Di tengah pesatnya perkembangan zaman dan arus globalisasi yang kian mendominasi, sebuah kesenian tradisional bernama Gemblak Pojok Klitih tetap bertahan sebagai warisan budaya yang kaya di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Berlokasi di Desa Klitih, Kecamatan Plandaan, kesenian ini merupakan bentuk seni pertunjukan yang unik, menggabungkan elemen-elemen tradisional seperti kuda kepang atau kuda lumping, jaranan, genderwonan, celengan, bantengan, dan jepaplokan. Gemblak Pojok Klitih bukan sekadar hiburan rakyat, melainkan juga cerminan sejarah perjuangan, identitas budaya, dan spiritualitas masyarakat Jawa. Artikel ini akan mengulas secara mendalam tentang asal-usul, komponen pertunjukan, makna budaya, serta tantangan pelestarian kesenian ini di era modern.
Latar Belakang Sejarah
Gemblak Pojok Klitih tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah kolonialisme di Pulau Jawa. Pada awal abad ke-19, Belanda mulai memperkuat cengkeramannya atas tanah Jawa melalui berbagai kebijakan yang memicu perlawanan rakyat. Salah satu peristiwa besar yang menjadi inspirasi bagi kesenian ini adalah Perang Jawa (1825-1830), yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Perang ini merupakan salah satu pemberontakan terbesar melawan kolonialisme Belanda, melibatkan ribuan prajurit Jawa yang berjuang demi kemerdekaan dan martabat bangsanya. Meskipun perang ini berakhir dengan kekalahan dan pengasingan Pangeran Diponegoro, semangat perlawanannya terus hidup dalam berbagai ekspresi budaya, termasuk Gemblak Pojok Klitih.
Kesenian ini lahir sebagai wujud simbolis dari perjuangan rakyat Jawa. Elemen jaranan, misalnya, melambangkan pasukan berkuda Pangeran Diponegoro yang gagah berani melawan Belanda. Sementara itu, genderwonan, sebuah tarian bertopeng, diciptakan sebagai bentuk perlawanan halus terhadap penjajah, sekaligus sebagai sarana spiritual untuk memanggil kekuatan gaib. Dengan demikian, Gemblak Pojok Klitih tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga media untuk menyampaikan pesan perlawanan dan mempertahankan identitas budaya di tengah tekanan kolonial.
Asal Usul dan Lokasi
Gemblak Pojok Klitih berasal dari Desa Klitih, sebuah desa kecil di Kecamatan Plandaan, Kabupaten Jombang. Nama “Gemblak” merujuk pada jenis kesenian kuda kepang yang khas di wilayah ini, sedangkan “Pojok Klitih” menandakan asal-usulnya dari sudut tertentu di desa tersebut. Jombang sendiri dikenal sebagai salah satu pusat budaya di Jawa Timur, dengan tradisi seni yang beragam dan kaya akan nilai sejarah. Gemblak Pojok Klitih menjadi salah satu bukti betapa kuatnya akar budaya masyarakat setempat dalam menjaga warisan leluhur.
Pada awalnya, kesenian ini dimainkan oleh para petani dan warga desa sebagai hiburan setelah bekerja di sawah. Namun, seiring waktu, Gemblak Pojok Klitih berkembang menjadi pertunjukan yang lebih terstruktur, melibatkan berbagai elemen seni dan ritual. Pertunjukan ini biasanya digelar pada acara-acara khusus, seperti perayaan hari besar, ritual adat, atau penyambutan tamu penting. Hingga kini, kesenian ini tetap menjadi kebanggaan masyarakat Desa Klitih, meskipun tantangan modernisasi terus mengintai.
Komponen Pertunjukan
Keunikan Gemblak Pojok Klitih terletak pada perpaduan berbagai elemen seni yang saling melengkapi. Berikut adalah penjelasan rinci tentang masing-masing komponen pertunjukan:
1. Kuda Kepang atau Kuda Lumping
Kuda kepang atau kuda lumping adalah inti dari Gemblak Pojok Klitih. Dalam pertunjukan ini, para penari menunggangi replika kuda yang terbuat dari anyaman bambu, dihias dengan kain warna-warni. Mereka menari mengikuti irama musik tradisional, yang biasanya terdiri dari gamelan, kendang, dan gong. Gerakan tariannya energik dan dinamis, mencerminkan semangat prajurit berkuda dalam pertempuran. Salah satu ciri khas kuda kepang adalah fenomena trance atau kesurupan, di mana penari seolah-olah dirasuki roh dan menunjukkan kekuatan luar biasa, seperti memakan pecahan kaca atau berjalan di atas bara api.
2. Jaranan
Jaranan merupakan variasi dari kuda kepang yang lebih menonjolkan aspek naratif dan teatrikal. Dalam Gemblak Pojok Klitih, jaranan menggambarkan pasukan Pangeran Diponegoro yang berjuang melawan Belanda. Para penari mengenakan kostum prajurit tradisional, lengkap dengan senjata tiruan seperti tombak atau pedang. Gerakan mereka terkoordinasi dengan irama musik, menciptakan adegan pertempuran yang dramatis. Jaranan tidak hanya menghibur, tetapi juga mengedukasi penonton tentang sejarah perlawanan bangsa.
3. Genderwonan
Genderwonan adalah tarian bertopeng yang memiliki makna mendalam dalam Gemblak Pojok Klitih. Topeng yang digunakan biasanya menyerupai wajah hantu atau makhluk gaib, yang dalam kepercayaan Jawa dianggap memiliki kekuatan spiritual. Tarian ini diciptakan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Belanda, dengan topeng berfungsi untuk menyamarkan identitas penari sekaligus menakut-nakuti musuh. Selain itu, genderwonan juga mengandung unsur sindiran sosial terhadap kekejaman kolonial, menjadikannya simbol perjuangan yang halus namun penuh makna.
4. Celengan
Celengan adalah bagian dari pertunjukan yang menampilkan representasi celeng atau babi hutan. Penari celengan mengenakan kostum yang menyerupai babi hutan, lengkap dengan gerakan yang meniru perilaku hewan tersebut, seperti menggali tanah atau berlari liar. Dalam budaya Jawa, celeng melambangkan kegigihan dan keberanian, dua sifat yang diasosiasikan dengan perjuangan rakyat melawan penindasan. Atraksi celengan sering kali disertai dengan trance, menambah kesan mistis pada pertunjukan.
5. Bantengan
Bantengan menghadirkan representasi banteng, seekor hewan yang melambangkan kekuatan dan ketahanan dalam budaya Jawa. Penari bantengan mengenakan kostum berbentuk banteng, dengan tanduk besar dan gerakan yang gagah. Pertunjukan ini biasanya melibatkan adegan “pertarungan” simbolis antara bantengan dan penari lain, menggambarkan perlawanan terhadap kekuatan yang lebih besar. Seperti celengan, bantengan juga sering kali menampilkan penari dalam kondisi trance, yang diyakini sebagai wujud komunikasi dengan roh leluhur.
6. Jepaplokan
Jepaplokan adalah elemen interaktif dalam Gemblak Pojok Klitih yang melibatkan penonton. Dalam segmen ini, penari yang sedang trance berinteraksi langsung dengan penonton, misalnya dengan mendekati mereka, meminta sesuatu, atau melakukan atraksi kecil seperti memamerkan kekuatan fisik. Jepaplokan menambah dimensi hiburan dan keterlibatan komunitas, sekaligus memperkuat ikatan sosial antara penari dan penonton.
Makna Budaya dan Spiritual
Gemblak Pojok Klitih bukan sekadar pertunjukan seni, tetapi juga ritual yang sarat dengan makna budaya dan spiritual. Fenomena trance yang sering terjadi dalam kuda kepang, celengan, dan bantengan diyakini sebagai bentuk komunikasi dengan dunia gaib. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa roh leluhur atau kekuatan supranatural turun untuk memberkati dan melindungi komunitas selama pertunjukan. Prosesi ini biasanya didahului dengan doa atau sesajen, menegaskan dimensi spiritual dari kesenian ini.
Dari sisi budaya, Gemblak Pojok Klitih menjadi simbol identitas dan kebanggaan masyarakat Desa Klitih. Pertunjukan ini mengajarkan nilai-nilai seperti keberanian, persatuan, dan cinta tanah air, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam konteks sejarah, kesenian ini juga mencerminkan semangat perlawanan terhadap penjajahan, menjadikannya lebih dari sekadar tradisi lokal, tetapi juga bagian dari narasi besar perjuangan bangsa Indonesia.
Deskripsi Sebuah Pertunjukan
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, bayangkan sebuah pertunjukan Gemblak Pojok Klitih di lapangan desa pada malam hari. Cahaya obor menerangi panggung sederhana, sementara irama gamelan dan kendang menggema di udara. Pertunjukan dimulai dengan kuda kepang, di mana empat penari dengan kuda bambu melompat dan berputar dengan lincah. Tiba-tiba, salah satu penari mulai bergetar dan berteriak, menandakan masuknya roh ke dalam tubuhnya. Penonton berdecak kagum saat ia memakan pecahan kaca tanpa terluka.
Kemudian, jaranan mengambil alih panggung. Para penari yang mengenakan kostum prajurit menampilkan adegan pertempuran melawan “musuh” yang diperankan oleh penari lain. Di sudut lain, genderwonan muncul dengan topeng menyeramkan, menari dengan gerakan lambat namun penuh makna, seolah menyindir kekuatan kolonial yang pernah menindas. Tak lama setelah itu, celengan dan bantengan memasuki arena, menampilkan atraksi kekuatan dan keberanian yang memukau penonton. Pertunjukan ditutup dengan jepaplokan, di mana penari trance berjalan ke arah penonton, menciptakan suasana meriah sekaligus tegang.
Tantangan dan Pelestarian di Era Modern
Di tengah arus modernisasi, Gemblak Pojok Klitih menghadapi berbagai tantangan. Generasi muda cenderung lebih tertarik pada hiburan modern seperti musik pop atau permainan digital, sehingga minat terhadap kesenian tradisional ini menurun. Selain itu, kurangnya dukungan finansial dan infrastruktur juga menjadi hambatan dalam melestarikan pertunjukan ini. Banyak kelompok seni lokal bergantung pada swadaya masyarakat, yang sering kali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kostum, alat musik, dan latihan.
Namun, ada harapan di balik tantangan tersebut. Para pelaku seni dan tokoh masyarakat di Desa Klitih terus berupaya melestarikan Gemblak Pojok Klitih dengan mengajarkannya kepada anak-anak muda. Beberapa kelompok seni juga mulai memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan pertunjukan mereka, menarik perhatian generasi milenial. Pemerintah daerah dan akademisi turut berkontribusi melalui dokumentasi dan penelitian, memastikan bahwa kesenian ini tidak hilang ditelan zaman.
Kesimpulan
Gemblak Pojok Klitih adalah permata budaya dari Jombang yang menggabungkan keindahan seni, kekayaan sejarah, dan kedalaman spiritualitas. Dari kuda kepang yang energik hingga genderwonan yang penuh makna, setiap elemen pertunjukan ini mencerminkan jiwa perjuangan dan identitas masyarakat Jawa. Di era modern, menjaga kelestarian Gemblak Pojok Klitih adalah tanggung jawab bersama—bukan hanya untuk melestarikan tradisi, tetapi juga untuk menghormati warisan leluhur dan menginspirasi generasi mendatang. Dengan upaya kolektif, kesenian ini akan terus hidup, menjadi saksi bisu perjalanan panjang bangsa Indonesia.
