Kemarin sore (14/7/2018) saya mengantarkan undangan pelatihan qiroah untuk santri TPQ Baiturrohman Latsari. Sebagai sesama TPQ di desa yang sama, saya tidak pernah meninggalkan mereka dalam program-program pendidikan dari TPQ Al-Mujahiddin yang bisa dikolaborasikan secara massal. Kami saling bercerita perkembangan santri masing-masing. Tanpa disangka, guru TPQ tersebut menawarkan program pertukaran guru untuk penyegaran kelas paket dasar. Saya langsung mengiyakan tawaran untuk bercerita tersebut. Saya segera menyiapkan materi cerita dalam waktu kurang dari 24 jam. Ini tantangan yang sungguh menarik. Saya pun berpikir keras mencari topik mendongeng yang sesuai untuk disajikan kepada audiens kanak-kanak.
Saya belum menemukan ide bercerita yang pas untuk santri TPQ Baiturrohman sampai tadi siang. Akhirnya saya putar ulang memori otak saat membawakan dongeng pondok Ramadhan di SDN Penggaron dua bulan lalu. Ya, saya kembali menceritakan kisah penyerangan Ka’bah oleh Raja Abrahah di masa jelang kelahiran Nabi Muhammad. Saya melakukan sedikit modifikasi pada alat peraga bercerita. Saya juga mengurangi beberapa dialog panjang di hadapan 21 anak yang hadir tadi sore, Minggu 15 Juli 2018. Percakapan antar tokoh saya buat sesederhana mungkin. Audiens yang saya hadapi rentang usianya mulai dari 3 tahun sampai 9 tahun. Jadi, saya harus ambil batas bawah pemahaman anak supaya cerita bisa dipahami.
Permasalahan yang sering terjadi dalam pendidikan anak melalui lembaga TPQ adalah keterbatasan kreatifitas guru dalam mengajar. Para ustadz dan ustadzah umumnya hanya menguasai salah satu kompetensi dalam mendidik anak secara Islami. Padahal dalam era kekinian, guru TPQ harus bisa mengajar santri, membaca Al-Quran dengan baik, menulis huruf hijaiyah, mengatur manajemen TPQ, membuat program rekreatif, maupun melakukan sinergi yang saling menguntungkan dengan berbagai pihak. Melalui program guru silang ini saya berharap besar bisa membangun komunikasi efektif dengan berbagai lembaga TPQ yang lokasinya berdekatan. Selain itu, anak-anak harus mendapat kegembiraan selama belajar di TPQ. Kebahagiaan yang terpancar di wajah para santri adalah bukti kecintaan mereka terhadap kitab suci Al-Quran.
Dongeng santri ceria di TPQ Baiturrohman Latsari ini adalah yang pertama bagi mereka. Mereka tampak antusias mendengarkan cerita saya. Beberapa anak menyela ucapan saya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan unik seputar hewan gajah. Ah, benar-benar reaksi natural anak. Saya pun menjelaskan dengan bahasa anak yang sederhana. Pada kesempatan mendongeng hari ini saya memakai celana batik dan baju koko. Saya tidak suka pakaian resmi mendongeng yang kadang menyiksa sekali. Sebaliknya, celana boim yang saya pakai terasa nyaman di kulit dan memudahkan saya bergerak selama bercerita. Dongeng anak yang dimulai jam empat tersebut berakhir pada jam setengah lima. Anak-anak pun membubarkan diri secara tertib sambil mengucap salam dan mencium tangan guru.
Acara mendongeng hari ini lumayan sukses meski terkesan mendadak. Saya ingin melanjutkan lawatan ke sejumlah TPQ di Desa Latsari dan sekitarnya. Kegiatan ini bukan untuk tujuan komersil karena saya menggratiskan semua biaya. Sebaliknya, saya ingin menebarkan keceriaan kepada sebanyak mungkin santri yang saya temui. Saya berharap keceriaan yang timbul di hati anak bisa mengikis ketakutan anak untuk menjejakkan kaki di tempat ibadah, baik masjid maupun musholla. Itulah pengalaman saya hari ini saat mendongeng untuk santri TPQ Baiturrohman. Apakah Anda memiliki pengalaman seperti ini juga? Silakan berbagi kisah di kolom komentar.
Tinggalkan Balasan