Apa kabar sobat pembaca The Jombang Taste. Artikel cerita rakyat kali ini merupakan asal-usul penulisan cerita hikayat Kalilah dan Dimnah yang sudah pernah kita ulas minggu lalu. Isinya menceritakan perjuangan Baidaba menyadarkan Raja Dabsyalim yang berperilaku sombong kepada rakyat Hindustan.
Pada suatu hari yang baik Baidaba berpakaian yang santun dan ia berjalan ia menuju ke istana Raja Hindustan. Di halaman istana itu ia bertemu penjaga pintu dan berkata, “Hamba bermaksud hendak menghadap Raja akan menyampaikan suatu pesan kepada baginda.”
Baidaba Menghadap Raja
Penjaga pintu pun masuk ke dalam istana dan menyampaikan bahwa di luar ada seorang brahmana bernama Baidaba, mengatakan membawa pesan untuk baginda. Baginda lalu memberi izin Baidaba masuk. Maka masuklah Baidaba. Ketika sampai di hadapan baginda, Baidaba lalu sujud menyembah dengan takzim. Kemudian ia berdiri, sepatah pun tiada berkata.
Heranlah Raja Dabsyalim melihat kelakuannya itu, dan berkata baginda dalam hatinya, “Orang ini tentulah tiada maksudnya lain daripada dua hal. Pertama ia hendak meminta suatu yang dapat memperbaiki keadaan hidupnya. Atau ia mengharapkan penolak sesuatu bahaya yang telah menimpa dirinya.”
Kemudian baginda Raja berkata, “Jika raja mulia karena kerajaannya, maka orang cerdik pandai lebih mulia karena pengetahuannya. Dengan ilmunya mereka tiada bergantung kepada raja, tetapi raja, sekalipun berharta, terpaksa meminta pertolongan mereka juga. Tak pernah yang satu bercerai dengan yang lain, jika yang satu tiada lagi, yang lain pun tiada akan bertemu. Tak ubahnya dengan dua sahabat yang setia dan cinta-mencintai.”
Raja Dabsyalim melanjutkan perkataannya, “Adapun orang yang tidak menaruh segan kepada orang cerdik pandai, tidak mau memuliakannya dan mengakui kemuliaannya atas lainnya, tidak pula suka memeliharakannya daripada kedudukan yang menghinakannya, dan melindungi daripada keadaan yang akan menodainya, orang itu terhitung orang yang tiada berakal, yang sia-sia hidupnya. Orang demikian telah menganiaya orang cerdik pandai dan hak-haknya, dan tak dapat tidak ia akan dipandang orang dengan sebutan manusia bodoh.”
Sesudah itu baginda mengangkatkan kepala memandang kepada Baidaba seraya bersabda, “Hai Baidaba, aku pandang guru diam, tiada mengatakan apa yang dimaksud. Pada sangkaku guru berbuat begitu tentulah karena ketakutan. Aku yakin guru tentu tiada datang kepadaku, kalau bukan karena suatu perkara yang menggerakkan hati guru melangkah kaki. Guru seorang termulia di antara orang yang semasa. Maka tak baikkah kutanyakan?”
Baidaba masih terdiam. Raja kembali berkata, “Jika yang jadi sebab ialah aniaya yang menimpa diri guru, maka akulah yang lebih patut memberikan pertolongan, menaikkan guru kembali kepada kemuliaan, menyampaikan kepada yang dimaksud. Dan jika guru membutuhkan suatu hajat keduniaan, niscaya kutitahkan menyempurnakannya sebagai yang dikehendaki. Akan tetapi jika yang jadi sebab itu mengenai urusan pemerintahan negeri yang tidak patut bagi raja-raja mengabulkannya, tentulah akan kutimbang-timbang hukuman yang sepadan dengan kesalahnnya.”
Baidaba Menasehati Raja
Tampaknya Raja Dabsyalim ingin segera mendengar Biadaba berkata, “Dan jika itu adalah hal yang akan membawa kebaikan bagi rakyat, dengan senang hati ku dengarkan. Seorang yang bijaksana tentu tiada akan mengajak kepada perbuatan yang buruk, melainkan kepada kebaikan juga. Hanya orang mau mengajak berbuat yang tidak baik. Sekarang aku ingin mendengarmu berkata.” Raja memungkasi pembicaraannya.
Mendengar ucapan raja yang lemah-lembut itu, hilanglah rasa takut dalam diri Baidaba. Lantas ia bersujud sekali lagi. Sudah itu berdirilah ia seraya berkata, “Ampun, Tuanku beribu ampun. Pertama-tama hamba mendoakan kepada Tuhan, mudah-mudahan berkekalan tuanku selama menggenggam kekuasaan, dan kekal kerajaan Tuanku.”
“Adapun yang membawa patik ke hadapan baginda raja adalah karena hati ini ingin hadir menyapa yang mulia raja. Apabila cukuplah sifat-sifat kebaikan pada seseorang, maka tiadalah ia akan celaka di dunia, tiada pula akan rugi di akhirat, tiada sedih ia atas apa yang tiada dikehendaki Tuhan kekalnya, tiada pula ia berdukacita atas takdir yang berlaku pada kepunyaannya, dan tiada ia keluh kesah karena sesuatu yang tiada diingini menimpa dirinya.
Hikmat, Tuanku, adala harta-benda yang tidak akan habis karena dibelanjakan, kekayaan yang tidak akan rusak karena diberi-berikan. Itulah perhiasan yang tidak mau usang, kesenangan yang tidak mungkin habis masanya. Dan jika tadi hamba terdiam di hadapan Tuanku Raja, maka sebabnya tiada lain melainkan karena takut dan hormat kepada tuanku juga.
Karena sesungguhnya raja patut ditakuti, lebih-lebih raja menduduki singgsana lebih tinggi daripada singgasana raja-raja yang dahulu daripadanya. Orang pandai-pandai telah berkata biasakanlah diam, karena orang pendiam selamat, dan janganlah suka berkata-kata yang tiada berguna, sebab buahnya sesal juga akhirnya,” demikian Baidaba membuka percakapannya dengan Raja Dabsyalim.
Nasehat Bijak Baidaba
Baidaba lalu menceritakan maksud kedatangannya untuk membacakan cerita kepada Raja Dabsyalim. Diceritakan orang, pada suatu hari berkumpul empat cerdik pandai di hadapan seorang raja, lalu raja bertitah, “Hendaklah tiap-tiap daripada kamu mengucapkan sepatah perkataan yang dapat menjadi sendi bagi kesopanan.”
Yang seorang berkata, “Perhiasan ilmu yang seindah-indahnya ialah sifat pendiam.” Kata orang yang kedua, “Yang amat berfaedah bagi manusia ialah mengetahui darajat akalnya.” Kata orang yang ketiga, “Sebaik-baik sifat manusia ialah tiada mau berkata-kata yang tiada berfaedah.” Dan kata yang orang keempat, “Seringan-ringan beban, ialah merierima apa yang ditakdirkan.”
Pada suatu waktu berkumpul beberapa orang raja dari beberapa negeri. Ada Raja Cina, Raja Hindi, Raja Parsi, dan Raja Rumania. “Hendaklah tiap-tiap kita,” kata mereka, “mengucapkan sepatah perkataan yang akan diingat orang selama-lamanya.”
Sabda Raja Cina, “Aku lebih kuasa mencabut kata yang belum kukatakan daripada yang sudah kukatakan.” Sabda Raja Hindi, “Aku tercengang melihat orang berkata, jika baik, dia tidak beruntung dan jika jahat, dia yang rugi.” Raja Parsi bersabda, “Aku, kalau mengatakan suatu perkataan, maka aku dalam kuasanyalah. Tetapi jika belum kukatakan, ia yang dalam kuasaku.”
Lalu Raja Rumania berkata, “Belum pernah aku menyesal atas kata-kata yang telah kukatakan, tetapi sudah kerap aku menyesal atas kata yang akan ku katakan. Diam lebih baik daripada berkata-kata yang tiada penting. Lidah adalah tempat berlindung yang sebaik-baiknya bagi manusia.”
Pada hal yang utama bagi tuanku mengikuti jalan yang telah dijalani orang-orang tua tuanku dahulu. Raja-raja besar tuanku, meniru segala contoh teladan mulia yang dipusakakan mereka kepada tuanku dengan sebaik-baiknya. Utama bagi tuanku menyingkirkan perbuatan-perbuatan yang akan menodai nama Tuanku, dan melakukan yang akan membawa kepada kemuliaan, umpamanya suka memperhatikan keadaan rakyat, gemar mencontohkan jalan kebajikan yang akan kekal sebutannya.
Itulah Tuanku, jalan kesejahteraan yang sekekal-kekalnya. Hanya orang bodoh saja yang mau berlaku sewenang-wenang dalam semua pekerjaannya, dan orang yang arif ialah orang yang pandai memeliharakan kerajaannya dengan pekerti yang lemah lembut dan sifat pengasih penyayang. Maka tiada lain yang hamba pohonkan, hanyalah supaya Tuanku pikirkan apa yang telah hamba katakan itu, dan mudah-mudahan tiada Tuanku merasa berat hendaknya.
Karena sedikit pun tiada maksud hamba akan mendapat keuntungan untuk diri hamba, atau kebajikan sebagai balasnya daripada Tuanku. Hamba datang hanya untuk mempersembahkan nasihat dan sebagai seorang yang mencintai keba… “
Raja Menghukum Baidaba
Belum habis Baidaba berkata-kata dada raja telah sesak karena murka, dan setelah selesailah ia berbicara dengan marah sambil mengejek menjawablah baginda, “Sesungguhnya, hai pendeta, sedikit pun tiada tersangka olehku akan ada di antara rakyatku, orang yang berani berkata-kata sebagai engkau ucapkan itu, apalagi orang yang hina dan lemah. Sungguh heran aku memikirkan keberanianmu datang kepadaku, berkata-kata semau lidahmu hingga melanggar aturan. Sebab itu engkau harus kujadikan peringatan bagi orang lain supaya jangan terjadi sekali lagi orang berani berbuat seperti engkau kalau raja mau menerima mereka di hadapannya.”
Maka Raja Dabsyalim bertitah kepada prajuritnya untuk menyuruh bunuh Baidaba. Setelah Baidaba dibawa orang dari hadapannya, termenunglah Dabsyalim memikirkan perintahnya itu. Seketika itu juga dicabutnya perkataannya tadi, dan Baidaba disuruhnya penjarakan. Kemudian baginda bertitah menyuruh menangkap murid-murid Baidaba dengan semua orang yang biasa bergaul dengan dia.
Maka cerai-berailah semua murid Baidaba, lari menyembunyikan diri ke pulau-pulau yang jauh di tengah laut. Sementara Baidaba dikurung raja dalam penjara, seorang pun tiada yang menanyakan halnya, dan baginda pun agak sepatah tiada pernah berkata tentang dirinya. Orang lain tiada yang berani menyebut nama Baidaba di hadapan baginda, takut akan murka baginda.
Raja Menyadari Kesalahannya
Pada suatu malam, Raja Dabsyalim tidak dapat tidur. Walaupun ia berusaha memejamkan mata namun ia tidak bisa mengantuk. Akhirnya ia memilih keluar dari kamarnya dan berjalan ke taman sambil memandang bintang-bintang di langit malam.
Tak lama kemudian ia teringat pada sosok Baidaba. Ia telah memenjarakannya selama beberapa pekan di dalam tahanan. “Perkataan guru itu,” kata baginda, “termakan pada akalku dan masuk ke hatiku. Semua nasihat itu akan kupikirkan lebih dahulu.”
Raja Dabsyalim memberikan pakaian kepada Biadaba yang sedang meringkuk di sel tahanan. Sesudah itu baginda bertitah menyuruh menanggalkan belenggunya dan menyuruh prajurit membawa Baidaba ke hadapannya.
“Ampun, Tuanku,” sembah Baidaba, “Hal apakah yang membawa Tuanku sehingga hamba terlepas dari penjara?”
“Benar katamu waktu itu,” jawab Dabsyalim, “Hai cerdik cendekia yang arif bijaksana. Aku bertitah, sejak hari ini guru kuangkat jadi wazir.”
Sangat terperanjat Baidaba mendengarkan titah baginda itu, seraya berdatang sembah, “Patik mohon beribu-ribu ampun daripada Tuanku, haraplah patik jangan diserahi beban yang maha berat itu, karena sekali-kali tiadalah kuasa patik akan memikulnya.”
Pada mulanya permohonan Baidaba itu diterima oleh baginda. Tetapi setelah Baidaba bermohon pulang dan keluar dari penghadapan, menyesallah baginda telah menerima keberatannya itu. Lalu baginda suruh panggil Baidaba kembali, dan serta sampai ke penghadapan, baginda pun bersabda, “Setelah kupikirkan sejurus, hai guru terasa guru olehku bahwa permintaanku tadi harus kau terima. Tak ada dayaku akan menuruti segala yang telah guru nasihatkan, jika guru tiada mau menjadi penuntun.”
Baidaba Diangkat Jadi Wazir
Karena tiada ada jalan mengelak lagi, Baidaba menerima titah Raja Dabsyalim. Maka pada suatu hari yang baik, dipakaikan oranglah pada kepala Baidaba sebuah mahkota, dan diaraklah ia sekeliling negeri dengan mengendarai kuda, sebagai yang sudah teradat selama ini, supaya rakyat tahu bahwa ia telah diangkat baginda menjadi wazir. Selesai upacara itu, duduklah Baidaba menjaga keadilan dalam negeri dan berusaha mernakmurkan negeri serta penduduknya sedapat mungkin.
Nama Baidaba pun masyhurlah sebagai seorang besar yang tidak terpengaruh oleh kebesarannya, pengasih kepada fakir miskin, pemurah kepada anak rakyat, adil tiada membeda-bedakan yang mulia daripada yang hina. Semua berita itu kedengaran kepada murid-muridnya, maka datanglah mereka bersama-sama menemui Baidaba. Ketika berhimpunlah mereka itu di hadapannya.
Berkatalah Baidaba, “Hai murid-muridku, aku yakin, ketika aku masuk menghadap Raja Dabsyalim dahulu tak dapat tidak pada sangkamu aku salah, lupa akan ilmuku, hingga mau masuk perangkap si penganiaya yang tiada menaruh belas itu. Sekarang dapatlah kamu lihat sendiri apa buah pekerjaanku. Tentu mengertilah aku datang kepadanya dahulu itu bukan karena bodohku.”
Demikian cerita legenda Baidaba dalam menyadarkan Raja Dabsyalim sebagaimana tertuang dalam kisah Hikayat Kalilah dan Dimnah yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Amanat cerita ini adalah janganlah takut menyampaikan kebenaran meski harus menanggung penderitaan. Pada akhirnya kebenaran akan mampu mengalahkan kejahatan. Semoga terinspirasi.
Tinggalkan Balasan