Pekan lalu saya berkesempatan menjelajahi sebagian hutan Wonosalam. Saya tidak menyangka kalau pembicaraan singkat dengan Mas Sujak di Wonosalam mampu menginspirasi diskusi di kelas Ekonomi Islam. Materi Tafsir Hadist membahas ardun mawat atau tanah mati. Klop dengan pengalaman saya kemarin. Memang, diskusi akan menjadi lebih menarik saat kita telah mampu mempraktekkan apa yang menjadi bahan perbincangan.
Mas Sujak bercerita bahwa sebagian besar wilayah pertanian dan perkebunan Wonosalam sudah tidak dimiliki warga setempat. Pemilikan tanah didominasi oleh orang kaya dari kota. Pantas saja banyak kebun rambutan yang saya temui tidak terurus. Buah rambutan mengering di pohon, rumput alang-alang setinggi bahu orang dewasa, dan banyak area tidak digunakan karena pemiliknya tidak mengurus dalam jangka waktu lama. Padahal kalau pohon rambutan itu berada di wilayah desa saya pasti sudah bersih buahnya.
Itulah tanah mati. Walau terlihat hijau namun tidak produktif. Dalam pandangan ekonomi Islam, tanah kosong selama dua tahun dapat disebut tanah mati. Dan tanah mati dapat diambil alih kepemilikannya oleh negara untuk digunakan demi kepentingan publik. Ukuran sebuah lahan bisa disebut tanah mati adalah saat bila tanah tersebut tidak diapa-apakan selama dua tahun berturut-turut. Jika sudah diberi pagar saja, maka itu bukan termasuk tanah mati namun sudah dianggap tanah berpemilik.
Dalam sejarah perekonomian Indonesia, masyarakat pernah mendapat pembagian lahan tidak produktif melalui program transmigrasi. Penduduk pulau Jawa yang relatif padat disebarkan ke wilayah Kalimantan, Sumatera, maupun Sulawesi agar tanah mati dapat diolah menjadi produktif. Namun dalam prakteknya program transmigrasi malah menghasilkan masalah baru sehingga menurut saya tidak efektif dan tidak memenuhi unsur maslahat bagi umat. Semoga terinspirasi.
Tinggalkan Balasan