Rizal menatap langit yang mulai gelap. Hari ini adalah malam takbiran, malam yang seharusnya penuh dengan suara takbir dan gemuruh bedug dari masjid-masjid. Namun, di kota besar ini, Rizal hanya mendengar bunyi klakson, mesin, dan teriakan orang-orang yang sibuk dengan urusan mereka. Rizal merasa kesepian dan rindu dengan kampung halamannya, di mana ia biasa merayakan Idul Fitri bersama keluarga dan tetangga.
Rizal adalah seorang mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di salah satu universitas ternama di ibukota. Ia mendapat beasiswa penuh dari pemerintah, sehingga ia tidak perlu khawatir tentang biaya kuliah dan hidup. Namun, ia juga tidak punya cukup uang untuk pulang ke kampung halamannya di Jawa Timur.
Apalagi, tahun ini ada pandemi yang membuat perjalanan antar daerah menjadi sulit dan berisiko. Rizal harus rela melewatkan lebaran bersama keluarganya untuk tahun kedua berturut-turut.
Rizal berjalan menuju kos-kosannya yang tidak jauh dari kampus. Ia berharap ada teman-teman se-kosnya yang masih tinggal di sana, sehingga ia bisa berbuka puasa dan saling mengucapkan takbir bersama mereka. Namun, ketika ia sampai di depan pintu kos-kosannya, ia melihat sebuah kertas yang tertempel di sana.
Kertas itu berisi pengumuman bahwa kos-kosannya akan ditutup selama libur lebaran, dan semua penghuni harus meninggalkan tempat itu sebelum jam 6 sore. Rizal mengecek jam tangannya. Sudah jam 5:30 sore.
Rizal panik. Ia tidak tahu harus kemana. Ia tidak punya kerabat atau sahabat di kota ini. Ia mencoba menghubungi teman-teman se-kosnya, tapi tidak ada yang menjawab.
“Hello, Dika? Kamu ada di mana?” Rizal menelpon nomor Dika, teman se-kosnya yang satu jurusan dengannya.
“Maaf, Rizal. Aku sudah pulang ke Bandung tadi pagi. Aku lupa bilang ke kamu.” Suara Dika terdengar dari seberang.
“Lho, kok bisa? Kamu nggak lihat pengumuman kos-kosan?”
“Iya, aku lihat. Tapi aku sudah pesan tiket bus dari jauh-jauh hari. Lagian, aku nggak tahan lagi di sini. Aku kangen sama keluarga.”
“Ya ampun, Dika. Kamu nggak kasihan sama aku? Aku mau nginep di mana sekarang?”
“Ya… maaf ya, Rizal. Aku nggak bisa bantu apa-apa. Coba aja cari hotel murah atau penginapan lain.”
“Hotel murah? Di mana? Kamu tahu nggak harga hotel di sini? Aku cuma punya uang pas-pasan.”
“Ya… aku juga nggak tahu sih. Mungkin kamu bisa cari di internet atau tanya orang sekitar.”
“Internet? Orang sekitar? Kamu pikir aku punya kuota atau kenalan di sini?”
“Ya… udah deh, Rizal. Maaf ya, aku nggak bisa bantu apa-apa. Semoga kamu bisa nemu tempat yang baik.”
“Dika! Jangan tutup telponnya! Dika!”
Tapi sudah terlambat. Dika sudah memutuskan sambungan.
Rizal merasa putus asa. Ia memasuki kamar kosnya dan mengambil tas ranselnya. Ia memasukkan beberapa pakaian dan barang-barang penting lainnya ke dalam tasnya. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.