Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, merupakan salah satu wilayah yang menjadi rumah bagi masyarakat Suku Tengger, etnis Jawa yang mendiami dataran tinggi kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Suku Tengger tersebar di empat kabupaten, yaitu Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang, dengan Gunung Bromo sebagai pusat spiritual dan budaya mereka. Di tengah keindahan alam pegunungan yang dramatis, masyarakat Tengger mempertahankan warisan budaya yang kaya, termasuk sistem pengetahuan tradisional yang unik.
Salah satu elemen penting dalam kehidupan masyarakat Tengger di Probolinggo adalah Tradisi Mecak Tengger. Mecak bukanlah upacara ritual seperti Yadnya Kasada yang terkenal, melainkan sistem perhitungan kalender adat yang menjadi fondasi untuk menentukan waktu pelaksanaan berbagai upacara besar. Istilah “mecak” merujuk pada fenomena “bertemunya dua tanggal” dalam penanggalan Tengger, di mana satu hari memiliki dua nomor tanggal karena penyesuaian antara siklus bulan dan matahari. Tradisi ini telah menjadi pengetahuan turun-temurun yang mengatur ritme kehidupan spiritual, pertanian, dan sosial masyarakat Tengger.
Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang Tradisi Mecak Tengger di Kabupaten Probolinggo, mulai dari asal-usulnya, perbedaannya dengan Yadnya Kasada dan Entas-Entas, perkembangannya, nilai sebagai pengetahuan tradisional, hingga hambatan dalam pelestariannya. Melalui pemahaman ini, kita dapat menghargai bagaimana Mecak Tengger menjadi “jantung” yang memompa kehidupan budaya Tengger hingga kini.
Asal-Usul Tradisi Mecak Tengger di Kabupaten Probolinggo
Asal-usul Tradisi Mecak Tengger tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang Suku Tengger itu sendiri. Masyarakat Tengger diyakini sebagai keturunan Kerajaan Majapahit yang mengungsi ke pegunungan Tengger pada abad ke-15 saat kerajaan tersebut runtuh akibat serangan kerajaan-kerajaan Islam. Legenda Rara Anteng (putri Raja Majapahit) dan Jaka Seger menjadi narasi utama asal-usul suku ini, di mana nama “Tengger” berasal dari akhiran nama mereka (“Teng” dari Anteng dan “Ger” dari Seger). Pengungsi Majapahit membawa serta tradisi Hindu-Buddha yang bercampur dengan kepercayaan lokal animisme-dinamisme, termasuk sistem kalender kuno.
Sistem kalender Tengger, yang menjadi dasar Mecak, merupakan adaptasi dari kalender Saka (?aka) warisan Hindu Jawa kuno, dipadukan dengan pengamatan astronomi lokal. Kalender ini memiliki 12 bulan dengan nama unik: Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawolu, Kasangka, Kasadasa, Dhesta, dan Sadha. Setiap bulan memiliki 30 hari, tetapi dibagi menjadi penanggal (1-15, fase bulan terang) dan panglong (16-30, fase bulan gelap). Untuk menyelaraskan dengan tahun matahari (365 hari), setiap lima tahun (satu windu dalam hitungan Tengger) ada tahun kabisat atau “tahun manis” dengan 13 bulan, di mana satu bulan digandakan (biasanya Karo, Kalima, atau Dhesta).
Fenomena “mecak” muncul saat penyesuaian ini: dua tanggal bertemu dalam satu hari, misalnya tanggal 30 diikuti langsung oleh tanggal 1 bulan berikutnya, atau ada hari dengan dua tanggal. Perhitungan mecak dilakukan melalui pengetahuan khusus yang disebut mbondan, ilmu menghitung hari baik-buruk dan waktu upacara. Pengetahuan ini diwariskan secara lisan oleh dukun pandita (pemuka adat) dan sesepuh desa di wilayah Probolinggo, seperti Ngadisari, Wonotoro, dan Jetak di Kecamatan Sukapura.
Di Kabupaten Probolinggo, yang memiliki populasi Tengger signifikan, mecak menjadi acuan utama untuk upacara seperti Unan-Unan (setiap 5 tahun di bulan Dhesta ganda) dan penentuan tanggal Kasada. Asal-usulnya diperkuat oleh prasasti kuno seperti Prasasti Walandhit (929 M) dan Prasasti Penanjakan (1405 M), yang menunjukkan bahwa pegunungan Tengger sudah menjadi tempat suci dengan tradisi kalender sejak era Majapahit.
Perbedaan Tradisi Mecak Tengger dengan Yadnya Kasada dan Entas-Entas Tengger
Tradisi Mecak Tengger sering disalahpahami sebagai upacara ritual, padahal ia adalah sistem pengetahuan kalender yang mendukung pelaksanaan ritual lain. Berikut perbedaannya dengan dua tradisi besar Tengger:
- Mecak Tengger vs Yadnya Kasada:
- Mecak: Bukan ritual, melainkan metode perhitungan waktu. Dilakukan secara individu atau kelompok kecil oleh dukun untuk menentukan tanggal tepat upacara. Tidak melibatkan sesajen massal atau kerumunan besar.
- Yadnya Kasada: Upacara tahunan terbesar pada bulan Kasadasa (bulan ke-12), tanggal 14-15 purnama. Dilaksanakan di Pura Luhur Poten dan kawah Bromo, dengan melempar sesajen (ongkek, hewan, hasil bumi) ke kawah sebagai ucapan syukur dan permohonan keselamatan. Berasal dari janji Rara Anteng-Jaka Seger untuk mengorbankan anak bungsu (Raden Kusuma). Mecak hanya sebagai “pemandu waktu” untuk Kasada.
- Mecak Tengger vs Entas-Entas:
- Mecak: Fokus pada astronomi dan matematika kalender untuk hari baik.
- Entas-Entas: Ritual kematian untuk “mengentas” (mengangkat) roh leluhur agar mencapai moksa. Dilakukan saat ada kematian atau selamatan tahunan, dengan tahapan seperti ngresik (membersihkan tulang), mepek, mbeduduk (mensucikan hewan kurban), lukatan, dan bawahan. Melibatkan pembakaran petra (boneka simbol jenazah) dan mengembalikan unsur tubuh (tanah, air, api, angin) ke alam. Mecak digunakan untuk menentukan waktu entas-entas agar sesuai siklus kosmik.
Singkatnya, Mecak adalah “otak” penentu waktu, sementara Kasada dan Entas-Entas adalah “tubuh” ritual yang dieksekusi berdasarkan hasil mecak.
Perkembangan Tradisi Mecak Tengger di Kabupaten Probolinggo
Sejak era Majapahit, Mecak Tengger berkembang sebagai alat sinkronisasi kehidupan dengan alam. Pada masa kolonial Belanda, tradisi ini tetap lestari meski ada tekanan kristenisasi. Pasca-kemerdekaan, pada 2016-2017, Mecak Tengger (bersama Entas-Entas) ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menandai pengakuan nasional.
Di Probolinggo, perkembangan terlihat dari dokumentasi mbondan oleh dukun seperti di Ngadisari dan Sukapura. Generasi muda mulai belajar mecak melalui sanggar adat, meski masih lisan. Pengaruh teknologi membuat beberapa dukun mencatat hasil mecak hingga 5-10 tahun ke depan. Namun, integrasi dengan kalender Masehi untuk wisata Bromo membuat mecak semakin penting sebagai identitas unik.
Tradisi Mecak Tengger sebagai Pengetahuan Tradisional
Mecak Tengger adalah bentuk pengetahuan tradisional (indigenous knowledge) yang luar biasa. Ia mencakup astronomi, matematika, dan filsafat Hindu-Jawa. Melalui mbondan, masyarakat belajar menghitung windu (5 tahun), wetu (hari lahir), dan neptu (nilai numerik hari). Pengetahuan ini menentukan hari baik untuk tanam, panen, nikah, atau upacara, mencerminkan harmoni manusia-alam-dewa.
Sebagai warisan takbenda, mecak mendukung keberlanjutan budaya Tengger, termasuk di Probolinggo di mana dukun pandita masih menjadi penjaga utama. Ia juga menjadi simbol ketahanan budaya di tengah globalisasi.
Hambatan Pelestarian Tradisi Mecak Tengger di Kabupaten Probolinggo
Meski kuat, pelestarian Mecak Tengger menghadapi tantangan:
- Regenerasi Pengetahuan: Mbondan bersifat lisan dan rahasia, hanya diwariskan ke dukun terpilih. Generasi muda lebih tertarik pendidikan formal dan migrasi ke kota, menyebabkan sedikit peminat.
- Pengaruh Modernitas: Kalender digital dan globalisasi membuat mecak kurang relevan bagi anak muda. Beberapa desa di Probolinggo bagian bawah sudah meninggalkan adat Tengger karena perkawinan campur atau konversi agama.
- Dampak Pariwisata: Wisata Bromo membawa ekonomi, tapi juga mengkomersialisasi ritual, mengaburkan esensi mecak sebagai ilmu sakral.
- Kurangnya Dokumentasi: Tanpa catatan tertulis lengkap, risiko hilangnya pengetahuan tinggi jika dukun senior meninggal.
- Perubahan Iklim dan Lingkungan: Perubahan pola musim mengganggu akurasi pengamatan astronomi tradisional.
Upaya pelestarian seperti workshop mbondan dan pengakuan UNESCO (sebagai bagian budaya Tengger) sedang digalakkan, tapi butuh dukungan pemerintah dan masyarakat.
Kesimpulan
Tradisi Mecak Tengger di Kabupaten Probolinggo adalah mahakarya pengetahuan adat yang menjaga ritme kehidupan Suku Tengger. Dari asal-usul Majapahit hingga pengakuan nasional, mecak bukan sekadar kalender, melainkan jiwa budaya yang membedakan Tengger dari suku lain. Di tengah hambatan modernitas, pelestarian mecak menjadi tanggung jawab bersama untuk menjaga warisan leluhur tetap hidup. Dengan memahami dan menghargai mecak, kita turut melestarikan kekayaan budaya Indonesia yang tak ternilai.