Apa kabar kawan blogger Indonesia? Inspirasi kehidupan dari dunia binatang sangat menarik. Tingkah laku mereka dalam cerita fabel bisa menjadi nasehat bijak bagi manusia. Kali ini The Jombang Taste membagikan kisah fabel dari negara Thailand mengenai asal mula burung beo bisa berbicara seperti manusia. Cerita fabel ini merupakan salah satu isi dari buku Ride With The Sun yang diterbitkan oleh badan dunia Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Awal mula cerita fabel dari negara Muangthai dimulai disini. Pada jaman dahulu bukan burung beo yang dipelihara manusia melainkan burung bayan. Manusia berpendapat bahwa hewan kecil itu sangat pandai. Tidak susah untuk mengajar burung itu berbicara. Kalau ia mendengar suatu ucapan atau suara, pasti ia dapat menirunya.
Tetapi kepandaian burung bayan tidak terbatas pada itu saja. la pun dapat mengemukakan pikirannya. Akan tetapi pada suatu ketika semua itu berubah. Pada suatu hari seorang petani melihat seekor kerbau merusak sawahnya. Kerbau itu milik tetangganya. la marah sekali.
Petani itu menangkap kerbau itu lalu disembelihnya. Kemudian sebagian dari dagingnya ia masak dan dimakannya. Sebagian lagi daging tersebut ia simpan di dalam peti padinya, sedang sisanya ia sembunyikan di lumbung.
Keesokan harinya tetangganya datang menanyakan apakah ia melihat kerbaunya. “Kerbauku hilang.” katanya.
Petani itu menjawah, “Tidak. Aku tidak melihat kerbau seekor pun.”
Akan tetapi pada saat itu burung bayan milik petani itu menyela, “Induk semangku telah membunuhnya. Sebagian dari dagingnya itu dimakan. Sebagian lagi ia simpan. Sebagian lagi ia sembunyikan di dalam peti padi. Sebagian lagi di lumbung.”
Begitu mendengar keterangan burung itu. Si tetangga langsung melihat di tempat-tempat yang disebutkan itu. Ternyata benar, tempat-tempat itu ada daging kerbau. Disinilah kisah dongeng rakyat Thailand ini mulai menemukan konflik antar pelaku.
“Memang di sini aku selalu menyimpan daging,” jawab petani itu. “Akan tetapi daging ini bukan berasal dari kerbaumu.”
Sekali lagi burung bayan bersuara. “Ia telah membunuhnya. Sebagian dagingnya ia sembunyikan di peti padi, sebagian lagi ia simpan di lumbung.” Burung bayan itu berkata dengan jujur dan menyampaikan keadaan yang sebenarnya.
Tetangga itu menjadi bingung. la tidak dapat menentukan siapa yang harus dipercaya. Manusia atau burung. Sungguh tidak masuk akan jika manusia harus mempercayai ucapan seekor burung. Namun apa boleh buat. Burung bayan dikenal sebagai burung yang pintar maka ia percaya kepada kata-kata burung bayan. Lalu ia bawa persoalan itu ke pengadilan. Dan esoknya Hakim akan memeriksanya.
Petani yang mencuri daging itu berpikir. “Mengapa orang akan lebih percaya kepada burung daripada aku? Aku harus berbuat sesuatu,” pikirnya. Petani mulai berpikir bagaimana caranya ia bisa mengakali tetangganya. Ia menyesal karena telah memelihara burung bayan. Karena sifat terus-terang burung bayan justru bisa menyebabkan dirinya dihukum oleh pengadilan.
Cerita dongeng pak tani dari Thailand berlanjut. Malam itu juga burung bayan itu ia keluarkan dari sangkarnya, lalu ia masukkan ke dalam dandang kuningan. Kemudian dandang itu ia tutup dengan kain sehingga di dalamnya menjadi gelap. Padahal di luar malam terang bulan dan udara jernih. Akan tetapi di dalam dandang keadaannya gelap gulita.
Kemudian petani mulai memukul dandang itu dari luar. Mula-mula perlahan-lahan. Tambah lama tambah keras, sehingga kedengarannya seperti gemuruh. Kemudian diambilnya air, lalu diteteskannya di atas dandang itu. Tambah lama tambah banyak sehingga kedengarannya seperti hujan.
Sepanjang malam dandang itu terus dipukul-pukulnya dan ia siram dengan air. la baru berhenti ketika hari mulai terang. Sesudah itu burung bayan ia keluarkan dari dandang itu dan ia kembalikan ke sangkarnya semula. Pak Tani berpura-pura menguap seolah ia baru saja tertidur lelap semalam suntuk.
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Ketika persidangan dimulai pelani itu membawa burung bayannya. Mula-mula si tetangga menerangkan bagaimana burung bayan berkata kepadanya mengenai daging yang disembunyikan oleh Pak Tani. Lalu Tuan Hakim meminta supaya burung bayan mengulang keterangannya.
Dan sekali lagi burung itu berkata dengan jujur, “la bunuh kerbau itu. Sebagian dagingnya ia sembunyikan di dalam peti dan sebagian lagi disimpan di lumbung.” Tetangga petani manggut-manggut mendengarkan ucapan burung bayan.
Namun apa jawab petani yang mencuri daging itu? Ia kembali berkilah, “Daging di kedua tempat itu adalah daging hewan lain. Aku telah berburu di hutan dua hari lalu dan mendapatkan seekor kijang gemuk sebagai tangkapan. Mengapa Tuan Hakim lebih percaya kepada burung daripada kepada aku sendiri?”
“Bukankah burung bayan pandai?” Tuan Hakim balik bertanya. Hampir semua hadirin di persidangan menyetujui ucapan Tuan Hakim. Burung bayang memang dikenal pandai dan jujur bertingkah laku.
Petani tidak kehabisan akal. Petani itu tersenyum. “Burung ini sering mengatakan suatu yang menyimpang dari kebenaran.” sahutnya. “Coba Tuan Hakim tanyakan kepadanya mengenal soal lain. Misalnya bagaimana keadaan cuaca tadi malam.”
Petani menawarkan cara mengetes kepandaian burung bayan. Hal ini dilakukan oleh Hakim. “Burung bayan, ceritakan padaku bagaimana keadaan cuaca tadi malam!”
“Tadi malam gelap,” jawab burung bayan. “Angin bertiup kencang dan hujan deras tak henti-hentinya semalam suntuk.” Burung bayan menceritakan pengalamannya tadi malam.
Kisah dongeng dari Muangthai berlanjut makin seru. Petani tersenyum lagi. “Tuan Hakim tahu bukan bahwa tadi malam keadaannya terang-benderang dan sama sekali tidak hujan? Jadi mengapa aku harus dihukum karena keterangan burung yang tidak dapat dipercaya?”
Semua hadirin membenarkan pendapat petani itu. Demikian pula Tuan Hakim. “Benar sekali. Engkau tidak bersalah,” ujarnya. “Hampir saja nyawamu terancam karena keterangan seekor burung bayan yang salah. Oleh karena itu mulai hari ini kita tidak boleh memelihara burung bayan di rumah kita lagi karena ucapannya tidak bisa dipercaya.”
Itulah perilaku jahat seorang petani yang kecewa karena perkataan burung bayan. Petani itu tega melakukan perbuatan licik untuk mendapatkan keselamatan diri dari hukuman Tuan Hakim. Akhirnya burung bayan pun dilepas oleh petani di alam bebas. Di sana ia terpaksa mencari makan sendiri. Tindakan petani itu diikuti oleh penduduk lainnya. Tidak seekor pun burung bayan tersisa di rumah warga.
Kelanjutan dongeng klasik negara Thailand belum usai. Burung bayan terbang kesana-kemari untuk mendapatkan makanan. Terkadang ia menyusuri pematang sawah untuk mendapatkan bulir-bulir padi. Tak jarang ia harus hingga di punggung kerbau untuk mendapatkan kutu.
Sampai pada suatu hari burung bayan bertemu dengan seekor burung baru yang tubuhnya lebih besar dari dirinya serta bulunya berwarna hitam dengan paruhnya berwarna kuning.
“Siapakah engkau?” tanya burung bayan heran.
“Aku burung Beo,” jawab burung itu. “Aku datang dari daerah selatan dan sekarang aku mau tinggal di negeri ini. Aku pun pandai berbahasa manusia.”
“Selamat datang,” ujar hurung bayan dengan sopan. Ia teringat nasibnya yang kini harus hidup di alam bebas. Oleh karena itu, burung bayan ingin memberi nasehat kepada burung beo.
“Karena engkau sudah berada di sini, baiklah aku memberimu sedikit nasihat. Aku pun pandai berbahasa manusia. Bertahun-tahun lamanya aku dipelihara di rumah manusia dengan baik. Aku melihat dengan mata dan mendengar dengan telingaku.”
Burung bayan berhenti sejenak. Ia teringat masa lalunya yang menyedihkan. Kemudian ia lanjut berkata, “Aku tidak saja dapat mengatakan apa yang mereka ucapkan, tetapi aku pun dapat mengatakan apa yang aku pikirkan. Tetapi rupanya jika aku mengemukakan pikiranku sendiri manusia kurang senang. Itulah sebabnya aku diusir.”
Burung bayan kembali berhenti bercerita. Ia kumpulkan segenap keberaniannya untuk melanjutkan kisah hidupku kepada burung beo.
“Karena itu dengarlah nasihatku, wahai burung beo. Jika manusia tahu bahwa engkau pandai menggunakan bahasanya, engkau tentu akan ditangkap dan dipelihara di rumahnya. Sekali-kali janganlah membuka mulut kecuali mengatakan apa yang mereka ajarkan kepadamu. Ucapkan saja apa yang mereka katakan. Jangan lebih dan jangan kurang. Sebab manusia suka sekali mendengarkan ulangan pikirannya sendiri. la kurang suka kebenaran yang lain.”
“Terima kasih, burung bayan. Ucapanmu akan selalu kuingat,” Burung Beo menyatakan terima kasih atas nasehat temannya itu. Ia merasa bersyukur karena telah bertemu dengan burung bayan baik hati dan mau berbagi nasehat. Burung beo lalu terbang lebih rendah. Ia mencari makan biji-bijian di kebun-kebun warga.
Akhirnya memang benar burung beo ditangkap dan dipelihara oleh manusia. la diberi makan dan dipelihara secara baik. Demikian pula ia diajar bercakap-cakap oleh manusia. Akan tetapi karena ia takut jangan-jangan manusia menjadi gusar dan marah jika ia sampai mengatakan pikirannya sendiri. Maka burung Beo hanya mengulang apa yang diucapkan oleh manusia saja. Nasehat burung bayan diingatnya sepanjang waktu.
Demikianlah kisah dongeng asal-usul burung beo bisa berbicara seperti manusia. Sebenarnya burung beo bisa berbicara lebih dari ucapan yang dikeluarkan manusia. Hanya saja ia merasa khawatir jika menyampaikan pendapatnya bisa berakibat celaka seperti nasib burung bayan.
Amanat cerita asal mula burung beo berbicara seperti manusia adalah kita harus hati-hati dalam berbuat dan berperilaku agar tidak mendapat celaka di kemudian hari. Pesan moral kisah asal usul burung beo dari Thailand ini juga mengajarkan kita agar selalu berbuat jujur dan menanam kebaikan. Yakinlah orang yang berbuat baik akan mendapatkan kemudahan dalam hidup.
Semoga cerita rakyat Thailand ini bisa menambah wawasan Anda. Sampai jumpa di artikel The Jombang Taste berikutnya.
Daftar Pustaka:
Courlander, Harold. 1955. Ride With The Sun. New York: McGraw-Hill Book Company.
Tinggalkan Balasan