Murid adalah obyek dan sasaran utama dari proses aktifitas belajar, mengajar dan pendidikan. Oleh karena itu, murid adalah unsur utama interaksi guru di sekolah. Kurikulum, sistem pengajaran dan lain-lainnya, pada dasarnya dibuat untuk merealisasikan tujuan pengajaran dan pendidikan bagi murid. Kemampuan guru berkomunikasi secara efektif dengan muridnya membantu proses pergaulan yang terarah dan dengan tetap mengedepankan etika.
Interaksi antara guru dan murid dapat berlangsung dimana saja, baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Keterlibatan guru dan murid di sekolah berlangsung saat aktifitas belajar mengajar berlangsung, ketika jam istirahat, maupun ketika berlangsung event-event kebersamaan yang mengharuskan guru dan murid berkomunikasi lebih dekat.
Setiap perkataan guru adalah contoh bagi muridnya. Oleh karena itu, guru harus berhati-hati dalam berbicara di depan murid. Bukan hanya itu, perilaku guru di luar sekolah pun banyak menentukan proses keberhasilan pembelajaran di sekolah. Murid akan mengalami keguncangan pikiran manakala guru tidak mampu memberikan keteladanan dalam aktifitas sehari-hari.
Hal itulah yang saya alami ketika berperan ganda sebagai guru TPQ sekaligus guru SD di desa tempat tinggal. Kontrol sosial yang tinggi menyebabkan hilangnya sekat-sekat rahasia yang seharusnya menyelimuti kehidupan privasi seorang guru. Salah satu kawan saya pernah berujar, “Kehidupan seorang tokoh masyarakat seperti selembar kertas putih tanpa noda. Ketika hadir setitik hitam di luasnya kertas putih itu maka orang akan memusatkan perhatiannya pada noda itu. Oleh karena itu kamu harus berhati-hati dalam bertingkah laku.”
Entah ucapannya bermaksud menasehati ataupun sekedar mengingatkan, saya sepakat dengan apa yang telah dia sampaikan. Guru adalah profesi yang mulia sekaligus pertaruhan nama baik. Masyarakat pedesaan yang memiliki modal sosial kuat telah ‘memaksa’ setiap guru untuk berperilaku sempurna terhadap murid-muridnya. Setiap tingkah-lakunya diharapkan mampu menghadirkan manfaat bagi masyarakat, khususnya kepada murid yang diajarkan. Cukup setitik nila maka rusaklah susu sebelanga.
Kabar baiknya adalah para guru tidak perlu terbebani oleh beragam tuntutan masyarakat dalam berperilaku sehari-hari. Karakter diri masing-masing guru telah menunjukkan kelayakan mereka untuk menyandang label tokoh panutan. Jadilah diri sendiri dengan keunikannya masing-masing. Guru yang berperilaku kaku, jaim, tidak fleksibel dan diktator malah cenderung gagal beradaptasi dengan perubahan jaman. Kedekatan guru dan murid dalam bermuamalah sesuai syariat agama sangat berpengaruh dalam keberhasilan proses pendidikan. Semoga terinspirasi.
Tinggalkan Balasan