Lafaz amar terkadang terkait kepada sebuah syarat seperti ucapan, “Bila telah tergelincir matahari, tunaikanlah shalat atau dikaitkan pada sifat, seperti pada firman Allah dalam surat an-Nuur ayat 2: Pezina laki-laki dan pezina perempuan, cambuklah masing-masing dari mereka seratus kali cambukan.
Karena ada kaitan, apakah amar itu menuntut dipenuhi sccara berulang-ulang atau hanya sekali pada setiap terdapat syarat atau sifatnya. Dalam contoh di atas, apakah ada keharusan berulang kali melakukan shalat setiap terjadi (ada) syaratnya, yaitu tergelincir matahari; dan apakah hukuman dera atas pezina itu harus dilakukan berulang kali setiap terjadi (ada) sifatnya, yaitu perbuatan zina.
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Bagi kalangan ulama yang mengatakan bahwa amar itu mutlak berupa tuntutan yang harus dipenuhi berulang kali, sepakat mengatakan bahwa dalam amar yang dikaitkan pada syarat atau sifat, berlaku tuntutan untuk dipenuhi berulang kali. Menurut mereka, dalam hal ini lebih pantas untuk dimaksudkan secara berulang kali.
Sedangkan bagi kalangan ulama yang berpendapat bahwa amar itu mutlak tidak menuntut untuk dipenuhi berulang kali, terdapat perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat sebagai tuntutan untuk dilakukan berulang kali, dan ada pendapat lain yang menolak sebagai tuntutan yang harus dipenuhi berulang kali. Pendapat terpilih menurut Al-Amidi adalah yang mengatakan bahwa amar yang demikian (dihubungkan dengan syarat atau sifat) tidak menuntut untuk dilakukan secara berulang kali.
Kalangan ulama yang berpendapat bahwa amar yang dikaitkan kepada syarat dan sifat menuntut dilakukan secara berulang kali, mengemukakan argumen sebagai berikut. Seseorang berkata, “Shalatlah dua rakaat bila datang zawal”. Ditinjau dari kebiasaan penggunaan bahasa, bila berulang masa yang berulang padanya amar, maka apa yang mengiringinya pun harus berulang. Hal ini berbeda dengan lafaz mutlak.
Lafaz amar yang dikaitkan kepada syarat atau sifat yang terdapat dalam Al-Quran menuntut dilakukan berulang kali. Umpamanya firman Allah dalam surat an-Nuur (24): 2, seperti tersebut di atas mengenai hukuman cambuk bagi pezina. Ayat ini menghendaki berulang kali dilakukan hukuman cambuk sctiap terjadi perulangan perzinaan.
Demikian pula antar dalam firman Allah, surat al-Maaidah (5): 6: ‘Bersucilah jika kalian junub. Kewajiban bersuci yang dituntut dalam ayat tersebut adalah untuk berulang kali setiap terdapat perulangan sifat yaitu junub.
Kemudian, syarat itu sama kedudukannya dengan illat. Hukum yang di-kaitkan kepada illat menuntut dilakukan berulang kali dengan berulangnya ‘illat. Demikian pula dengan amar yang dikaitkan kepada syarat; amar itu akan berulang bila syaratnya juga berulang.
Kalangan ulama yang berpendapat bahwa amar yang dikaitkan kepada syarat dan sifat tidak menuntut dilakukan berulang kali, mengemukakan argumen sebagai berikut.
Pertama, kalangan ulama ini sepakat mengatakan bahwa khabar yang dikaitkan kepada syarat dan sifat tidak menuntut dilakukan berulang kali sewaktu terjadinya perulangan apa yang dikabarkan. Contohnya dalam ucapan, “Bila datang si Haidar, datang pula si Ahmad”. Berulang kali datangnya si Haidar, tidaklah mengharuskan berulang kali datangnya si Ahmad. Bila hal ini berlaku pada khabar, demikian pula keadaannya pada amar.
Kedua, jika seseorang berkata kepada istrinya, “Bila engkau masuk rumah, berarti engkau tertalak”, tidaklah berulang berlakunya talak walaupun ia masuk rumah secara berulang kali. Demikian pula jika seseorang berkata, “Bila tergelincir shalatlah.” Contoh ucapan yang kedua ini termasuk dalam kasus meng-qiyas-kan amar pada terjadinya talak (pada contoh ucapan pertama) yang bukan amar.
Ketiga, lafaz tidak mengandung petunjuk, kecuali mengaitkan pada sesuatu. Hal yang demikian lebih umum dari mengaitkan kepada lafaz itu dalam semua bentuk atau satu bentuk. Sesuatu yang menjelaskan kepada hal yang lebih umum tidaklah lazim untuk menjelaskan dengan yang lebih khusus. Bahwa amar yang berhubungan kepada syarat dan sifat tidak dapat dipahami daripada amar itu adanya tuntutan untuk dilakukan berulang kali dengan berulangnya syarat dan sifat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqih. Kencana: Jakarta
Fadal, Mohamad Kurdi. 2008. Kaidah-kaidah Fikih. Artha Rivera: Jakarta
Syarifuddin, Amir. 1999. Ushul Fiqh I. Logos Wacana Ilmu: Jakarta
Tinggalkan Balasan