisional.
  • Pelengkap: Tauge pendek segar, telur asin, kerupuk udang, empal goreng, sambal, dan tempe goreng jumbo.

Dibanding rawon Surabaya yang lebih pedas dan asam, atau rawon Malang yang kental manis, Nguling menawarkan keseimbangan sempurna: gurih dalam, sedikit manis, dan aroma rempah yang tajam. Porsi besar dengan harga terjangkau (Rp35.000–Rp50.000) membuatnya ideal untuk perjalanan jauh.

Saling Klaim Kepemilikan Rawon Nguling dari Kabupaten Probolinggo

Lokasi Rawon Nguling pusat di perbatasan Pasuruan-Probolinggo memicu “perang klaim” ringan antarwilayah. Secara administratif, rumah makan berada di Kecamatan Tongas, Kabupaten Probolinggo. Namun, nama “Nguling” merujuk pada Desa Nguling di Pasuruan, dan beberapa sumber menyebutnya “rawon khas Pasuruan-Probolinggo”.

Kemendikbud secara resmi menetapkan sebagai WBTB “Rawon Nguling Khas Probolinggo” pada 2018. Meski begitu, warga Pasuruan sering mengklaim karena kedekatan geografis dan jalur pantura. Cabang di Malang dan Surabaya semakin mengaburkan asal-usul, tapi pemilik (generasi ketiga) dan dokumen resmi menegaskan Probolinggo sebagai tempat kelahiran. Kontroversi ini justru memperkuat popularitas, menjadikannya ikon bersama Tapal Kuda.

Rawon Nguling dari Kabupaten Probolinggo sebagai Sumber Daya Genetik

Kluwek (Pangium edule), bahan utama yang memberikan warna hitam dan rasa khas, merupakan sumber daya genetik (SDG) lokal Indonesia. Pohon kluwek tumbuh liar di hutan Jawa Timur, termasuk kawasan Tengger Bromo yang berbatasan dengan Probolinggo. Kluwek mentah beracun (mengandung asam sianida), tapi setelah difermentasi dan direbus, menjadi rempah bernilai tinggi dengan antioksidan, antimikroba, hingga antidiabetik.

Rawon Nguling menggunakan kluwek segar dari petani Tengger, menjaga kemurnian genetik varietas lokal. Ini mendukung pelestarian plasma nutfah Indonesia, sekaligus ekonomi petani. Penelitian menunjukkan bumbu Rawon Nguling kaya bioaktif, memenuhi 52% kebutuhan protein harian. Sebagai WBTB, rawon ini menjadi contoh bagaimana kuliner tradisional melindungi SDG hayati.

Hambatan Pelestarian Rawon Nguling dari Kabupaten Probolinggo

Meski legendaris, pelestarian Rawon Nguling menghadapi tantangan modern:

  • Infrastruktur Tol: Pembukaan Tol Pasuruan-Probolinggo (2019) dan Trans-Jawa mengalihkan lalu lintas dari jalur pantura, menyebabkan pengunjung pusat menurun drastis.
  • Regenerasi Resep: Resep rahasia turun-temurun hanya diwariskan keluarga inti. Generasi muda kurang tertarik melanjutkan karena pendidikan formal dan urbanisasi.
  • Bahan Baku: Kluwek dan rempah Tengger semakin sulit didapat karena deforestasi dan perubahan iklim. Harga daging sapi fluktuatif.
  • Komersialisasi: Cabang banyak, tapi kualitas cabang kadang tidak seautentik pusat. Muncul imitasi “Rawon Nguling” palsu.
  • Pandemi dan Digitalisasi: COVID-19 sempat menutup sementara, kini bersaing dengan delivery app yang menawarkan rawon instan.

Upaya pelestarian seperti pembekuan bumbu (frozen spice) untuk ekspor, workshop kuliner, dan promosi wisata heritage sedang digalakkan. Namun, tanpa dukungan pemerintah daerah dan masyarakat, warisan ini berisiko memudar.

Kesimpulan

Rawon Nguling dari Kabupaten Probolinggo bukan hanya sup hitam biasa, melainkan cerita panjang tentang ketahanan, rasa, dan identitas Jawa Timur. Dari warung sederhana 1942 hingga WBTB nasional, ia tetap setia dengan resep leluhur di tengah badai modernitas. Saat melintas Probolinggo, singgahlah—karena satu mangkuk Rawon Nguling adalah cara terbaik menghormati warisan kuliner Indonesia yang tak ternilai.

Tinggalkan Balasan