Sebuah Warisan di Simpang Jalan
Indonesia adalah mozaik peradaban yang tak terukur kekayaannya. Dari Sabang hingga Merauke, ribuan Ekspresi Budaya Tradisi (EBT) hidup, bernapas, dan menceritakan kisah tentang identitas, kearifan lokal, dan perjalanan sejarah sebuah komunitas. Di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, sebuah permata budaya tersembunyi namun sarat makna, berjuang untuk tetap relevan di tengah gempuran modernitas. Kesenian itu bernama Besutan.
Dikenal sebagai “Kota Santri”, Jombang tidak hanya menjadi pusat studi Islam, tetapi juga kantong subur bagi berbagai kesenian rakyat. Besutan, yang diyakini banyak pakar sebagai salah satu embrio dari kesenian Ludruk yang lebih populer, adalah representasi sejati dari spirit masyarakat Jombang. Ia adalah teater rakyat yang memadukan tarian (ngremo), kidungan, parikan jenaka, dan dialog-dialog yang sarat dengan kritik sosial yang cerdas.
Namun, seperti banyak EBT lainnya, Besutan menghadapi tantangan zaman. Regenerasi seniman yang tersendat, minimnya panggung, dan gempuran hiburan digital menempatkannya dalam posisi rentan. Menyadari hal ini, sebuah wacana krusial mengemuka: pengusulan Kesenian Besutan Jombang sebagai Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) dalam kategori Ekspresi Budaya Tradisi (EBT) pada tahun 2025.
Usulan ini bukan sekadar langkah administratif untuk mendapatkan selembar sertifikat. Ia adalah sebuah ikhtiar kolektif untuk memagari, merawat, dan memberdayakan warisan leluhur. Artikel ini akan membedah secara mendalam mengapa HKI (Hak Kekayaan Intelektual) menjadi vital bagi Besutan, apa saja manfaat fundamental yang ditawarkannya, bagaimana peta jalan pengusulannya, dan apa dampak jangka panjang yang diharapkan jika usulan ini berhasil disetujui.
Memahami Jiwa Kesenian Besutan Jombang
Sebelum melangkah lebih jauh ke ranah HKI, kita perlu memahami apa yang hendak kita lindungi. Apa itu Besutan? Besutan adalah sebuah bentuk teater rakyat tradisional yang lahir dan besar di Jombang. Namanya berasal dari kata “Besut”, yang merupakan nama tokoh utama dalam pertunjukan. Besut adalah karakter ikonik, seorang abdi yang cerdik, jenaka, namun setia, yang seringkali menjadi corong suara rakyat kecil.
Struktur pertunjukan Besutan biasanya sederhana namun padat. Dibuka dengan Tari Ngremo sebagai penghormatan, dilanjutkan dengan adegan bedholan (keluarnya para pemain), dan puncaknya adalah interaksi antara tokoh-tokoh sentral: Besut (sang protagonis), Rusmini (istri Besut yang cerewet namun suportif), dan terkadang tokoh antagonis atau “Tuan” yang mewakili kelas penguasa.
Keunikan Besutan terletak pada beberapa aspek:
- Kekuatan Lirik: Pertunjukan ini kaya akan kidungan (tembang) dan parikan (pantun) berbahasa Jawa yang spontan dan kontekstual. Isinya berkisar dari nasihat moral, sindiran sosial, hingga humor segar yang mengocok perut.
- Kritik Sosial yang Terbungkus: Besutan adalah panggung demokrasi rakyat. Melalui banyolan karakter Besut, kritik tajam terhadap pejabat, ketidakadilan, atau isu sosial yang sedang hangat disampaikan dengan cara yang halus (pasemon) sehingga bisa diterima tanpa menimbulkan konflik terbuka.
- Akar Ludruk: Banyak sejarawan seni percaya bahwa Besutan adalah salah satu bentuk teater transisi yang kemudian berkembang menjadi Ludruk. Karakter Besut dalam Ludruk modern adalah evolusi langsung dari tokoh Besut dalam kesenian ini.
Seiring waktu, eksistensi Besutan mulai tergerus. Maestro-maestro sepuh perlahan tiada, sementara generasi muda lebih akrab dengan gawai ketimbang gending. Kelompok-kelompok (sanggar) yang masih bertahan berjuang dengan pendanaan dan panggung yang terbatas. Di sinilah letak urgensi perlindungan. Tanpa intervensi yang sistematis, Besutan berisiko menjadi sekadar catatan kaki dalam buku sejarah budaya Jawa Timur. Pengusulan HKI EBT pada tahun 2025 adalah lonceng pengingat untuk segera bertindak.
Mengurai Manfaat: Mengapa Besutan Harus Didaftarkan HKI?
Banyak yang masih awam dengan konsep Kekayaan Intelektual Komunal (KIK). Berbeda dengan HKI personal seperti Hak Cipta atau Merek Dagang, KIK (dimana EBT bernaung) adalah pengakuan hukum atas kepemilikan kolektif suatu komunitas terhadap warisan budayanya. Di Indonesia, ini diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang secara spesifik mendedikasikan bab khusus untuk KIK.
Pengusulan HKI untuk Besutan sebagai EBT bukanlah tujuan akhir, melainkan alat strategis. Manfaat yang didapat bersifat multi-dimensi, mencakup aspek hukum, ekonomi, sosial, dan budaya.
1. Perisai Hukum dan Pencegahan Pembajakan Budaya (Apropriasi)
Manfaat paling fundamental adalah perlindungan hukum. Dengan dicatatkannya Besutan sebagai EBT milik masyarakat komunal Jombang di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), negara secara resmi mengakui orisinalitas dan kepemilikan Besutan.
Ini memberikan “perisai” terhadap berbagai ancaman:
- Klaim Pihak Lain: Mencegah daerah lain atau bahkan negara lain mengklaim Besutan sebagai milik mereka. Kita memiliki sejarah pahit tentang klaim budaya, dan HKI adalah benteng pertahanan pertama.
- Eksploitasi Komersial Tanpa Izin: Melindungi Besutan dari eksploitasi komersial yang merugikan. Bayangkan sebuah perusahaan multinasional menggunakan motif, tarian, atau karakter Besut dalam iklan global tanpa izin, tanpa konteks yang benar, dan tanpa memberikan kompensasi apa pun kepada komunitas Jombang. Status HKI memberikan dasar hukum bagi Pemkab Jombang (sebagai wali data) untuk menuntut atau menegosiasikan benefit sharing (pembagian manfaat).
- Distorsi dan Pelemahan Nilai: HKI membantu menjaga otentisitas. Dokumentasi yang menjadi syarat pengusulan HKI akan menjadi rujukan pakem (standar) dari kesenian tersebut, melindunginya dari distorsi yang dapat merusak nilai filosofisnya.
2. Katalisator Pelestarian dan Revitalisasi Budaya
Proses pengusulan HKI bukanlah sekadar mengisi formulir. Ia “memaksa” semua pemangku kepentingan untuk melakukan inventarisasi dan dokumentasi komprehensif. Ini adalah berkah tersembunyi.
Para akademisi, budayawan, maestro, dan Pemkab harus duduk bersama untuk meneliti sejarahnya, menuliskan narasi standar, mendokumentasikan gerak tari, mencatat notasi musik gending-nya, dan memotret ragam kostumnya. Proses ini sendiri adalah bentuk pelestarian yang paling konkret.
Setelah terdaftar, status HKI akan menjadi momentum untuk program revitalisasi yang lebih terstruktur. Pemerintah daerah akan memiliki “alasan” yang lebih kuat untuk mengalokasikan anggaran pembinaan sanggar, penyelenggaraan festival Besutan, atau memasukkannya ke dalam kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah Jombang.
3. Pengakuan, Peneguhan Identitas, dan Kebanggaan Lokal
Sertifikat HKI adalah stempel pengakuan (rekognisi) dari negara. Ini adalah penegasan bahwa Besutan adalah aset berharga, bukan hanya milik Jombang, tetapi juga bagian dari kekayaan nasional Indonesia.
Bagi masyarakat Jombang, terutama generasi muda, pengakuan ini akan menumbuhkan rasa memiliki dan kebanggaan (pride). Besutan bukan lagi “kesenian kuno” yang memalukan, tetapi warisan terhormat yang diakui secara hukum. Kebanggaan ini adalah bahan bakar utama untuk regenerasi. Anak-anak muda akan lebih termotivasi untuk belajar menari, ngidung, atau memainkan peran Besut.
4. Pintu Masuk Ekonomi Kreatif dan Pariwisata Budaya
Perlindungan HKI tidak berarti memuseumkan Besutan. Sebaliknya, ini adalah langkah awal untuk pemanfaatan ekonomi yang adil dan berkelanjutan.
Dengan status HKI yang jelas, Pemkab Jombang dapat mengembangkan skema pemanfaatan ekonomi kreatif. Misalnya:
- Paket Wisata Budaya: Wisatawan yang datang ke Jombang tidak hanya berziarah, tetapi juga dapat ditawari paket menyaksikan pertunjukan Besutan yang otentik.
- Lisensi dan Merchandising: Produk turunan seperti kaus, kerajinan tangan, atau motif batik yang terinspirasi dari karakter Besut dapat diproduksi secara legal. Sebagian keuntungan dari lisensi ini harus dikembalikan kepada komunitas (sanggar) untuk pembinaan.
- Pentas Kolaboratif: Status yang jelas memudahkan promotor atau penyelenggara acara (EO) besar untuk mengajak sanggar Besutan berkolaborasi dalam panggung nasional atau internasional, dengan kontrak dan honorarium yang layak.
Tanpa HKI, semua potensi ini rawan dieksploitasi tanpa manfaat yang jelas bagi komunitas penjaganya. HKI memastikan bahwa jika Besutan “dijual”, yang menjual adalah komunitasnya sendiri, dan mereka pula yang menikmati hasilnya.
Peta Jalan 2025: Langkah-Langkah Pengusulan HKI Besutan
Wacana pengusulan HKI Besutan pada tahun 2025 membutuhkan rencana aksi yang sistematis. Proses ini melibatkan kolaborasi pentahelix (Pemerintah, Komunitas, Akademisi, Media, dan Swasta). Berikut adalah langkah-langkah konkret yang harus ditempuh:
Fase 1: Inisiasi, Konsolidasi, dan Pembentukan Tim Ahli
- Inisiator Utama (Pemkab Jombang): Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) atau Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Jombang harus menjadi motor penggerak. Mereka menginisiasi wacana ini secara formal, mengalokasikan anggaran awal, dan memfasilitasi pertemuan.
- Menggandeng Komunitas: Langkah krusial adalah merangkul para maestro Besutan yang tersisa, pimpinan sanggar-sanggar, dan tokoh masyarakat. Mereka adalah pemilik EBT ini. Pengusulan harus datang dari mereka, bukan untuk mereka. Persetujuan dan partisipasi aktif mereka adalah syarat mutlak.
- Pembentukan Tim Ahli/Pokja (Kelompok Kerja): Dibentuk tim khusus yang terdiri dari:
- Perwakilan Pemkab (Disdikbud/Disporapar, Bagian Hukum).
- Perwakilan Komunitas (Maestro, Pimpinan Sanggar).
- Akademisi/Budayawan (dari universitas lokal seperti UNIPDU, UNHASY, atau pakar seni dari luar Jombang).
- Ahli Hukum HKI (jika diperlukan, untuk konsultasi).
- Dokumentator (Fotografer, Videografer).
Fase 2: Penelitian dan Dokumentasi Komprehensif
Ini adalah jantung dari proses pengusulan. Tim Ahli harus bekerja mengumpulkan data dan menyusun dokumen yang disebut “Deskripsi EBT”. Dokumen ini harus menjawab pertanyaan: Apa itu Besutan?
- Kajian Historis dan Filosofis: Menelusuri jejak sejarah kapan Besutan lahir, siapa tokoh-tokoh awalnya, dan apa nilai-nilai (filosofi, kritik sosial) yang terkandung di dalamnya.
- Deskripsi Unsur-Unsur Seni:
- Narasi: Menjelaskan alur cerita atau pakem yang umum dibawakan.
- Tokoh: Mendeskripsikan karakter setiap tokoh (Besut, Rusmini, dll), termasuk watak dan kostumnya.
- Musik: Mencatat instrumen yang digunakan (gamelan, kendang, dll) dan notasi gending-gending atau kidungan khas Besutan.
- Tarian: Mendeskripsikan ragam gerak tari, terutama ngremo gaya Jombang yang menjadi pembuka.
- Bahasa: Menganalisis penggunaan bahasa Jawa Jombangan, parikan, dan banyolan khasnya.
- Dokumentasi Visual dan Audio: Membuat rekaman video pertunjukan Besutan secara utuh, mengambil foto-foto detail kostum dan ekspresi, serta merekam audio kidungan.
- Data Maestro dan Komunitas: Mendata siapa saja maestro yang masih aktif, di mana saja sanggar-sanggar yang masih eksis, dan bagaimana proses regenerasi (pembelajaran) berlangsung.
Fase 3: Pengajuan Administratif ke DJKI
Setelah dokumen Deskripsi EBT lengkap dan komprehensif, proses formal dimulai:
- Pengisian Formulir: Tim (biasanya diwakili Pemkab Jombang) mengisi formulir permohonan “Pencatatan Inventarisasi Kekayaan Intelektual Komunal (KIK)” melalui sistem online DJKI (Kementerian Hukum dan HAM).
- Penunjukan Wali Data: Pemkab Jombang, dalam hal ini Bupati Jombang, akan bertindak sebagai Wali Data. Wali Data adalah entitas yang secara hukum mewakili kepentingan komunitas pemilik EBT tersebut.
- Lampiran Dokumen: Mengunggah dokumen Deskripsi EBT, foto, video, hasil kajian akademis, dan surat pernyataan dukungan dari komunitas adat/sanggar.
Fase 4: Proses Verifikasi dan Publikasi
- Pemeriksaan Formalitas: DJKI akan memeriksa kelengkapan administrasi.
- Pemeriksaan Substantif: Tim Ahli DJKI akan meninjau isi deskripsi, memastikan keunikan, orisinalitas, dan kelayakan Besutan sebagai EBT.
- Masa Pengumuman (Publikasi): Jika lolos pemeriksaan, permohonan ini akan diumumkan (dipublikasikan) di situs web resmi DJKI untuk jangka waktu tertentu (misalnya 3 bulan). Tujuannya adalah untuk memberi kesempatan kepada publik jika ada yang keberatan atau memiliki klaim tandingan.
- Pencatatan: Jika tidak ada keberatan yang sah selama masa publikasi, DJKI akan secara resmi mencatat Kesenian Besutan Jombang dalam Inventarisasi Nasional KIK dan menerbitkan Surat Pencatatan Inventarisasi.
Setelah Sertifikat Terbit: Dampak, Tantangan, dan Tanggung Jawab
Mendapatkan Surat Pencatatan Inventarisasi KIK pada tahun 2025 adalah sebuah kemenangan besar. Namun, ini bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah tanggung jawab baru. Dampak yang diharapkan sangat signifikan, namun datang dengan konsekuensi pekerjaan yang harus dilanjutkan.
Dampak Positif yang Diharapkan
- Kepercayaan Diri Kolektif: Secara psikologis, ini akan menjadi “suntikan moral” luar biasa bagi para seniman Besutan. Mereka akan merasa diakui, dihargai, dan karya mereka kini memiliki “stempel” resmi dari negara.
- Kerangka Hukum Pemanfaatan Ekonomi: Ini adalah dampak paling konkret. Pemkab Jombang kini memiliki landasan hukum yang jelas untuk:
- Menyusun Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Bupati (Perbup) tentang Pelindungan dan Pemanfaatan EBT Besutan.
- Membentuk skema lisensi. Jika ada pihak swasta (EO, stasiun TV, developer game) ingin menggunakan elemen Besutan, mereka harus melalui mekanisme resmi.
- Menerapkan Benefit Sharing: Memastikan bahwa setiap pendapatan yang timbul dari pemanfaatan komersial Besutan, sebagian wajib disetorkan ke kas daerah atau langsung ke dana pembinaan sanggar-sanggar Besutan.
- Prioritas Pendanaan: Proposal untuk festival, pelatihan, atau penelitian tentang Besutan akan memiliki bobot lebih. Baik untuk APBD Jombang, APBD Provinsi Jatim, maupun dana-dana kebudayaan dari Pemerintah Pusat (seperti Dana Indonesiana), status HKI ini menjadi nilai tambah yang signifikan.
- Alat Diplomasi Budaya: Besutan yang telah terdaftar HKI lebih mudah untuk “dijual” dalam misi kebudayaan ke luar negeri. Ini menjadi aset diplomasi Jombang dan Indonesia, menunjukkan kekayaan budaya yang otentik dan terlindungi hukum.
Tanggung Jawab dan Tantangan Pasca-Persetujuan
Status HKI EBT bersifat deklaratif dan berkelanjutan. Ia melindungi selama komunitasnya masih ada dan masih menghidupi budaya tersebut. Tantangannya adalah:
- EBT Bukan Paten (Tidak Kaku): HKI EBT tidak berarti Besutan “dikunci” dan tidak boleh berkembang. EBT adalah warisan yang hidup (living tradition). Ia boleh beradaptasi dengan zaman. Tantangannya adalah menemukan keseimbangan antara pelestarian pakem (yang didokumentasikan) dan ruang untuk inovasi agar tetap relevan bagi generasi muda.
- Tanggung Jawab Wali Data (Pemkab): Pemkab Jombang tidak boleh berhenti setelah sertifikat terbit. Mereka harus menjadi “orang tua” yang aktif:
- Membina: Terus mengalokasikan anggaran untuk pembinaan sanggar dan regenerasi maestro.
- Mempromosikan: Aktif menggelar acara, festival, dan menjadikan Besutan “wajah” budaya Jombang.
- Melindungi: Siap pasang badan jika terjadi pelanggaran atau eksploitasi di luar.
- Tanggung Jawab Komunitas: Para seniman Besutan kini memiliki tanggung jawab ganda. Selain terus berkesenian, mereka harus aktif dalam proses transfer knowledge (pewarisan) kepada generasi muda. Mereka tidak bisa lagi pasif menunggu “diundang”, tetapi harus proaktif “menawarkan” dan “mengajarkan”.
Kesimpulan: Sebuah Ikhtiar untuk Masa Depan
Pengusulan Kesenian Besutan Jombang sebagai Ekspresi Budaya Tradisi (EBT) pada tahun 2025 adalah sebuah langkah yang mendesak dan visioner. Ini adalah perwujudan dari kesadaran bahwa budaya bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga aset untuk masa depan.
Manfaat yang ditawarkan—mulai dari perisai hukum, katalisator pelestarian, hingga pemberdayaan ekonomi—jauh melampaui biaya dan usaha yang diperlukan untuk pengusulannya. Langkah-langkah pengusulan, yang dimulai dari konsolidasi komunitas hingga dokumentasi mendalam, adalah proses pelestarian itu sendiri.
Jika berhasil disetujui, dampak terbesarnya adalah memberikan Besutan keberlanjutan. Ia memberikan alat bagi Pemkab Jombang untuk melindungi, dan memberikan kebanggaan bagi masyarakatnya untuk terus menghidupi. HKI bukanlah tongkat sihir yang secara otomatis membuat Besutan jaya kembali, tetapi ia adalah fondasi hukum yang kokoh, di atasnya kita bisa membangun kembali rumah besar kebudayaan Jombang.
Pada akhirnya, melindungi Besutan adalah melindungi kearifan lokal, melindungi daya kritis masyarakat, dan melindungi sepotong jiwa Jombang agar tak lekang oleh waktu. Tahun 2025 harus menjadi momentum di mana Jombang secara kolektif berkata: “Besutan adalah milik kami, kami bangga, dan kami akan menjaganya.”