Mereka bilang aku adalah orang yang terlambat belajar. Umur 33 tahun baru lulus S1. Aku biarkan saja apa kata mereka. Mereka hanya tidak tahu betapa sulitnya bagiku untuk mengumpulkan modal kuliah di perguruan tinggi dari keringat sendiri. Mereka hanya melihat toga yang kupakai sementara di balik toga itu telah merembes tetesan darah perjuangan 10 tahun menunda perkuliahan dan berjibaku dengan peluh keringat ibukota.
Mereka bilang aku adalah orang yang tak tahu diuntung karena melepaskan pekerjaan bergaji dua juta per bulan untuk beralih menjadi bayaran dua ratus ribu per bulan. Aku diam mendengar ocehan mereka. Mereka tidak tahu dengan bayaran dua juta per bulan itu aku telah menyia-nyiakan berbulan-bulan waktu berharga bersama keluargaku dan terlarut dalam pekerjaan yang membunuh sel-sel sarafku. Mereka tidak tahu bahwa dengan bayaran dua ratus ribu itu aku kini memiliki lebih banyak waktu untuk berbakti pada keluarga, untuk meramaikan masjid dan untuk menyiarkan agama Tuhan di muka bumi.
Mereka bilang masa depanku akan suram karena melepas jabatan staf keuangan dan banting setir menjadi guru sukarelawan. Mereka mungkin lupa bahwa rejeki sudah diatur Tuhan. Mereka hanya tidak tahu bahwa masa depan hakiki adalah kehidupan setelah kematian. Mungkin mereka tidak tahu bahwa jabatan staf keuangan sangat beresiko dengan hukuman dunia dan akhirat. Mungkin mereka juga sudah mulai lupa bahwa bertransaksi dengan Tuhan sudah pasti menguntungkan.
Mereka bilang aku adalah perusak pendidikan agama anak-anak di desa. Mereka bilang sejak aku mengajar di sekolah itu anak-anak makin bertingkah laku liar usai jam sekolah. Mungkin mereka lupa bahwa orang tua memiliki andil besar dalam mendidik anak-anak selepas jam sekolah. Mungkin mereka juga lupa bahwa pihak yang paling utama bertanggungjawab dalam pendidikan anak adalah orang tua. Mungkin mereka lupa bahwa guru adalah pelita dalam kegelapan sementara pembuat jalan di terowongan ilmu adalah orang tua.
Mereka bilang aku terlalu pilih-pilih pasangan hidup. Kembali aku diam mendengar ocehan mereka. Mereka hanya tidak tahu bahwa perjuanganku di desa ini tidak mudah. Hanya wanita hebat yang mau berbakti pada suami seorang pendakwah yang terus dirundung cobaan. Mereka tidak tahu bahwa ada beberapa gadis yang memutuskan berlalu dari hadapanku karena tidak mampu menyandang betapa berat hidup yang kulalui.
Mereka bilang ngeblog hanya menghabiskan uang. Lagi lagi aku terdiam. Yang pasti kali ini mereka tidak tahu bahwa aku telah menghasilkan uang dari ngeblog disini. Biarlah ini menjadi rahasia yang tak perlu ku publikasikan.
Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Gak usah direken mas, tetaplah berjalan sesuai rel kehidupan.
Wes hewes hewes bablas angine. Biarkan org berkata apa yg penting aku bahagia.
Don’t take care of other say! Teruslah bersemangat mas. Jangan berhenti berjuang sampai ajal menjelang.
Ojo ngreken omongan wong lambe turah. Mereka itu iri sama kesuksesan Mas Agus.
Mereka nggak kasih makan mas Agus. Cuekin aja. Hidup manusia nggak akan tenang kalau menghiraukan omongan orang lain.
Ora usah direken mas. Lambe turah iku yo ngunu.
Jangan dimasukkan hati mas. Namanya juga lambe turah.
Orang hebat pasti banyak musuhnya.
Semakin tinggi pohon smakin kencang angin bertiup.