Asal-usul Kerajaan Pulau Majeti dan Legenda Ki Selang Kuning (Bagian 6)

Pembangunan istana Kerajaan Pulau Majeti oleh para anak buah Prabu Selang Kuning
Pembangunan istana Kerajaan Pulau Majeti oleh para anak buah Prabu Selang Kuning

Cerita rakyat mengenai Kerajaan Pulau Majeti ini merupakan edisi bahasa Indonesia dari buku Karajaan Pulo Majeti yang ditulis dalam bahasa Sunda. Meskipun buku ini merupakan hasil terjemahan Bahasa Sunda, isi cerita buku ini tidak terlalu banyak berubah. Akan tetapi, dalam penyajiannya sedikit agak dibedakan. Hal itu supaya tidak terlalu menjemukan pembaca. The Jombang Taste menyajikan untuk Anda dengan harapan dapat menambah wawasan terhadap sejarah Nusantara. Selamat membaca.

Baca cerita sebelumnya: Asal-usul Kerajaan Pulau Majeti dan Legenda Ki Selang Kuning (Bagian 5)

Menata Pulau Majeti

Atas jasa-jasa Ki Selang Kuning yang tak diragukan lagi bagi pengabdiannya, maka Prabu Raksabuana menganugerahkan jabatan Patih Kerajaan Galuh beberapa waktu yang lalu. Pengangkatan jabatan patih itu disambut baik oleh Ki Selang. Dia menerima jabatan ini bukan karena gila pangkat, tapi karena rasa cintanya kepada rakyat Kerajaan Galuh.

Selain itu, karena Ki Selang sendiri bertekad untuk terus mengabdikan dirinya untuk Kerajaan Galuh. Saat ini Ki Selang Kuning dipanggil oleh Prabu Raksabuana untuk merundingkan masalah lainnya lagi.

“Begini, Ki Patih,” kata Prabu Raksabuana memulai bicara. “Kami sengaja memanggilmu. Wilayah kerajaan kita ini memang luas. Bahkan lebih dari itu, bila dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan lainnya. Kita pun bersyukur wilayah Kerajaan Galuh ini subur. Sementara rakyat kita hidup aman dan berkecukupan. Tapi, kami ingin mengetahui pula bagaimana pendapatmu.”

“Ampun beribu ampun, Paduka. Apa yang Paduka katakan semuanya benar. Demikianlah kenyataannya. Hamba beserta pegawai lainnya selalu mengontrol tiap daerah dengan saksama. Dan untuk saat ini tak ada lagi yang perlu dirisaukan oleh Paduka,” demikian kata Ki Selang Kuning memberitahukan keadaan wilayah kerajaan.

“Namun demikian, kita harus tetap waspada …” ujar Ki Selang Kuning.

“Waspada? Waspada terhadap apa, Ki Patih? Bukankah kerajaan kita termasuk kerajaan besar? Dan siapa pula yang akan berani mengganggu Kerajaan Galuh. Bukankah tentara Kerajaan Galuh cukup kuat?” tanya Sang Raja.

“Betul, Paduka. Hal itu tidak salah. Tapi, maksud hamba, kita harus selalu waspada kepada keadaan wilayah sendiri …” kata Ki Selang.

“Tapi, bukankah wilayah kita sekarang  sudah aman? Gangguan seperti perampokan kini sudah tidak ada lagi, kan?” demikian kata-kata itu meluncur dari Prabu Raksabuana.

“Tidak salah, Paduka.” jawab Ki Selang Kuning dengan suara pelan, “yang hamba maksudkan yaitu kita harus waspada pula dengan keadaan cuaca. Saat ini cuaca sedang kemarau. Jadi, untuk menghadapi musim hujan, jelas kita harus waspada. Dan untuk hal ini, kami sudah menugaskan bagian irigasi dan bagian pengamanan daerah.”

“Syukur kalau begitu. Tapi, ada yang lebih penting untuk dibicarakan, sehingga kau dipanggil kemari,” kata Prabu Raksabuana dengan wajah serius.

“Apakah ada yang salah, Tuanku. Atau ada yang tidak beres?” tanya Ki Selang Kuning dengan perasaan ingin mengetahui.

“Tidak, tidak. Tidak ada yang salah. Semuanya kami lihat beres-beres saja. Tapi, yang jelas kami ingin memperluas wilayah.”

“Memperluas wilayah?” tanya Ki Selang Kuning seperti keheranan.

“Bukankah, Tuanku Paduka tadi berujar bahwa wilayah kerajaan kita cukup luas, subur, dan rakyat pun tak kekurangan bahan pangan?”

“Itu betul,” jawab Prabu Raksabuana.

“Maksud kami yaitu ingin memperluas wilayah agar terus produktif. Tiap jengkal tanah di wilayah ini kalau bisa harus menghasilkan. Dan yang paling utama, di tempat ini harus selalu berpenghuni, sehingga keamanan dapat terjamin,” ujar Sang Raja.

“Kalau hal itu yang jadi pikiran Tuanku Prabu, malah hamba sudah memiliki saran. Tapi, itu pun jika Tuan Prabu berkenan,” kata Patih Selang.

“Coba katakanlah, Patih! Kami ingin segera mengetahui saranmu itu.”

“Baiklah, Tuanku Prabu. Sebelumnya hamba mohon ampun bila ada kata-kata yang tidak berkenan. Begini, menurut pengamatan kami. Ternyata yang Tuanku Prabu pikirkan tak berlebihan. Bagaimana kalau wilayah Pulau Majeti ditata. Siapa tahu Pulau Majeti yang selama ini tidak diperhatikan itu dapat menghasilkan.”

Ki Selang Kuning berhenti sejenak sambil menanti tanggapan dari Prabu Raksabuana. Dia berharap semoga kata-katanya bisa berkenan di hati raja. Dan mendengar penuturan patihnya, Prabu Raksabuana seketika tampak gembira. Hal ini bisa terlihat dari roman wajahnya yang berseri-seri.

“Tepat sekali, Patih. Apa yang kaukatakan sependapat dengan pikiran kami,” sahut raja.

“Tapi, bukan hanya sampai di situ saja persoalannya. Masih ada yang harus kita pikirkan. Misalnya, tenaga kerja untuk membuka daerah Pulau Majeti. Siapa yang bisa mengurus daerah itu. Padahal wilayah Pulau Majeti hanya bertanah rawa-rawa. Tumbuh-tumbuhan rasa-nya tak ada yang mau tumbuh di sana.”

“Apabila hal itu yang jadi pikiran Tuanku Prabu selama ini, menurut hamba tak usah berkecil hati. Hamba sanggup menanggulangi hal itu.”

“Kami percaya, Ki Patih. Untuk membuka wilayah itu butuh banyak tenaga kerja. Tapi, untuk menghuni Pulau Majeti rasanya siapa orangnya yang mau. Pulau itu jauh dari keramaian. Tempat itu terpencil dari berbagai kegiatan manusia.”

“Baiklah, Tuanku Prabu,” Ki Selang Kuning setengah memotong kata-kata Prabu Raksabuana.

“Persoalan itu janganlah jadi pikiran. Hamba pribadi bersedia membuka wilayah Pulau Majeti. Hamba pun bersedia jadi penghuni pulau tersebut. Hamba yakin bahwa suatu ketika Pulau Majeti akan ramai dihuni penduduk.”

Mendengar kesediaan Ki Selang Kuning, Patih Galuh yang berprestasi ini, Prabu Raksabuana benar-benar sangat bahagia. Dia benar-benar menghargai tekad serta semangat patihnya yang setia. Ki Selang Kuning memang berwatak pantang menyerah sebelum melaksanakan niatnya.

“Ki Patih Selang Kuning, kami menghargai tekad, semangat, serta pengabdianmu untuk Galuh,” ucap Prabu Raksabuana.

“Tapi, kapan kira-kira pelaksanaannya. Hal ini perlu juga persiapan.”

“Baiklah, Tuanku Prabu,” jawab Ki Selang Kuning dengan tenang, “Kalau dapat restu, hamba dan para pegawai akan berangkat beberapa hari lagi. Besok dan lusa akan hamba pergunakan untuk mempersiapkan perlengkapannya. Dan apabila berhasil, tentu saja kami akan kirimkan hasil-hasil dari Pulau Majeti.”

“Kami menghargai kesediaanmu membuka pulau itu, Ki Patih. Kami hanya bisa berdoa. Semoga kau berhasil. Dan mulai saat ini kau kuangkat sebagai wakilku di wilayah Pulau Majeti.”

“Terima kasih, Gusti Prabu,” pungkas Ki Selang.

Perjalanan ke Pulau Majeti

Matahari pagi baru saja keluar dari sela-sela gunung. Hari benar-benar tampak cerah. Embun-embun pagi masih bergelayutan di daun-daun. Kelap-kelip embun itu bagaikan manik-manik indah. Saat itu rombongan rakyat Galuh sedang bergerak menyusuri jalanan desa. Rombongan itu langsung dipimpin oleh Patih Kerajaan Galuh sendiri yang bernama Ki Selang Kuning.

Sementara rakyat yang terlewati rombongan itu memberikan semangat dan mengelu-elukan dengan melambai-lambaikan tangan. Seluruh rakyat Galuh mengetahui bahwa rombongan yang dipimpin Ki Selang Kuning itu akan menuju ke Pulau Majeti. Bahkan tidak sedikit di antara mereka memberikan berbagai bekal kepada rombongan tersebut. Hal itu sebagai tanda kekeluargaan sehidup semati di antara rakyat Kerajaan Galuh.

Walau perjalanan masih jauh, akan tetapi rombongan itu tidak memperlihatkan rasa lelah. Malah wajah mereka tampak tetap berseri-seri sepanjang perjalanan. Ini berkat kepemimpinan dari rombongan itu. Bahkan ini memang sudah jadi tekad mereka untuk membaktikan diri kepada kerajaan.

Oleh karena itu pula, sepanjang perjalanan, mereka tidak lepas sambil bersenda gurau. Atau di antara mereka tak segan-segan membuat hal-hal yang lucu, sehingga dapat melupakan keletihan. Ternyata dalam tiap dada pengikut rombongan itu terpendam semangat baja. Apapun yang terjadi, mereka siap berjuang untuk menaklukkan berbagai rintangan. Mereka tidak akan mundur berjuang.

Mereka takkan memusuhi alam. Tapi, mereka harus berkawan dengan alam. Itu adalah tekad rombongan yang akan membuka, menata, meniti, dan mendiami wilayah Pulau Majeti yang selama ini belum pernah dihuni penduduk.

Kesetiaan Penduduk Galuh

Hari masih pagi sekali, tapi berpuluh-puluh orang tampak sedang membuka hutan. Salah seorang dari mereka yang ternyata pimpinannya, tampak tidak tinggal diam. Ia turut serta pula bekerja. Ia bukan hanya pandai mengatur dan memerintah. Tapi, ia pun turun tangan. Ia menyingsingkan lengan bajunya, bersimpah peluh seperti yang lainnya.

Itulah dia, Ki Selang Kuning yang sedang bekerja dan memimpin anak buahnya. Mereka bekerja keras, tanpa mengenal lelah. Di wajah mereka terlintas suatu harapan yang disertai tekad bulat yaitu membuka hutan dan membangun. Mereka bekerja sungguh-sungguh. Bahu-membahu.

Mereka bekerja benar-benar hampir tidak pernah istirahat. Mereka hanya menyisakan waktu untuk makan dan tidur di malam harinya. Beberapa tenda yang berdampingan merupakan tempat mereka untuk melepas lelah atau tidur. Mereka memang sudah bertekad takkan berhenti bekerja sebelum cita-cita mereka terwujud. Mereka sedang mewujudkan rencananya. Mereka sedang membangun istana kepatihan.

Selanjutnya mereka akan membangun kompleks perumahan para pegawai kepatihan dan perumahan untuk penduduk. Rencana dan cita-cita itu kini hampir terwujud. Hal ini berkat kepemimpinan Ki Selang Kuning, Patih Kerajaan Galuh. Selanjutnya ia beserta pengikutnya akan menetap di Pulau Majeti, menjadi penduduk, dan penghuni pertama daerah itu.

Memang berat perjuangan pembukaan daerah ini. Tapi, berkat kerja keras dan kerja sama yang kompak, mereka berhasil mengatasi segala kesulitan. Walau mereka menebang kayu dan pepohonan, tapi mereka tak merusak hutan belaka. Mereka tahu kegunaan hutan. Dan mereka pun tahu cara memeliharanya.

Tak begitu lama kemudian, berdirilah bangunan yang cukup kokoh. Bangunan ini merupakan pusat kepatihan. Dan bangunan-bangunan lainnya melingkupi bangunan pusat tadi.

“Akhirnya pekerjaan kita selesai juga,” kata Ki Selang Kuning kepada pembantu terdekatnya. “Bagaimana perasaanmu kini, asisten?”

“Kami semua gembira. Pekerjaan utama ini sudah rampung. Tapi, bukankah pekerjaan selanjutnya masih menanti kita, Tuan Patih?” tanya pembantunya memberanikan diri mengajukan pertanyaan.

“Benar sekali. Kita tidak boleh berleha-leha di tempat ini. Kau masih ingat bahwa kita pun harus mengirimkan jerih payah daerah ini kepada jungjungan kita, Prabu Galuh!” ucap Ki Patih.

“Yang Tuan Patih maksudkan adalah upeti itu?” tanya asisten Patih.

“Betul. Kalau kita telah berhasil membangun daerah Pulau Majeti ini. Berhasil dalam pertanian dan perkebunan. Ya, kita harus kirimkan sebagian hasil daerah ini kepada Prabu Galuh. Kita harus berterima kasih kepadanya. Beliau memang seorang raja yang baik hati dan bijaksana.”

“Tidak salah, Tuan Patih. Beliau memang sudah layak menjadi anutan kami,” sahut pembantu dekat Ki Selang Kuning tersebut.

“Kita bersyukur punya pimpinan yang arif dan bijaksana.”

“Heeh aku setuju omonganmu. Kau memang benar. Begitulah sebenarnya yang jadi anutan,” ujar Ki Selang Kuning.

“Nah sebaiknya kau istirahat. Besok kau atur lagi para pegawai kita,” perintah Ki Patih.

“Baiklah, Tuan Patih.”

Mereka berpisah untuk menempati tempat masing-masing di lingkungan kepatihan yang belum lama berdiri itu.

Perkembangan Pulau Majeti

Hari-hari selanjutnya wilayah Pulau Majeti semakin terurus. Perkebunan dan pertanian merupakan suatu hal yang penting dan diutamakan. Hal itu karena pertanian dan perkebunan erat sekali dengan bahan pokok makanan.

Dan pada saat musim panen tiba, Patih Selang Kuning mengirimkan sebagian hasil buminya. Hal ini sebagai pemberitahuan bahwa mereka telah berhasil. Sekaligus sebagai tanda terima kasih dan kesetiaan mengabdi kepada Kerajaan Galuh.

Selanjutnya, bukan hanya istri Selang Kuning yang bernama Gandawati saja yang menghuni di daerah itu. Tapi, seluruh keluarganya pun kini berdiam menempati kompleks kepatihan. Kedua orangtuanya pun turut pula pindah ke pemukiman baru itu atas permintaan putranya.

Memang, Pulau Majeti semakin ramai oleh penduduk. Tak terasa mereka telah bertahun-tahun mendiami pulau itu. Penduduk di sana telah beranak pinak. Mereka hidup wajar. Mereka tak pernah kekurangan sandang ataupun pangan.

Singkatnya, wilayah itu kini dalam keadaan subur makmur. Dengan demikian, pemberian upeti untuk pusat pemerintahan Kerajaan Galuh pun, semakin melimpah ruah. Pengiriman upeti terus berlangsung tahun demi tahun.

Bahkan pulau-pulau sekitar Pulau Majeti, yang memang termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh, sudah dikelola dan telah menghasilkan. Hal ini benar-benar membesarkan hati pemerintah pusat Kerajaan Galuh yang dipegang oleh Prabu Raksabuana.

Bersambung ke: Asal-usul Kerajaan Pulau Majeti dan Legenda Ki Selang Kuning (Bagian 7)

Komentar

2 tanggapan untuk “Asal-usul Kerajaan Pulau Majeti dan Legenda Ki Selang Kuning (Bagian 6)”

  1. […] Baca cerita sebelumnya: Asal-usul Kerajaan Pulau Majeti dan Legenda Ki Selang Kuning (Bagian 6) […]

  2. Avatar Bram
    Bram

    Cerita yg bagus. Lanjut baca sambungannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *