
Akhirnya malam ini (30/9/2018) saya berkesempatan nonton langsung pagelaran seni para seniman Jawa yang tergabung dalam kelompok Karya Budaya. Awalnya saya berharap bisa nonton seni drama ludruk Karya Budaya secara live. Selama ini saya hanya bisa menyaksikan para seniman ludruk Mojokerto itu dari layar keping VCD dan video Youtube. Tapi ternyata saya keburu mengantuk dan batal nonton ludruk Karya Budaya. Saya dan keponakan sudah antusias berangkat ke Balai Desa Karanglo sejak pukul setengah delapan malam tadi. Menurut informasi dari pamflet yg saya terima, acara pentas seni ludruk Karya Budaya seharusnya dimulai jam tujuh malam. Tapi acara sedekah desa ini molor sampai jam setengah sembilan malam. Acara dimulai dengan sambutan-sambutan dari pejabat desa. Wakil Bupati Jombang Sumrambah turut hadir dan memberi sambutan singkat di hadapan ribuan warga yang memadati Jalan Bima Dusun Srapah.
Okelah. Intinya malam ini saya gagal nonton ludruk dan hanya bisa nonton tari remo sampai jam setengah dua belas malam. Setelah jam itu, saya tadu keburu pulang karena sudah mengantuk berat. Saya tidak ingin kehilangan feel menulis. Saat ini pun saya menguatkan diri menulis artikel blog sambil menahan kantuk. Pertunjukan tari remo malam ini dilakukan oleh empat orang waria yang tergabung dalam grup ludruk Karya Budaya. Kok saya tahu kalau mereka waria? Mereka berperawakan tinggi besar, berjakun, bersuara bas dan nadanya pecah. Itu semua sudah jadi tolak ukur sifat gender waria pada penari remo. Saya coba berbisik pada penonton di sebelah saya. Dia juga bilang kalau para penari itu waria. Ah sudahlah. This is art. Nggak ada kata salah dalam seni. Kemudian saya mulai mengamati gerakan empat penari di atas panggung. Luwes dan terampil. Pertanda mereka sudah lama menekuni profesi ini. Hanya saja, ketika sesi bernyanyi langgam Jawa (nggandhang), suara laki-laki mereka masih terdengar jelas.
Usai empat penari remo tampil, panggung diisi oleh empat orang wanita penari. Kalau lihat postur tubuh dan gaya menarinya, mereka adalah wanita tulen. Mereka membawakan tari mayang rontek. Gerakan tari mayang rontek secara sekilas mirip gerakan lebah madu. Kostum menari yang mereka pakai menampakkan kecantikan putri lebah dalam cerita dongeng anak-anak. Gerakan lincah dan manja para penari mampu mempesona setiap pasang mata penonton yang memadati Jalan Bima Dusun Srapah Desa Karanglo. Saya sempat gugling di tengah acara Sedekah Desa Karanglo dan menemukan informasi bahwa Tari Mayang Rontek adalah salah satu tarian khas Kabupaten Mojokerto. Tarian ini diilhami oleh budaya Kerajaan Majapahit setelah mendapat sentuhan Islami. Tari Mayang Rontek awalnya hanya ditampilkan pada acara pernikahan. Namun lama-lama banyak orang suka dan masyarakat menghendaki pagelaran seni tari mayang rontek setiap waktu, tak terbatas pada acara hajatan perkawinan.
Setelah tari mayang rontek, panggung diisi oleh lima orang sinden yang menyanyikan lagu menurut permintaan audiens. Salah satu dari pesinden itu adalah Sri Asih, pesinden asli Jombang yang hadir meramaikan acara pembuka Ludruk Karya Budaya dari Mojokerto. Pak Lurah Mojojejer tampil berjoget di panggung dan menimbulkan gelak-tawa bagi ratusan penonton. Acara dilanjutkan dengan penampilan tari remo versi penari laki-laki. Berbeda dengan tari remo bergaya perempuan yang lembut dan gemulai, tari remo lanangan berciri khas gerakan tegas dan patah-patah. Dua orang penari remo itu mengingatkan saya saat ikut mengantar para siswa mengikuti pelatihan tari remo Jombangan beberapa bulan lalu. Sejak saat itu, saya makin tertarik mengulas perkembangan pendidikan seni budaya Jombangan untuk pelajar dan masyarakat umum. Saya pun makin kritis menilai seniman tari remo karena saya paham beberapa gerakan dasar dalam tari remo.
Sayangnya, malam ini saya tidak mampu melanjutkan acara nonton tari remo sampai usai. Saya buru-buru harus pulang karena mengantuk. Besok pagi jam tujuh saya harus mengikuti upacara Hari Kesaktian Pancasila dan itu tentu saja butuh energi prima. Secara umum, malam ini saya cukup terhibur dengan pentas seni budaya Jawa Timur di Karanglo. Kelompok seniman ludruk Karya Budaya menjadi tokoh legenda yang mencintai budaya sebagai visi hidup. Semoga kita bisa meneladani semangat mereka dalam melestarikan kebudayaan daerah.
Tinggalkan Balasan