Baca cerita sebelumnya: Legenda Raja Arief Imam dan Komala Shakti dari Kerajaan Syahiful Dasa (Bagian 6)
Di suatu tempat tersebutlah sebuah negeri yang bernama Penreu Rum. Di negeri itu hiduplah sebuah keluarga yang bernama Hijas Ashar dengan seorang isteri yang bernama Mita. Keluarga ini mempunyai seorang gadis cantik dan bernama Dang Seri Fatonah. Nama ini mengandung arti bahwa gadis muda itu pandai menempatkan diri dan cantik.
Sangat tepat nama itu bagi putri satu-satunya dari keluarga Hijas Ashar. Gadis itu cantik tiada bandingannya di seluruh negeri. Di samping gadis itu cantik, ia juga bijaksana. la pandai berbicara, ramah dan sopan. Gadis itu dikasihi dan dimanjakan ayah ibunya. la tidak disuruh bekerja keras, tetapi hanya bekerja di rumah saja.
Banyak sekali orang yang akan meminang gadis ini. Tetapi ia tidak mau. Lagipula orang tuanya belum mau berpisah dengan Seri Fatonah. Pada suatu hari, ayahnya pergi ke pasar. Seperti biasanya, ayah Dang Seri hanya akan menjual hasil ladangnya.
Sebelum berangkat, Hijas Ashar berkata pada anak gadisnya: “Berhati-hatilah Dang Seri. Aku akan pergi ke pasar. Jagalah dirimu baik-baik dan jangan bekerja yang kasar-kasar.”
“Baik, ayah. Tetapi Dang Seri minta dibelikan benang jahit. Benangku hampir habis,” kata Dang Seri manja.
“Baiklah, Dang Seri,” sahut Hijas Ashar sambil melangkahkan kakinya.
Tidak antara lama sampailah Hijas Ashar di pasar. Begitu barang hasil buminya diletakkan maka berkerumunlah orang-orang untuk membeli. Jagung dan buah-buahan. Dalam sekejap barang-barangnya telah habis terjual. Dari hasil penjualannya itu uangnya akan dibelanjakan barang-barang keperluan rumah tangga. Tidak lupa pula pesanan anak gadisnya berupa benang jahit.
Namun demikian pak Hijas Ashar tidak akan menghambur-hamburkan uangnya. Bila ada kelebihan dari hasil ladangnya maka selalu ditabungnya. Pada suatu hari, di tengah padang yang luas. Hijas Ashar berjumpa dengan Komala Shakti. Sebelum menegurnya, ia telah ditegur terlebih dahulu oleh jejaka yang tampan itu.
“Maaf, Pak. Hendak ke manakah Bapak pergi?” tanya Komala Shakti dengan sopan.
“Ooo, saya nak. Saya akan pulang. Tadi habis berjualan hasil ladang di pasar,” sahut pak Hijas Ashar.
“Bisakah bapak memberi tahu saya? Apakah nama negeri ini, Pak?” tanya Komala Shakti.
“Ooo, negeri ini adalah Penreu Rum, nak!” sahut pak Hijas. “Hendak ke manakah, anak?”
“Saya, Pak? Saya sedang berkelana. Oleh karena hari sudah sore, maka saya akan mencari tempat bermalam.”
“Siapakah nama anak? Dan dari manakah asal anak?” tanya Hijas Ashar ingin tahu.
“Nama saya Komala Shakti, Pak. Sedang asal saya dari negeri Syahiful Dasa,” sahut anak muda.
Mendengar keterangan itu Hijas Ashar diam sejenak. Ia mengamati anak muda yang tampan itu terpesona. Kemudian Komala Shakti bertanya: “Dapatkah bapak mencarikan penginapan untuk saya?”
“Penginapan?”
“Benar. Pak. Tolonglah saya!” pinta Komala Shakti sopan.
“Kalau soal bermalam, itu mudah. Maukah anak bermalam di rumah saya?” tawar pak Hijas.
“Begini, Pak. Saya hendak mencari rumah yang tidak ada dapurnya,” sahut Komala Shakti.
“Lho, kok aneh. Mungkinkah rumah itu tidak ada dapurnya?” tanya pak Hijas Ashar tercengang.
“Saya kira sulit untuk mencarinya. Oleh karenanya, marilah anak ikut saja pulang ke rumahku. Sebab hari sudah agak malam.”
“Kalau begitu, baiklah saya mengikuti ajakan Bapak.” Kemudian berjalanlah keduanya pulang ke rumah Hijas Ashar.
Jarak yang ditempuh sudah agak dekat. Dan akhirnya sampailah mereka di suatu tempat yang dituju. Sebelum sampai di rumah, mereka melewati sebuah jembatan sungai. Pada saat menyeberangi jembatan, Komala Shakti berkata: “Titi kera rupanya ini.”
Mendengar kata-kata Komala Shakti itu, Hijas Ashar keheranan. la tidak tahu apa yang dimaksud. Oleh karena itu Hijas Ashar tidak mau menyambung sepatah katapun. Tetapi ia selalu ingat kata-kata yang diucapkan oleh Komala Shakti. Setelah menyeberang jembatan, kemudian sampailah di sebuah hutan.
Pada saat melewati hutan, Komala Shakti mengembangkan payungnya. Hijas Ashar sangat heran melihat tingkah laku Komala Shakti. Dalam hati ia bertanya, mengapa di hutan yang teduh itu dia memakai payung? Namun demikian Hijas Ashar tetap bungkam seribu bahasa. la segan pada pemuda itu.
Setelah ke luar dari hutan, lalu sampailah mereka di suatu jalan yang berlumpur. Melihat keadaan becek itu, maka dengan segera Komala Shakti memakai sandal. Ketika ia berjalan, maka terdengar suara: “Slop… Slop… slop.” Suara dari sandal yang dipakai melewati jalan becek.
Paman Hijas Ashar makin heran mengamati tingkah laku Komala Shakti. Kemudian ia bergumam: “Mungkinkah anak muda ini gila?”.
Saat itu hari makin sore. Akhirnya matahari mulai masuk ufuk Barat. Dan sampailah mereka di rumah Hijas Ashar. Pada saat masuk rumah perasaan Hijas Ashar masih tetap resah. Kepalanya pusing memikirkan tingkah laku tamunya.
Ketika hari mulai gelap, mereka duduk-duduk di balai-balai dalam rumah. Dang Seri Fatonah melihat ayahnya datang. Disamping itu ia juga melihat seorang pemuda yang tampan duduk dekat ayahnya. Kemudian ia kembali masuk kamar untuk memberi tahu ibunya.
“Bu… Bu… Lihat itu, Bu! Siapakah pemuda itu?” seru Dang Seri Fatonah sambil menghampiri ibunya.
Dengan serta merta Bu Mita berdiri dan menengoknya. Kemudian ia menghampiri suaminya yang sedang duduk dengan seorang pemuda tampan. “Ah, ada tamu. Sudah lama nak?” tegur Bu Mita sopan. Kemudian ia duduk menghadap tamunya dan berdampingan dengan suaminya.
“Benar, Bu!” sahut Komala Shakti sopan.
“Kenalkan, nak. Saya isteri pak Hijas Ashar.”
“Baik, Bu. Saya Komala Shakti.”
“Dari mana asalmu anak?”
“Jauh, Bu. Saya dari negeri Syahiful Dasa. Oleh karena hari sudah malam, maka saya minta tolong untuk bermalam di sini.”
“Baik, nak. Di sinipun longgar tempatnya. Bolehlah anak bermalam untuk beberapa malam.”
“Terima kasih, Bu!” sahut Komala Shakti sopan. Kemudian ia menyerahkan bekal pada Bu Mita, agar berasnya ditanakkan.
“Bu tolonglah saya. Beras bekal saya ini mohon ditanak. Tiap saya bermalam, beras inilah yang biasa saya makan,” Komala Shakti berkata sangat halus. Kemudian kantong beras itu diterima oleh Bu Mita dan langsung diberikan pada Dang Seri Fatonah untuk ditanak.
Beras itu lalu dituang di atas nyiru. Ketika dilihatnya beras itu bercampur dengan bermacam-macam barang, maka lalu disaringnya hati-hati sekali. Dipisahkannya antara beras dengan kelapa, gula, ikan, kacang dan rempah. Satu demi satu dikumpulkan dengan tabah dan rajin.
Setelah pekerjaan semuanya selesai. Segeralah barang-barang itu dimasak menurut jenisnya masing-masing. Beras dimasak menjadi nasi. Kacangnya digoreng. Kemudian ikan dan rempah-rempah dimasak menjadi sayurnya. Sesudah semuanya beres, kemudian hasil masakan itu dihidangkan di hadapan Komala Shakti.
Melihat keadaan itu dalam hati Komala Shakti berkata: “Nah, sekarang barulah saya bisa menemukan calon isteriku.” Seketika itu timbullah rasa cinta dari Komala Shakti terhadap gadis Dang Seri Fatonah. Gadis itu telah memasakkan makanan untuk Komala Shakti.
Pada saat itu hari telah larut malam. Mereka lalu tidur ke tempatnya masing-masing. Setelah semuanya tidur maka saat itu Bu Mita bertanya pada suaminya, perihal tamunya yang serba aneh.
“Kiranya ayah dan ibu tidak mengerti apa yang dimaksudkan anak muda yang aneh itu,” kata Dang Seri Fatonah.
“Lho, apakah Dang Seri tahu yang dimaksud?” sahut ibunya heran.
“Ah, tahu saja Bu. Kenapa tidak?” sambung Dang Seri Fatonah.
“Yang dimaksud rumah tiada berdapur itu adalah mesjid. Mesjid itu kan tidak mempunyai dapur, bukan?”
“Wah, betul ujarmu itu Dang Seri!” tukas ayahnya.
Lalu Hijas Ashar ingat pada kata-kata Komala Shakti yang lain. “Itu, bagaimana dengan jembatan titi kera?” tanya ayahnya lebih lanjut.
“Oo, yang disebut titi kera, sebab jembatan itu tidak mempunyai tempat berpegang. Jadi kita berjalan seolah-olah seperti kera. Ya, bukan?” sambung Dang Seri Fatonah.
“Hem…” gumam ayahnya.
“Sekarang Dang Seri, terangkan maksudnya anak muda itu mengembangkan payungnya di tengah hutan!”
“Ah, itu mudah. Maksudnya agar anak muda itu tidak kena ranting-ranting yang patah. Juga jangan sampai kejatuhan kotoran burung dan lain sebagainya,” sahut Dang Seri lagi lebih lanjut.
“O itu? Kalau anak muda lewat padang rumput yang luas, lalu payungnya bahkan ditutup!”
“Itu mudah lagi! Kan di padang rumput tidak ada ranting dan burung. Betul tidak?”
“Ah benar ya!” sahut ayahnya keheranan. Demikian seterusnya, percakapan Dang Seri Fatonah itu sampai pada soal memakai sandal di lumpur yang becek.
Sementara itu Komala Shakti dapat pula mendengar percakapan keluarga Dang Seri Fatonah. Maka makin membaralah cintanya dan segera akan meminang gadis itu.
Pada keesokan harinya, setelah selesai makan pagi. Komala Shakti menyampaikan maksudnya. Ia meminang Fatonah. Bukan main girang hati Hijas Ashar dan Mita. Mereka merasa puas mendengar pernyataan Komala Shakti itu. Apalagi setelah diketahui bahwa Komala Shakti itu seorang putera Mahkota dari raja Arief Imam yang bertahta di kerajaan Syahiful Dasa.
Pernyataan Komala Shakti itu kemudian disampaikan pada Dang Seri Fatonah. Dang seri sendiri juga menerima lamaran Komala Shakti. Akhirnya mereka melangsungkan perkawinan setelah berdua kembali ke Syahiful Dasa. Raja Arif Imam dan permaisuri sangat bahagia. Demikian pula para pembantunya di istana.
Pesta pun dilangsungkan dengan meriah. Rakyat kerajaan Syahiful ikut bergembira. Orang tua Dang Seri Fatonah tersenyum-senyum menyaksikan kedua mempelai. Setelah Raja Arif Imam lanjut umur, maka Komala Shakti dinobatkan sebagai pengganti raja. Ia memerintah sangat adil. Dan penduduk negeri merasa aman serta sejahtera seterusnya.
(TAMAT)
Referensi: Kasim, Umi dan Mar. 1977. Raja Arief Imam. Jakarta: CV. Kurnia Esa.
Tinggalkan Balasan