Mengamankan Hentakan Gongseng: Urgensi Pengusulan HKI Tari Remo Boletan sebagai Ekspresi Budaya Tradisi (EBT) Tahun 2025

Di panggung kebudayaan Jawa Timur, Tari Remo adalah sang primadona. Ia adalah hentakan kaki yang gagah, sabetan selendang yang dinamis, dan ekspresi wajah yang penuh karakter. Sebagai tarian pembuka, Remo—baik dalam konteks pertunjukan Ludruk, Wayang Kulit, maupun sebagai tarian penyambut tamu—telah menjadi ikon yang tak terpisahkan dari identitas masyarakat Jawa Timur. Namun, popularitas ini membawa sebuah tantangan: Tari Remo bukanlah entitas tunggal yang monolitik.

Di dalam kebesarannya, Tari Remo memiliki beragam “dialek” atau gaya (style) yang tumbuh dan berkembang di berbagai daerah, masing-masing dengan keunikan dan pakem (standar) tersendiri. Ada gaya Surabayan yang lugas, gaya Malangan yang lebih teatrikal, dan salah satu yang paling khas serta energik, yakni Tari Remo Boletan.

Tari Remo Boletan, yang diyakini berkembang kuat di wilayah Kabupaten Jombang (meski terminologinya bisa diperdebatkan, ia merujuk pada gaya spesifik yang berbeda), merepresentasikan karakter yang unik. Ia sering digambarkan memiliki gerak kaki yang lebih kompleks, hentakan gongseng (lonceng kaki) yang lebih rapat, dan interpretasi gending yang lebih spontan. Gaya ini adalah aset budaya yang spesifik, sebuah penanda identitas lokal yang bernilai tinggi.

Namun, seperti banyak EBT lainnya, gaya Boletan menghadapi ancaman erosi. Standarisasi di panggung-panggung besar, gempuran budaya pop, dan putusnya regenerasi maestro menjadi ancaman nyata. Di sinilah wacana krusial untuk tahun 2025 mengemuka: pengusulan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) untuk Tari Remo Boletan sebagai Ekspresi Budaya Tradisi (EBT).

Ini bukan sekadar langkah administratif. Ini adalah sebuah manuver budaya yang strategis untuk memagari, mendokumentasikan, dan memberdayakan. Artikel ini akan membedah secara mendalam empat pilar utama dari wacana ini: manfaat HKI bagi pelestarian, langkah-langkah pengusulannya, dampak konkret bagi seniman daerah, dan strategi untuk menjernihkan potensi konflik “saling klaim” yang rawan terjadi.


Manfaat HKI bagi Pelestarian Tari Remo Boletan

Banyak yang masih memandang HKI dengan skeptis, khawatir ia akan “membekukan” atau “mengkomersialkan” budaya. Padahal, untuk konteks EBT, HKI yang digunakan adalah Kekayaan Intelektual Komunal (KIK), sebuah konsep yang justru dirancang untuk melindungi kepemilikan kolektif. Manfaatnya bagi pelestarian Tari Remo Boletan bersifat multi-dimensi.

1. Perisai Hukum: Melawan Apropriasi dan Eksploitasi

Manfaat paling fundamental adalah perlindungan hukum. Dengan dicatatkannya Tari Remo Boletan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), negara secara de jure mengakui bahwa gaya tari ini adalah milik masyarakat komunal Jombang (atau daerah asal spesifiknya).

  • Perlindungan dari Klaim Eksternal: Di era global, “pencurian” atau apropriasi budaya adalah ancaman nyata. Sebuah negara lain atau daerah lain bisa saja mengklaim gaya Boletan sebagai milik mereka. Surat Pencatatan Inventarisasi KIK adalah “sertifikat” yang menjadi bukti hukum kuat di forum internasional.
  • Perlindungan dari Eksploitasi Komersial: Bayangkan sebuah korporasi multinasional menggunakan siluet penari Remo Boletan yang khas untuk logo sepatu mereka, atau sebuah developer game menggunakan pola gerak tarinya untuk karakter mereka, tanpa izin dan tanpa kompensasi. Dengan HKI, komunitas (diwakili oleh Wali Data, biasanya Pemkab) memiliki dasar hukum untuk menuntut, menegosiasikan, atau meminta skema benefit sharing (pembagian manfaat).

2. Katalisator Dokumentasi: “Kitab Pakem” Generasi Mendatang

Proses pengusulan HKI “memaksa” dilakukannya sebuah langkah pelestarian yang paling krusial: dokumentasi komprehensif. Untuk mendaftarkan EBT, pemohon tidak bisa hanya berkata, “Kami ingin mendaftarkan Remo Boletan.” Mereka harus menyusun naskah deskripsi yang terperinci.

  • Inventarisasi Pakem: Tim ahli, maestro, dan akademisi harus duduk bersama untuk membedah: Apa yang membuat Boletan berbeda? Bagaimana pola gerak sembahan-nya? Bagaimana ritme gongseng-nya? Bagaimana pakem kostum dan riasannya? Apa filosofi di baliknya?
  • Arsip Hidup: Seluruh data ini, termasuk foto, video, dan notasi gending (jika ada), menjadi lampiran pengajuan. Dokumen ini secara otomatis menjadi “Kitab Pakem” atau arsip induk. Ini adalah penyelamatan data budaya yang tak ternilai. Jika suatu hari maestro terakhirnya tiada, ilmunya tidak ikut terkubur; ia telah terarsip secara legal dan sistematis.

3. Peneguhan Identitas: Membangun Kebanggaan Lokal

Status HKI adalah stempel rekognisi (pengakuan) dari negara. Ini bukan hal sepele. Bagi sebuah komunitas, pengakuan ini adalah bahan bakar untuk harga diri dan kebanggaan.

  • Mengangkat Marwah: Tari Remo Boletan tidak lagi dianggap “hanya” tarian rakyat biasa, tetapi sebuah Aset Budaya Nasional yang Dilindungi Undang-Undang.
  • Menarik Generasi Muda: Bagi generasi muda, sesuatu yang “diakui”, “bersertifikat”, dan “memiliki nilai” akan lebih menarik. Ini mengubah citra kesenian tradisi dari “kuno” menjadi “prestisius”. Kebanggaan lokal (local pride) ini adalah syarat utama terjadinya regenerasi seniman.

4. Pemberdayaan Ekonomi: Dari Aset Budaya menjadi Aset Kreatif

HKI KIK tidak bertujuan melarang pemanfaatan ekonomi, tetapi mengatur agar pemanfaatan itu adil dan berkelanjutan.

  • Posisi Tawar (Bargaining Power): Dengan HKI yang jelas, komunitas dan Pemkab memiliki posisi tawar yang kuat saat berhadapan dengan industri (pariwisata, event organizer, media).
  • Dasar Regulasi Turunan: HKI ini menjadi payung hukum bagi Pemkab untuk mengeluarkan Perda atau Perbup yang mengatur skema lisensi. Misalnya, setiap event komersial berskala besar yang menggunakan “Tari Remo Boletan” dalam promosinya wajib memberikan kontribusi pada dana pelestarian komunitas.

Langkah Pengusulan HKI Tari Remo Boletan

Mewujudkan pengusulan HKI pada tahun 2025 membutuhkan peta jalan yang sistematis dan kolaboratif. Ini adalah kerja kolektif yang melibatkan pentahelix (Pemerintah, Komunitas, Akademisi, Media, dan Swasta).

Fase 1: Inisiasi, Konsolidasi, dan Musyawarah Komunitas

Langkah ini adalah fondasi. Tanpa ini, pengusulan akan gagal atau memicu konflik.

  1. Inisiator (Pemkab): Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) atau Dinas Pariwisata Jombang harus mengambil peran sebagai inisiator dan fasilitator.
  2. Rembug Budaya: Pemkab wajib mengumpulkan semua pemangku kepentingan: maestro-maestro sepuh, pimpinan sanggar-sanggar (baik yang besar maupun kecil), budayawan, akademisi, dan tokoh masyarakat terkait.
  3. Kesepakatan Kolektif: Forum ini bertujuan untuk (a) mensosialisasikan pentingnya HKI EBT, (b) mendapatkan persetujuan kolektif, dan (c) menegaskan bahwa ini adalah HKI Komunal, bukan milik perorangan atau satu sanggar. Ini penting untuk meredam potensi konflik (dibahas di Bagian 4).

Fase 2: Pembentukan Tim Ahli dan Kajian Komprehensif

Setelah ada kesepakatan, Tim Ahli atau Kelompok Kerja (Pokja) dibentuk.

  1. Komposisi Tim: Idealnya terdiri dari perwakilan Pemkab (fasilitator), perwakilan komunitas (maestro sebagai narasumber utama), dan akademisi/pakar seni (untuk metodologi penelitian dan penulisan naskah).
  2. Kajian Lapangan: Tim ini melakukan inventarisasi dan dokumentasi mendalam. Wawancara dengan maestro, merekam video gerak pakem, memotret detail busana, dan menganalisis iringan gending.
  3. Fokus pada Keunikan: Kajian ini harus fokus menjawab: “Apa pembeda utama Tari Remo Boletan dengan gaya Surabayan atau Malangan?” Keunikan inilah yang menjadi inti dari deskripsi HKI.

Fase 3: Penyusunan Naskah Deskripsi EBT

Semua hasil kajian di Fase 2 dituangkan dalam sebuah dokumen naratif yang komprehensif. Dokumen ini harus menjelaskan secara rinci:

  • Sejarah dan asal-usul (versi kolektif).
  • Filosofi dan nilai-nilai budaya.
  • Deskripsi detail elemen-elemen: gerak (ragam gerak), musik (gending, instrumen), busana (desain, makna), dan riasan.
  • Data maestro dan komunitas penjaganya.

Fase 4: Pengajuan Administratif ke DJKI

Ini adalah langkah formal yang dilakukan oleh Wali Data.

  1. Penunjukan Wali Data: Komunitas (melalui musyawarah) menunjuk Pemkab Jombang (misalnya, Bupati c.q. Kepala Disdikbud) sebagai Wali Data. Wali Data adalah entitas hukum yang mewakili kepentingan komunitas.
  2. Pengajuan Online: Wali Data mengisi formulir “Pencatatan Inventarisasi Kekayaan Intelektual Komunal” melalui sistem online DJKI.
  3. Pengunggahan Dokumen: Melampirkan Naskah Deskripsi EBT, foto, video, dan surat pernyataan dukungan dari komunitas.

Fase 5: Verifikasi, Publikasi, dan Penerbitan

  1. Pemeriksaan DJKI: DJKI akan memeriksa kelengkapan administrasi dan substansi (keunikan, kelengkapan data).
  2. Masa Pengumuman (Publikasi): Jika lolos, permohonan akan diumumkan di Berita Resmi KIK selama beberapa bulan. Tujuannya adalah memberi kesempatan kepada publik jika ada yang keberatan atau memiliki klaim tandingan.
  3. Pencatatan: Jika tidak ada keberatan yang sah, DJKI akan secara resmi mencatat Tari Remo Boletan dalam Inventarisasi Nasional KIK dan menerbitkan Surat Pencatatan Inventarisasi.

Dampaknya Terhadap Seniman Daerah Jika Disetujui

Persetujuan HKI EBT adalah “medali” yang memiliki dua sisi: sisi pemberdayaan dan sisi tanggung jawab. Dampaknya bagi seniman daerah akan sangat signifikan.

Dampak Positif (Pemberdayaan dan Kesejahteraan)

  1. Peningkatan Status dan Rekognisi: Seniman, terutama para maestro, akan mengalami kenaikan status sosial. Mereka bukan lagi sekadar “seniman panggung”, tetapi diakui negara sebagai “Maestro Penjaga EBT”. Ini meningkatkan harga diri mereka.
  2. Peningkatan Posisi Tawar (Bargaining Power): Dengan status HKI, para seniman (melalui paguyuban atau sanggar) memiliki posisi tawar yang lebih kuat dalam menentukan honorarium. Mereka tidak lagi bisa diremehkan dengan bayaran “sekadarnya” untuk sebuah karya yang dilindungi hukum.
  3. Prioritas dalam Program Pemerintah: Sanggar dan seniman Remo Boletan yang terdata akan menjadi prioritas utama dalam program-program pemerintah. Ini bisa berupa:
    • Fasilitasi bantuan alat (gamelan, kostum).
    • Undangan misi kebudayaan atau festival (dalam dan luar negeri).
    • Akses lebih mudah ke dana hibah kebudayaan (seperti Dana Indonesiana atau APBD).
  4. Lahirnya Mekanisme Benefit Sharing: Ini adalah dampak ekonomi paling konkret. Jika ada pemanfaatan komersial oleh pihak ketiga (misal, brand swasta), HKI menjadi dasar untuk menarik royalti atau lisensi. Dana ini wajib dikelola secara transparan oleh Wali Data dan dikembalikan ke komunitas untuk pembinaan, regenerasi, dan kesejahteraan seniman.

Potensi Tantangan dan Tanggung Jawab (Yang Harus Dimigrasi)

  1. Risiko Birokratisasi: Ada kekhawatiran bahwa HKI akan membuat seni menjadi kaku dan birokratis. “Mau pentas harus izin?” Ini adalah kesalahpahaman. HKI EBT tidak melarang komunitas mempraktekkan budayanya. Ia mengatur pemanfaatan komersial oleh pihak luar.
  2. Risiko Elitisme: Ada bahaya bahwa hanya sanggar-sanggar besar atau yang “dekat” dengan Pemkab yang akan menikmati manfaat HKI, sementara sanggar kecil di desa-desa terabaikan.
  3. Tanggung Jawab Pelestarian: Dengan status HKI, komunitas memiliki tanggung jawab moral dan legal untuk terus menghidupi EBT tersebut. Jika EBT tersebut punah karena tidak ada regenerasi, status HKI-nya hanya akan menjadi catatan sejarah.

Menangani Drama Saling Klaim Tari Remo Antar Seniman

Ini adalah isu paling sensitif dalam konteks Tari Remo. Remo adalah “milik bersama” Jawa Timur. Surabaya adalah “ibu”-nya Ludruk, dan Jombang serta Mojokerto adalah kantong-kantong penting perkembangannya. Bagaimana jika terjadi saling klaim?

1. Akar Masalah Klaim: Sejarah, Pakem, dan Ekonomi

Konflik “saling klaim” biasanya berakar pada tiga hal:

  • Klaim Historis: “Maestro kami yang menciptakan gaya ini pertama kali!”
  • Klaim Otentisitas (Pakem): “Gaya kami yang paling asli, gaya sanggar lain sudah rusak/inovasi!”
  • Kecemburuan Ekonomi: “Kenapa sanggar dia yang diundang? Kenapa dia yang dapat bantuan?”

2. Solusi 1: Fokus pada Spesifisitas (“Gaya Boletan”, Bukan “Remo”)

Ini adalah kunci hukumnya. Pengusulan HKI bukan untuk “Tari Remo” secara keseluruhan. Itu mustahil dan akan ditolak. Pengusulan ini adalah untuk “Tari Remo Gaya Boletan”.

  • Diplomasi Budaya (Eksternal): Pemkab Jombang harus proaktif berkomunikasi dengan Pemkot Surabaya, Pemkot Malang, dll. Pesannya adalah: “Kami mendaftarkan gaya khas kami (Boletan) untuk melindunginya. Kami sangat mendukung Surabaya mendaftarkan gaya Surabayan dan Malang mendaftarkan gaya Malangan.”
  • Analogi “Pohon”: Tari Remo adalah “pohon” besar milik bersama Jawa Timur. Gaya Boletan, Surabayan, dan Malangan adalah “cabang-cabang” yang sah dari pohon itu. Mendaftarkan HKI satu cabang tidak berarti merebut kepemilikan pohonnya.

3. Solusi 2: Musyawarah Inklusif (Internal)

Bagaimana jika klaim terjadi antar seniman di Jombang sendiri, yang sama-sama mengaku penganut gaya Boletan?

  • Kembali ke Fase 1 (Konsolidasi): Inilah mengapa musyawarah inklusif di awal sangat penting. Semua maestro dan sanggar harus dilibatkan.
  • Akui Keragaman Internal: Jika di dalam “gaya Boletan” sendiri ada 2-3 varian (sub-gaya) dari sanggar yang berbeda, maka Naskah Deskripsi HKI harus mengakui keragaman internal tersebut. Dokumen itu harus jujur mencatat: “Tari Remo Boletan di Jombang memiliki beberapa varian yang berkembang di Sanggar A dan Sanggar B, namun disatukan oleh pakem utama…”
  • HKI Milik Komunal: Tegaskan berulang kali: HKI ini milik komunal. Bukan milik Sanggar A atau Maestro B. Semua sanggar gaya Boletan di Jombang sama-sama pemilik sahnya.

4. Solusi 3: Keadilan Distribusi Manfaat (Pasca-HKI)

Kecemburuan ekonomi adalah pemicu konflik paling umum. Solusinya adalah transparansi dan keadilan dari Wali Data (Pemkab).

  • Paguyuban Bersama: Bentuk sebuah wadah/paguyuban/dewan kesenian yang anggotanya adalah perwakilan semua sanggar Remo Boletan.
  • Manajemen Partisipatif: Libatkan paguyuban ini dalam pengambilan keputusan. Misalnya, jika ada undangan festival, siapa yang berangkat diputuskan bersama (misal, bergilir atau kolaborasi).
  • Transparansi Dana: Jika ada pemasukan dari benefit sharing, alokasinya harus transparan dan diprioritaskan untuk pembinaan bersama, bukan untuk satu sanggar “elite”.

Sebuah Ikhtiar Menjaga Identitas

Pengusulan HKI Tari Remo Boletan sebagai Ekspresi Budaya Tradisi pada tahun 2025 adalah sebuah langkah yang mendesak sekaligus strategis. Ini bukan tentang memonopoli atau membekukan sebuah tarian, melainkan tentang memberi pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan.

Manfaatnya jelas: sebuah perisai hukum untuk melawan eksploitasi, sebuah katalisator untuk dokumentasi pakem, sebuah peneguh identitas untuk kebanggaan lokal, dan sebuah fondasi untuk kesejahteraan seniman yang lebih terstruktur.

Tantangan terbesarnya, ironisnya, bukan datang dari luar, tetapi dari dalam: potensi ego sektoral dan saling klaim. Namun, ini dapat dijernihkan dengan fokus pada spesifisitas (kita mendaftarkan “gaya”, bukan “keseluruhan”), inklusivitas (semua dilibatkan), dan keadilan (manfaat dibagi rata).

HKI adalah “pagar” hukum. Namun, pagar tidak ada artinya jika “rumah” di dalamnya kosong. Tugas terbesar pasca-pencatatan HKI adalah memastikan rumah itu tetap hidup: para maestro terus mewariskan ilmunya, generasi muda mau menerimanya, dan gongseng Tari Remo Boletan terus berbunyi nyaring, gagah, dan penuh karakter untuk generasi-generasi mendatang.

Tinggalkan Balasan