Malam ini saya tidak bisa mengantuk. Pikiran saya masih terpaku pada peristiwa bentrok antar suporter bola yang menyebabkan seorang remaja mengalami gegar otak. Korban kerusuhan sepakbola itu adalah anak yang pernah saya ajar saat ia aktif di TPQ. Betapa rumitnya dampak kemiskinan di desa tempat tinggal saya ini. Berawal dari miskin harta, akhirnya berdampak pada miskin ilmu dan miskin moral. Anak-anak yang tidak memiliki teladan kebaikan cenderung akan berlaku liar dalam pergaulan.
Di tengah lamunan saya malam ini, saya terkejut oleh tawa keras empat orang pria dewasa yang sedang bersenda-gurau. Mereka menikmati udara malam sambil bercengkerama tanpa beban. Tanpa sepengetahuan mereka, saya sedang duduk di seberang tembok. Apakah saya menguping pembicaraan mereka? Tidak. Mereka berkata lantang. Tanpa mendekatkan telinga pun saya bisa mendengar obrolan mereka dengan jelas. Pembicaraan mereka memberikan inspirasi bagi saya untuk menulis artikel ini.
Rupanya mereka sedang bernostalgia masa penggerebekan perjudian yang mereka lakukan dua tahun silam. Kala itu beberapa orang pria dewasa berjudi di tanah lapang dekat area pemakaman pada hari ketiga Lebaran Idul Fitri. Tanpa disangka, beberapa orang polisi menggerebek para penjudi itu. Sekonyong-konyong saja mereka kabur dan kocar-kacir mencari tempat persembunyian. Terlambat! Mereka semua tertangkap polisi dan harus membayar denda sejumlah uang. Sebagian dari mereka menjalani masa tahanan di penjara.
Apakah mantan penjudi itu kapok? Sepertinya tidak. Mereka tengah merencanakan acara kumpul-kumpul berikutnya dalam waktu dekat. Astaghfirulloh. Semoga niat mereka tidak tercapai. Sungguh, mereka telah menjadi contoh yang buruk bagi anak-anak mereka sendiri. Apakah mereka lupa bahwa karakter anak adalah hasil kreasi orangtuanya masing-masing. Jangan pernah melarang anak bermain judi jika Anda sendiri gagal keluar dari kebiasaan maksiat ini.
Masyarakat butuh bimbingan moral dalam menjalani kehidupan. Saya sangat menyayangkan sikap abai yang ditunjukkan oleh kepala agama di desa. Mereka seolah lupa bahwa tugas imadudin adalah membina masyarakat dalam kehidupan beragama. Membiarkan masyarakat berlaku kemaksiatan sama saja dengan menyetujui tindakan tersebut. Mungkin butuh penggerebekan yang lebih besar agar para penjudi itu jera lahir dan batin. Jika hukum formal tidak bisa menghentikan kebiasaan berjudi, setidaknya hukum sosial yang akan memberikan rasa malu pada keluarga para penjudi.
Tinggalkan Balasan