
Peribahasa Jawa “kandhang langit kemul mega” artine wong sing ora duwe papan panggonan. Kalau baca paribasan ini saya jadi ingat lirik salah satu lagu dangdut ciptaan Bang Haji. “Langit sebagai atap rumahku, dan bumi sebagai lantainya, hidupku menyusuri jalan, sisa orang yang aku makan.” Peribahasa Bahasa Jawa ini memang menceritakan gelandangan atau tuna wisma yang tidak memiliki tempat tinggal secara menetap.
Namun tidak selamanya beratap langit dan berselimut awan itu identik dengan kemiskinan dan kaum papa. Kadang kita menemukan orang yang memang dengan sengaja mbolang atau melakukan petualangan alam dengan maksud ingin menikmati setiap hembusan udara dan pancaran sinar matahari yang menerpa kulit. Setiap orang memang boleh memiliki alasan masing-masing mengapa mereka memilih sebuah jalan kehidupan.
Bagi saya pribadi, langit biru dan mendung yang berarak adalah sumber inspirasi yang tidak akan pernah habis untuk dibahas. Setiap tumpukan kapas putih di angkasa memberikan sandaran ternyaman dalam indera penglihatan saya. Dan pada birunya langit di pagi hari sebuah semangat tergantung tinggi-tinggi pada kaki langit. Hmm, sungguh nikmat beratap langit dan berselimut awan.
Tinggalkan Balasan