Hati manusia selalu berubah, sama seperti halnya keberadaan matahari yang setia terbit di sebelah timur dengan pergeseran yang tak kasat mata. Apa yang terlihat sebagai hal biasa, boleh jadi hal itu menyimpan ketidakbiasaan. Dan dulu kita pernah berada pada posisi seiya sekata untuk meneguhkan diri pada perjuangan bersama. Semua seolah terlupa. Mungkin karena khilafku, atau juga karena egomu.
Pada senja yang temaram itu kita berdua terlibat perbincangan yang menarik. Engkau tampak tenang duduk beralas rumput di pusat kota. Aku pun dengan setia menunggumu berbicara. Percakapan hari itu seolah menjadi titik puncak kebersamaan kita. Aku yang selalu membangunkan mimpi indah untukmu, namun dengan sekejap mata engkau membuyarkan dengan menampiknya.
Tidak semestinya memang, tak ada guna membicarakan semua itu. Mengubah masa lalu seperti mengembalikan bayi ke dalam rahim sang ibu. Namun aku kembali terpenjara dalam kubangan dilema manakala waktu dan masa mempertemukan kita kembali. Seolah mengulang segala yang sudah berlalu. Jika aku boleh memilih, tentu saja aku ingin membuangmu sejauh mungkin. Atau bila aku tak mampu melakukannya, lebih baik kau menghabiskan segenap jatah pertemuan kita.
Aku selalu yakin hal yang berawal dengan kebaikan akan menghasilkan kebaikan pula. Seburuk apapun penilaianmu padaku, dan sejelek apapun aku menganggapmu, tetap saja semua langkah kembali padamu. Aku sadari bahwa masih ada kata sepakat dalam diri kita masing-masing. Hanya saja semuanya masih perlu dibuktikan kebenarannya. Memandang bintang setelah isya dan menguras keringat di pagi hari. Aku tahu semua akan kembali lagi.
Kerjasama dlm hidup mutlak diperlukan.
Perbedaan itu indah.