Kesenian Ojhung Situbondo, Ekspresi Budaya Tradisi dari Ritual ke Tontonan

Kesenian Ojhung dari Situbondo, sebuah warisan budaya tak benda yang kaya makna, adalah salah satu atraksi tradisional yang paling memukau dan unik di Jawa Timur. Tarian ini bukan sekadar pertunjukan; ia adalah ritual, pengobatan, dan ekspresi identitas masyarakat Situbondo, khususnya dalam menghadapi tantangan alam. Ojhung adalah tarian ritual tradisional yang berasal dari wilayah Situbondo, khususnya daerah Pesisir Utara dan wilayah Tapal Kuda Jawa Timur. Kesenian ini melibatkan duel cambuk yang dilakukan oleh dua pria dewasa, seringkali diiringi oleh gamelan khas. Meskipun tampak keras dan berbahaya, Ojhung adalah manifestasi spiritual dan sosial yang mendalam.

Secara harfiah, kata “Ojhung” atau “Ojhung Pote'” (jika merujuk pada ritualnya) diyakini berasal dari bahasa Madura yang berarti sesuatu yang berhubungan dengan cambuk atau adu ketangkasan. Ada juga yang menafsirkannya sebagai perwujudan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diturunkan hujan. Kesenian ini tidak hanya ditemukan di Situbondo, tetapi juga memiliki varian di beberapa daerah Tapal Kuda lainnya, seperti Probolinggo dan Bondowoso, namun Ojhung Situbondo memiliki ciri khas, terutama dalam konteks pelaksanaannya sebagai ritual meminta hujan (Toron Udan atau Minta Udjan).


Asal-Usul Ojhung: Dari Ritual ke Tontonan

Asal-usul Ojhung sangat erat kaitannya dengan kondisi geografis Situbondo yang cenderung kering dan sering dilanda kekeringan. Situbondo, bagian dari wilayah timur Pulau Jawa, memiliki karakteristik musim kemarau yang panjang, yang secara historis mengancam mata pencaharian utama penduduknya, yaitu pertanian.

Ojhung sebagai Ritual Minta Udjan (Meminta Hujan)

Hipotesis utama mengenai asal-usul Ojhung adalah sebagai ritual magis-religius untuk memohon kepada alam dan Tuhan agar menurunkan hujan. Ketika kekeringan melanda, para petani dan tokoh masyarakat akan menyelenggarakan Ojhung.

  1. Pengorbanan Simbolis: Pertarungan cambuk yang melukai kulit hingga berdarah dianggap sebagai pengorbanan darah yang dipersembahkan kepada Ratu Padi atau kekuatan alam sebagai “bayaran” atau syarat untuk datangnya hujan.
  2. Manifestasi Emosi: Rasa sakit akibat cambukan dipercaya dapat melepaskan energi spiritual dan emosional yang kuat, yang kemudian menjadi medium penyampai doa.
  3. Waktu Pelaksanaan: Secara tradisional, Ojhung akan dilaksanakan pada saat musim kemarau mencapai puncaknya.

Perkembangan Historis

Seiring berjalannya waktu, fungsi Ojhung mengalami evolusi.

  1. Masa Pra-Islam: Kemungkinan besar berakar pada tradisi animisme dan dinamisme kuno yang memuja roh alam.
  2. Masa Kolonial: Kesenian ini pernah dilarang oleh Pemerintah Hindia Belanda karena dianggap keras dan memicu kerusuhan, namun terus hidup secara sembunyi-sembunyi.
  3. Masa Kemerdekaan hingga Kini: Ojhung bertransformasi menjadi tontonan budaya dan atraksi wisata. Meskipun unsur ritualnya tetap ada, fokusnya juga bergeser menjadi ekspresi kejantanan, solidaritas komunal, dan media hiburan.

Tujuan Utama dan Manfaat Ojhung

Tujuan pelaksanaan Ojhung melampaui sekadar pertunjukan. Ia mencakup dimensi spiritual, sosial, edukatif, dan ekonomis.

Tujuan Spiritual & Ritual

  1. Ritual Minta Udjan: Ini adalah tujuan primernya. Pertarungan cambuk dimaksudkan untuk meyakinkan kekuatan supranatural agar mencurahkan hujan, menyelamatkan tanaman dan mata pencaharian.
  2. Tolak Bala/Pembersihan Desa: Kadang kala, Ojhung juga dilakukan sebagai ritual pembersihan desa dari bencana, penyakit, atau roh jahat.

Tujuan Sosial & Komunal

  1. Penyelesaian Konflik: Dalam beberapa tradisi, Ojhung digunakan sebagai media penyelesaian sengketa atau konflik antarindividu/antardesa secara damai, meskipun melalui cara yang keras. Siapa yang menang atau kalah, pada akhirnya mereka harus berdamai dan bersalaman.
  2. Solidaritas dan Persatuan: Pertunjukan ini mengumpulkan seluruh warga desa, memperkuat rasa kebersamaan (paguyuban).
  3. Uji Keberanian dan Kejantanan (Katerro’an): Peserta Ojhung (disebut Petarung atau Pajhung) dihormati karena menunjukkan keberanian, ketangkasan, dan kedewasaan emosional dalam menghadapi rasa sakit. Ini adalah ujian moral dan fisik.

Filosofi Katerro’an dalam Ojhung Situbondo

Katerro’an adalah istilah dalam bahasa Madura (yang dominan di Situbondo) yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai kejantanan, keberanian, atau kegagahan. Dalam konteks Kesenian Ojhung, Katerro’an bukan sekadar keberanian fisik untuk menahan rasa sakit, melainkan sebuah filosofi hidup yang mengukur kedewasaan, kehormatan, dan karakter seorang laki-laki.

Definisi dan Dimensi Katerro’an

Katerro’an dalam Ojhung memiliki dua dimensi utama:

Dimensi Penjelasan Implementasi dalam Ojhung
Fisik (Abhantal Dhegher) Kemampuan fisik untuk menghadapi rasa sakit (cambukan) tanpa menunjukkan rasa takut atau lari dari medan laga. Berani menerima pukulan, tidak merintih, dan tetap berdiri tegak setelah dicambuk.
Mental/Spiritual (Adhep Abhak) Kedewasaan emosional dan sportivitas untuk menerima hasil pertarungan dan memaafkan lawan. Segera bersalaman dan berdamai setelah pertarungan selesai, tanpa membawa dendam. Ini adalah poin terpenting.

Katerro’an sebagai Ujian Moral dan Fisik

Ojhung dipandang sebagai ritus inisiasi atau ujian publik yang menegaskan status sosial seorang pria. Katerro’an diuji melalui tiga aspek utama:

1. Keberanian Menghadapi Risiko

Seorang Pajhung (petarung Ojhung) yang sejati harus mampu menghadapi cambuk yang keras dan melukai, bukan karena ia kebal, tetapi karena ia menganggap rasa sakit sebagai kehormatan dan bagian dari pengorbanan ritual (Toron Udan). Kegagalan untuk tampil atau menarik diri di tengah pertarungan dianggap sebagai ketidakjantanan.

2. Pengendalian Diri (Nahan Emosi)

Meskipun dalam posisi terancam atau kesakitan, seorang pria yang katerro’an tidak boleh membalas cambukan di luar aturan yang telah ditetapkan oleh Malenggang (wasit). Kontrol emosi ini adalah demonstrasi kekuatan batin yang lebih tinggi daripada kekuatan fisik. Jika ia melanggar aturan karena marah, katerro’an-nya dipertanyakan.

3. Kepatuhan dan Etika Sosial

Filosofi terpenting dari Katerro’an adalah penghormatan terhadap lawan. Segera setelah wasit menyatakan duel berakhir, kedua petarung wajib bersalaman dan berpelukan (meskipun tubuh mereka berlumuran darah atau terluka).

Tindakan bersalaman ini mengajarkan bahwa pertarungan hanya bersifat ritual dan di dalam arena. Tidak ada permusuhan sejati. Darah yang tumpah menyucikan dan mempersatukan, bukan memisahkan. Inilah inti dari katerro’an—kemampuan untuk mengubah rasa sakit menjadi persaudaraan.

Kontras dengan Kekerasan

Penting untuk dipahami bahwa Katerro’an bukanlah pembenaran atas kekerasan. Sebaliknya, ia adalah sebuah bingkai budaya yang mengatur dan membatasi tindakan keras.

  1. Bukan Perkelahian Jalanan: Ojhung adalah duel terstruktur dengan aturan dan wasit. Luka yang diderita adalah konsekuensi yang disetujui bersama untuk tujuan ritual atau budaya.
  2. Media Rekonsiliasi: Daripada menyimpan konflik, Ojhung menjadi katarsis, di mana ketegangan sosial dilebur menjadi semangat komunal melalui pengorbanan simbolis.

Singkatnya, Ojhung adalah panggung, dan Katerro’an adalah skripnya. Seseorang dinilai sebagai pria sejati bukan hanya dari kemampuannya memukul lawan, tetapi dari kehormatannya untuk menerima pukulan, dan kerendahan hatinya untuk memaafkan dan berdamai setelah pertarungan selesai.


Manfaat Kultural & Ekonomi

  1. Pelestarian Budaya: Menjaga agar warisan nenek moyang tidak punah, menjadi ciri khas identitas Situbondo.
  2. Atraksi Wisata: Menjadi daya tarik unik yang mendatangkan wisatawan, yang secara langsung memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal.
  3. Pendidikan Nilai: Mengajarkan nilai-nilai sportivitas, keberanian, pemaafan, dan kepatuhan pada aturan.

Ojhung sebagai Ekspresi Budaya Tradisi

Ojhung adalah sistem pengetahuan yang terintegrasi dan sebuah panggung di mana banyak unsur budaya tampil.

Filosofi Pertarungan

Meskipun terlihat brutal, Ojhung dijalankan dengan aturan ketat yang dijaga oleh seorang wasit, sering disebut Malenggang atau Mandalang.

  1. Sportivitas: Aturan utama adalah sportivitas dan kedewasaan. Tidak ada dendam setelah pertarungan. Luka yang diderita adalah kehormatan, bukan aib.
  2. Ketentuan Cambuk: Cambuk yang digunakan (biasanya terbuat dari kulit sapi atau kerbau kering) memiliki panjang dan jenis tertentu. Pukulan diarahkan ke tubuh bagian atas.
  3. Ritual Pembuka: Sebelum bertanding, para Pajhung seringkali melakukan ritual pengasapan (dibakar kemenyan) dan doa-doa untuk memohon keselamatan dan kelancaran acara.

Gamelan Pengiring (Gamelan Ojhung)

Atraksi ini tidak lengkap tanpa iringan musik tradisional. Alat musik yang dominan biasanya adalah:

  1. Gendang (Kendhang): Memberikan ritme dasar yang dinamis dan bersemangat.
  2. Saron/Pekem: Menghasilkan melodi yang khas.
  3. Gong: Memberi penekanan pada setiap babak.

Musik Gamelan Ojhung menciptakan suasana yang tegang, sakral, namun juga meriah. Ritme musik akan semakin cepat dan memanas seiring dengan intensitas pertarungan, memicu adrenalin para Pajhung dan penonton.

Pakaian Tradisional

Para Pajhung umumnya mengenakan pakaian tradisional yang sederhana, mencerminkan identitas petani atau rakyat biasa, seperti:

  1. Sarung (Kain Sarong): Dipakai untuk menutupi bagian bawah.
  2. Pecut/Cambuk: Alat utama pertarungan.
  3. Tidak Berbaju: Umumnya bertelanjang dada agar cambukan dapat terlihat dan untuk menunjukkan kejantanan.

Ojhung sebagai Pengetahuan Tradisional

Ojhung mengandung sejumlah pengetahuan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun, terutama dalam konteks ilmu pengobatan tradisional dan pemahaman ekologis.

Pengobatan Tradisional (Usadha)

Setelah pertarungan, luka akibat cambukan harus segera diobati. Ini adalah bagian integral dari pengetahuan Ojhung. Masyarakat Situbondo memiliki racikan obat tradisional yang luar biasa efektif untuk menyembuhkan luka cambuk yang terbuka.

  1. Bahan Baku: Sering menggunakan bahan-bahan alami dari sekitar, seperti ramuan dari kunyit, temulawak, tanaman obat lokal, atau campuran minyak kelapa dengan bumbu dapur tertentu.
  2. Proses Pengobatan: Pengetahuan tentang bagaimana cara mengaplikasikan ramuan ini agar luka cepat kering dan tidak infeksi diwariskan dari para sesepuh desa. Ini menunjukkan kearifan lokal dalam menghadapi risiko fisik.

Pengetahuan Ekologis

Ojhung merupakan cerminan dari hubungan manusia-alam yang mendalam. Pengetahuan tentang kapan waktu terbaik untuk melaksanakan Ojhung (sebagai indikator kekeringan kritis) adalah bagian dari kalender pertanian tradisional. Ritual ini menunjukkan ketergantungan masyarakat terhadap hujan dan upaya adaptasi mereka terhadap lingkungan alam yang keras.


Hambatan Pelestarian Ojhung

Meskipun memiliki nilai budaya yang tinggi, pelestarian Ojhung menghadapi berbagai tantangan di era modern.

Isu Kekerasan dan Modernisasi

  1. Persepsi Publik: Di mata masyarakat modern, Ojhung seringkali dicap sebagai pertunjukan kekerasan atau primitif yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan kontemporer. Hal ini mempersulit promosi dan pelestariannya di tingkat nasional maupun internasional.
  2. Regulasi dan Hukum: Kekhawatiran akan cedera serius atau bahkan kematian dapat membatasi izin pelaksanaan Ojhung dari pihak berwenang, meskipun kasus cidera parah sangat jarang terjadi karena aturan yang ketat.

Regenerasi dan Minat Generasi Muda

  1. Penurunan Minat: Generasi muda saat ini cenderung lebih tertarik pada hiburan modern, sehingga minat untuk mempelajari dan menjadi Pajhung atau pemain Gamelan Ojhung menurun.
  2. Keterbatasan Pewaris: Jumlah Maestro atau Sesepuh yang menguasai seni Ojhung, baik dari sisi ritual, pengobatan, maupun pertarungan yang benar, semakin berkurang.

Komersialisasi dan Degradasi Nilai

  1. Pergeseran Tujuan: Ketika Ojhung sering dipentaskan hanya untuk kepentingan pariwisata, nilai sakral dan ritual yang melandasinya dapat terdegradasi menjadi sekadar tontonan berdarah yang mencari sensasi.
  2. Ancaman Pemalsuan: Ada risiko bahwa Ojhung yang dipentaskan tidak lagi mengikuti aturan dan etika tradisional, hanya demi menarik perhatian turis, yang pada akhirnya merusak esensi budaya aslinya.

Upaya Pelestarian dan Masa Depan Ojhung

Untuk memastikan kelangsungan hidup Ojhung, diperlukan langkah-langkah terpadu:

  1. Edukasi dan Dokumentasi: Mengadakan lokakarya, seminar, dan mendokumentasikan secara komprehensif seluruh aspek Ojhung (ritual, musik, pengobatan) oleh pemerintah daerah dan akademisi.
  2. Festival dan Inovasi: Mengadakan festival Ojhung secara rutin (misalnya, sebagai bagian dari Hari Jadi Situbondo) dengan penekanan pada nilai-nilai budaya dan sportivitas, bukan kekerasan.
  3. Dukungan Komunitas: Memberikan dukungan finansial dan moral kepada komunitas Pajhung dan kelompok Gamelan Ojhung agar mereka tetap bersemangat melestarikan tradisi ini.

Kesenian Ojhung dari Situbondo adalah pusaka budaya yang mengajarkan kita tentang keberanian, pemaafan, solidaritas, dan kearifan lokal dalam menghadapi alam. Ia adalah simfoni cambuk dan doa yang harus terus bergema untuk menceritakan kisah perjuangan dan identitas Situbondo kepada dunia.

Tinggalkan Balasan