Desa Tunggorono adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur. Desa ini memiliki luas wilayah sekitar 1.200 hektar dan jumlah penduduk sekitar 12.000 jiwa. Desa Tunggorono memiliki sejarah yang panjang dan menarik, yang berkaitan dengan asal-usul nama desanya.
Menurut cerita rakyat, nama Tunggorono berasal dari kata “tunggu” dan “goro-goro”, yang berarti menunggu guntur. Hal ini dikarenakan pada zaman dahulu, ada seorang raja yang bernama Prabu Brawijaya V, yang memerintah Kerajaan Majapahit. Raja ini memiliki seorang putri yang cantik dan bijaksana, yang bernama Dewi Sekartaji. Dewi Sekartaji sangat dicintai oleh ayahnya, sehingga raja tidak mau menikahkannya dengan siapa pun.
Suatu hari, ada seorang pangeran dari Kerajaan Blambangan, yang bernama Raden Panji Asmoro Bangun, yang datang ke Majapahit untuk melamar Dewi Sekartaji. Raden Panji adalah seorang pangeran yang gagah dan tampan, serta memiliki banyak kelebihan. Ia juga sangat mencintai Dewi Sekartaji, dan ingin menjadikannya istri. Namun, Prabu Brawijaya tidak setuju dengan lamaran Raden Panji, karena ia merasa bahwa putrinya terlalu baik untuk dinikahkan dengan pangeran dari kerajaan bawahan.
Prabu Brawijaya kemudian memberikan syarat yang sangat sulit kepada Raden Panji, yaitu ia harus membawa air suling dari tujuh mata air di tujuh gunung berbeda, dalam waktu satu hari. Jika Raden Panji berhasil, maka ia boleh menikahi Dewi Sekartaji. Namun, jika gagal, maka ia harus meninggalkan Majapahit selamanya.
Asal-usul Desa Tunggorono
Versi pertama menyebutkan bahwa nama Tunggorono berasal dari kata “tunggu” dan “rono”, yang berarti menunggu raja. Menurut versi ini, desa ini dulunya adalah tempat persinggahan para raja dari Kerajaan Majapahit yang hendak menuju ke arah timur. Para raja biasanya menunggu di desa ini sampai cuaca cerah dan aman untuk melanjutkan perjalanan. Oleh karena itu, desa ini disebut Tunggorono, yang artinya tempat menunggu raja.
Versi kedua menyebutkan bahwa nama Tunggorono berasal dari kata “tunggul” dan “rono”, yang berarti tunggul kayu yang sudah lapuk. Menurut versi ini, desa ini dulunya adalah hutan belantara yang dipenuhi dengan tunggul-tunggul kayu yang sudah lapuk dan busuk. Suatu hari, ada seorang pendeta yang datang ke desa ini untuk bertapa. Dia melihat banyak tunggul kayu yang sudah lapuk dan busuk, dan berkata, “Ini adalah Tunggul Rono”. Nama itu kemudian melekat pada desa ini.
Versi ketiga menyebutkan bahwa nama Tunggorono berasal dari kata “tonggo” dan “rono”, yang berarti tongkat yang sudah tua. Menurut versi ini, desa ini dulunya adalah tempat tinggal seorang kakek tua yang memiliki tongkat ajaib. Tongkat itu bisa mengeluarkan air jika dipukul ke tanah. Kakek tua itu sering membantu para petani di desa ini dengan memberikan air dari tongkatnya. Para petani menghormati kakek tua itu dan menyebutnya Tonggo Rono, yang artinya tongkat yang sudah tua.